Kanal Jokowi di Youtube baru-baru ini menayangkan testimoni warga negara Prancis, Bernard Chene, bekas rekan bisnis mebel Jokowi zaman dulu. Dialah yang pertama kali memanggil Joko Widodo dengan “Jokowi” dengan alasan di negaranya tidak biasa memanggil nama panjang.
Bernard Chene pertama kali bertemu Jokowi pada 1999 di Surakarta. Sebelumnya ia sudah kenal lebih dulu dengan paman Jokowi. Saat pertama kali dikenalkan, Chene mengaku langsung mempercayai bahwa Jokowi bisa menjadi rekan bisnis yang baik.
Di ujung video itu, ia juga tanyakan mengenai tiga kata yang bisa menggambarkan Jokowi. Lalu Bernard menjawab, "Dapat diandalkan, dapat dipercaya, dan sangat pintar. Itu tiga kata untuk Jokowi."
Kunci Sukses Jokowi
Boleh jadi apa yang dikatakan oleh Bernard itu benar. Tiga kata itu—dapat dipercaya, diandalkan, dan pintar--yang menggambar Jokowi sekaligus menjadi kunci suksesnya. Bukan cuma berhasil dalam menggeluti bisnis mebel, ia juga berhasil menjadi Walikota Solo. Jokowi bahkan sukses memimpin Solo selama dua periode (2005-2012), sebelum akhirnya diorbitkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Selama menjadi Walikota Solo, Jokowi pintar menata pedagang kaki lima. Ia juga merebranding kota ini dengan slogan "Solo: The Spirit of Java", langkah cukup progresif untuk ukuran saat itu. Jokowi juga berhasil mendamaikan dualisme kepemimpinan di Keraton Surakarta.
Gaya kepemimpinan Jokowi yang akomodatif terhadap keinginan masyarakat menjadi salah satu kunci sukses. Ia juga pintar melobi dan menyakinkan orang lain untuk mengikuti kebijakannya. Hal ini juga dilakukan ketika menjadi gubernur DKI Jakarta. Dalam waktu singkat, Jokowi mampu menarik perhatian masyarakat luas lewat pendekatannya yang lain, termasuk blusukan, dalam menyelesaikan persoalan sosial.
Pengamat politik Dodi Ambardi pernah mengatakan, meski memiliki prinsip, Jokowi tidak pernah konfrontatif dengan lawannya. Hal ini dilakukan di Solo, juga di Jakarta. Misalnya saat Komnas HAM menyebut Pemprov DKI melanggar HAM karena berniat menggusur belasan ribu keluarga dari bantaran Waduk Pluit. Saat itu, Jokowi cuma berujar dia siap memenuhi panggilan komisi untuk menjelaskan duduk perkara.
Kepekaan soal korupsi, demokrasi, dan HAM
Setelah terpilih menjadi Presiden pada 2014 dan menang lagi pada 2019, kini muncul banyak kritik. Lemahnya kemimpinan Jokowi dalam soal memerangi korupsi, menegakkan hak asasi manusia, dan demokrasi mulai jadi sorotan. Kebijakan Jokowi mengenai hal itu mengecewakan kalangan antikorupsi, pro penegakkan hak asasi, dan pro demokrasi.
Jokowi, misalnya, membiarkan KPK dilemahkan lewat undang –undang yang baru. Ia tidak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatakan UU KPK yang baru itu.
Presiden Jokowi juga tidak mengangkat Jaksa Agung yang benar-benar profesional dan memiliki rekam jejak yang baik dalam memerangi korupsi. Sejumlah keputusan politik itu, menyebabkan Jokowi dinilai terlalu mementingkan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
Lewat pendekatan yang tak konfrontatif, ia berhasil merangkul banyak pihak. Bahkan, Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, pun dimasukkan ke kabinet. Dari sisi politik dan ekonomi, kebijakan Jokowi cukup bagus.
Hanya, dengan pola kepemimpinan seperti itu, mampukah ia menjawab persoalan lain seperti soal korupsi dan hak asasi manusia. Apakah dia “dapat dipercaya, diandalkan dan pintar,” dalam mengatasi persoalan-persoalan ini? Itulah tantangan Jokowi. ****
Ikuti tulisan menarik Andi Pujipurnomo lainnya di sini.