x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 11 Desember 2019 04:46 WIB

Sepakbola Indonesia Kok Gitu Sih?

Kekalahan Timnas U-23 dari Vietnaam 3-0 dalam laga final SEAgames 2019 di Manila, merupakan antiklimaks dari ekspektasi menggebu publik sepakbola Indonesia. Sampai kapan prestasi timnas di akan stagnan jalan di tempat seperti ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia kebobolan 3-0. Antiklimaks yang sama sekali tak terbersit di benak publik. Para pendukung sepakbola timnas merah-putih, tentu saja. Sebelumnya hanya ada ekspektasi kemenangan, demi pemuas dahaga di setiap masing-masing kepala pada awal pertandingan.

Lalu usai wasit meniup peluit tanda pertandingan sudah berakhir, semuanya hanya bisa terhenyak sejenak. Dan manakala kesadaran diri sudah kembali, maka disebutnya karena bola memang bulat. Sepak bola pun bukanlah matematika.

Ada pula yang berkata, faktor kelelahan karena jeda dari satu pertandingan dengan pertandingan lain yang teramat pendek, baginya akan menjadi sebuah permakluman, ketimbang harus memedam kesal yang berkepanjangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah bisa masuk final, dan menambah pundi-pundi medali perak, sudah merupakan sebuah kebanggaan. Daripada Thailand dan Malaysia yang tesingkir di babak penyisihan.

Akan tetapi bagi yang lainnya tidak demikian. Kecamuk dalam hati bisa jadi jika nasib sial itu sebagai kutukan. Kepengurusan PSSI melalui pemilihan ketua umumnya yang kontroversial, dianggap buah simalakama yang harus ditelan.

Mungkin juga kecaman diarahkan kepada pelatih kepala, Indra Syafri, yang dianggap belum juga mampu meramu sebuah tim yang mumpuni. Dan abai terhadap ekspektasi.

Lalu, sebagaimana sudah menjadi tradisi abadi, tuntutan pelatih pun serta-merta harus diganti. Untuk apa kalau tidak berprestasi. Buang-buang duit dan energi saja. Sepakbola sejatinya untuk jadi juara. Bukan lagi sekedar olah raga.

Bahkan lebih dari itu. Sepakbola adalah sebuah harga diri bangsa. Walhasil, jika terus gagal, dan senantiasa gagal mewujudkan harapan, untuk apa lagi jika masih terus didiskusikan?

Memang pendapat seperti itu akan dianggap sebagai sesuatu yang ekstrim barangkali. Mungkin juga akan dituding sebagai hal yang picik, dan berangkat dari pemikiran yang yang sempit.

Tapi harus bagaimana lagi jika kenyataannya demikian.

Induk organisasi tertinggi cabang olah raga ini pernah dipimpin oleh mereka yang berasal dari berbagai profesi. Mulai dari mantan pesepakbola itu sendiri, pengusaha, politisi, pensiunan pejabat pemerinth, bahkan hingga dua yang terahir adalah para jenderal.  Edy Rachmayadi yang kala itu sebagai Pangkostrad, lalu diganti oleh Iwan Bule seorang perwira tinggi Polri. Buktinya prestasi olahraga yang katanya begitu merakyat itu masih tetap saja jalan di tempat.

Bicara tentang luasnya negeri kita yang memiliki ribuan pulau, dan ratusan juta  jiwa penduduknya, masih saja tetap belum mampu melahirkan bayi berbakat sekelas Lionel Messi maupun Ronaldo.

Kalaupun muncul bocah yang dianggap memiliki bakat seperti dua mega bintang tersebut, maka menjelang dewasa bukannya mendunia, malah sudah merasa puas dielu-elukan di seputar kampungnya saja.

Lalu apa lagi yang akan dikatakan, termasuk oleh mereka yang seringkali disebut sebagai pengamat, dan menjadi narasumber yang piawai menata kata di layar kaca, apabila kondisi sepak bola Indonesia masih tetap berkutat dengan kekecewaan para pendukungnya.

Ah, sudahlah. Mencari-cari kambing hitam tidak akan menyelesaikan persoalan. Buanglah segala kemarahan. Tariklah nafas panjang, kemudian buang perlahan.

Sejatinya sebuah pertandingan adalah 2 x 45 menit. Kalau tidak menang, ya kalah. Paling banter bermain imbang, dan harus dilakukan perpanjangan. Untung saja laga final SEA Games kali ini zonder perpanjangan waktu.  Timnas Indonesia keburu menelannya kekalahan itu.

Game is over, mister.

Apa boleh buat. Sebagaimana biasa, mari kita kembali duduk bersama. Lupakan kekalahan yang memang menyakitkan. Lalu kita bicarakan lagi bagaimana langkah kita ke depan.

Untuk apa? Sssttt... Jangan bilang-bilang: “Untuk apa lagi jika bukan untuk kembali menelan kekalahan...” ***

 

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler