x

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Minggu, 22 Desember 2019 16:03 WIB

Lentera Ibu di Belantara Milenial, Refleksi Hari Ibu


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Putu Suasta, Alumnus Fisipol UGM dan Cornell University

 

Beberapa lembaga survei melaporkan tren penurunan pengguna Facebook oleh generasi milenial di seluruh dunia sejak tahun 2017. Pengguna jejaring sosial besutan Mark Zukenberg ini semakin identik dengan orang tua. Di tengah gelombang pemberitaan berbagai hasil survei tersebut, menyeruak pengakuan seorang pemuda yang beralih ke jejaring sosial lain sejak ibunya punya akun Facebook. “Ibu jadi tahu semua yang saya lakukan di luar rumah. Baik dari postingan di Facebookku maupun dari postingan teman”kisahnya di sebuah portal online.

Penggalan kisah di atas menggambarkan dengan tepat karakter umum seorang milenial yang ingin bebas, mandiri dan liberal. Perangkat digital mewadahi karakter itu ke level lebih tinggi dan tantangan seorang Ibu semakin besar sebagai pengayom dan pendidik bagi anak-anaknya di era milenial ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di satu sisi, tugas seorang Ibu  mengawasi anak-anaknya dipermudah oleh perangkat digital. Dia tidak perlu mengendap-endap di sebuah lorong untuk mengintip apa yang dilakukan anaknya ketika nongkrong bersama teman-temannya. Dia cukup berselancar di media sosial dan memantau akun anaknya dan teman-temannya.

Di sisi lain, sebagai digital native anak-anak selalu satu langkah di depan. Mereka tahu cara memodifikasi media sosial agar terhindar dari pantauan orang tua atau mereka bisa dengan mudah beralih ke media sosial lain yang tak dikuasai orang tua sebagaimana tercermin dalam survei di atas. Akan tetapi, betapapun teknologi terus berlari membawa manusia ke peradaban baru, seorang Ibu takkan kehilangan perannya. Di hadapan semua kemajuan itu, seorang ibu selalu memiliki cara untuk tetap bisa mengawasi, melindungi dan membimbing anak-anaknya.

Meminjam kata-kata Cardinal Mermilod, “a  mother is she who can take the place of all others but whose place no one else can take”. Seorang Ibu dapat menggantikan semua peran di dunia ini tapi tak ada yang bisa menggantikan perannya, bahkan teknologi paling canggih sekalipun. Alih-alih, dalam perkembangan pesat teknologi perannya justru semakin vital agar manusia tidak disesatkan oleh teknologi. 

Kalau kita menggunakan milenial sebagai istilah generik, bukan hanya mengacu pada sebuah kelompok umur tetapi juga ke sebuah era yang digerakkan oleh perangkat-perangkat digital berbasis internet, maka dapat dikatakan bahwa era milenial adalah sebuah belantara dan di tengah belantara ini peran seorang Ibu semakin penting sebagai penunjuk arah. Ibaratnya, Ibu adalah lentera di sebuah belantara gelap agar manusia milenial tidak tersesat di tengah kepungan arus informasi dan tawaran aneka nilai dari seluruh dunia. 

Peran Ganda

Kiranya tak perlu memahami konsep-konsep feminisme untuk mengakui bahwa tanpa peran wanita, khususnya ibu, mustahil kemajuan peradaban dapat dicapai manusia bahkan di tengah masyarakat konservatif yang cenderung menempatkan wanita pada peran domestik: mencuci, memasak, merawat anak dan sebagainya. Pandangan seperti ini diadopsi mayoritas masyarakat Indonesia di masa lalu bahkan sebagian masih mempertahankannya sampai sekarang.

Di era modernitas, perkembangan yang merambah terjadi ketika paran ibu meluas ke dunia kerja tanpa meninggalkan peran domestiknya. Kerja di sini dipahami sebagai bentuk kemandirian mereka yang berpenghasilan, berkarier, lepas dari ketergantungan sepenuhnya kepada suami. Bahkan dalam sejumlah fakta, para ibu melampui kaum lelaki dalam penghasilan, pangkat, wawasan, pergaulan dan dinamika hidupnya.

Di era ini, sudah nampak lazim bahwa ibu-ibu tidak sepenuhnya lagi menjadi gambaran ranah domestik, terutama hal ini terlihat pada kehidupan perkotaan. Budaya urban sebagai watak dari gambaran kehidupan perkotaan kian menggiring para ibu untuk menjadi bagian pergolakan dunia kerja, pengusung modernisme, terlibat dalam tatanan dunia baru. Emansipasi yang digaungkan RA. Kartini berjalan pelan-pelan hampir tanpa pergolakan.

Ketika tatanan hidup berubah terus dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi, bermunculnya konsep-konsep baru dalam dinamika ilmu pengetathuan, pergaulan yang makin terbuka dan dunia pendidikan makin membuka pintunya lebar-lebar kepada kaum perempuan, dengan begitu makin jauh keterlibatan kaum ibu dalam perubahan-perubahan tatanan hidup. Tuntutan ranah domestik bukan lagi menjadi gambaran ranah ideal dalam wacana perempuan, khususnya kaum ibu.

Dualisme peran—domestik dan nondomestik—sebetulnya menjadi gambaran utuh dunia ibu di seluruh dunia. Bahkan di negara paling maju sekalipun, seperti Amerika dan Eropa, di mana kaum ibu telah mendapatkan kesetaraannya yang utuh, masih menyisakan perangai konvensionalnya; mengurusi ranah kerja domestiknya. Di kariernya yang paling puncak, seorang ibu sering kali terpanggil untuk memikirkan keadaan keluarga. 

Kemajuan teknologi informasi (IT), hadirnya internet yang menghapus batas-batas  geografis, nilai-nilai dan hambatan gerak, pencapaian yang cangggih teknologi yang mendukung kemudahan hidup yang semakin pragmatis, membuat semua warga dunia tak lagi direpotkan dengan wacana gender, subordinasi kaum perempuan, emansipasi dan sebagainya tentang perbedaan gender, karena di era milenial ini, kebanyakan orang telah terkonsentrasi pada tatanan dunia baru.

Kaum ibu dan perempuan pada umumnya, memang tak  diragukan akan sanggup juga mengatasi kehadirannya dalam era milenial ini, namun tantangan yang mereka terima relatif lelbih berat, bukan dari aspek inteligensinya, melainkan peran—peran sosialnya. Beberapa pengamat melihat eksistensi perempuan tak mungkin tak terlibat dalam pencapaian-pencapaian kemajuan, dan mereka bisa menghadapi dan menerima secara mental. 

Dalam fakta paling mutakhir diseluruh dunia, terutama dapat kita lihat di belahan Eropa, Australia  dan Amerika, kaum perempuan dan kaum ibu sudah begitu lumrah menempatkan peran dan eksistensi keperempuannya dalam progresivitas kemajuan peradaban dan teknologi. Mereka hampir sama setaranya dalam pergerakan dan mengambil keputusan-keputusan strategis. Di sana, yang mereka pikirankan bukan lagi perkara yang satu lelbih superior atas yang lain, tetapi kepada kerja sama yang mengedeapankan masa depan umat manusia. 

Namun harus diakui pula, fakta itu tak sama dengan keadaan kaum perempuan dan kaum ibu, misalnya di Asia atau Afrika. Meski fenomena egaliter lelaki-perempuan telah mengejala di seluruh dunia, namun sisa-sisa jejak sejarah tentang ketertinggalan kaum perempuan, subordinasi peran dan status sosial, ketidakadilan di semua bidang kehidupan, masih menyisakan hal-hal pelik bagi perempuan dan kaum ibu.

Dalam perspektif kultural, kaum ibu dari masa sebelum era milenial yang terbawa ke era milenial ini memang mau tak mau harus menempatkan dirinya pada pemahaman dasar tentang tatanan dunia baru ini. Dunia milenial ialah hari ini dan kaum ibu terbawa di tengahnya. Bekal nilai dan semangat modernisme di hari kemarin barangkali cukup untuk menjadi dasar untuk memahami dan melihat progresivitas abad milenial ini.

Kaum ibu, yang terpaksa atau tak terpaksa mengikuti arus besar era milenial dengan segala kemajuan dan pencapaiannya perlu memahami terlebih dahulu hal-hal dasar dari sistem atau produk yang bergelimang di sekitar mereka. Sebetulnya tak sulit, hanya tinggal bagaimana kegigihan mencari informasi tentang sistem mendasar dari segala pencapaian ere milenial ini. Paling tidak, mengenal dan menguasai media sosial adalah langkah pertama untuk selanjutnya bagaimana merambah produk dunia maya yang lain.

Para pengamat sosial dan komunikasi juga mengakui bahwa bisnis di dunia digital kini sudah banyak dirambah kaum perempuan dan ibu-ibu. Mereka pada umumnya gigih dan kreatif memasarkan produk yang dibutuhkan masyarakat. Tsamara Amany, sosok perempuan yang intens bergelut di dunia politik dan salah seorang dari generasi milenial yang kreatif, juga menyebutkan bahwa perempuan Indonesia sangat hebat dalam pergerakan bisnis, dan saat ini, bisnis di dunia digital.

Menurut Tsamara dalam kolomnya di detiknews, perempuan Indonesia selalu bergerak ke arah progresivitas, mulai dari menuntut hidup lebih layak, mendirikan sekolah dan membangun start up. Bisakah pada era saat ini, para perempuan milenial bergerak ke arah yang lebih progresif lagi, dengan terjun ke politik dan menduduki jabatan-jabatan strategis di Republik ini? (Tsamara Amany, “Perempuan Milenial Progresif”, detiknews, 26 Jan 2018). 

Tetapi tak dapat dipungkiri, tiap perubahan membawa pula dampaknya, baik atau buruk.  Jika modernisme menawarkan kebebasan yang masif, maka pada era milenial yang ditawarkan ialah kebebasan yang sangat personal. Kemudahan-kemudahan dalam dunia digitalisasi, produk-produk yang semakin canggih, komunikasi antarindividu sudah dalam hitungan detik kecepatannya, membuat pergerakan indivudual begitu cepat, privat dan melampui yang bisa dipikirkan.

Seorang ibu, apa pun zamannya, akan selalu tergerak naluri dasarnya, ialah melindungi keluarganya, terutama generasi penerusnya. Dalam kontek milenial ini, kaum ibu yang memahami juga dasar-dasar pemahaman sistem yang terjadi pada era milenial ini, diminta atau tidak, akan menjaga dan mengantisipasi pengaruh buruk yang bisa diberikan oleh era milenial ini. Zaman boleh secanggih apa pun, tetapi yang utama bagi seorang ibu adalah melindungi anak-anak dan keluarganya. Ibu adalah lentera bagi keluarga mengarungi belantara kehidupan.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler