Kecanduan Gawai dan Nasib Generasi Muda
Kamis, 26 Desember 2019 14:45 WIBPengaruh gawai di generasi muda harus dibatasi. Pemerintah harus membuat payung kebijakan serta memperbaiki sistem pendidikan yang berlaku saat ini.
Apa kira-kira tantangan yang paling berbahaya di era revolusi industri saat ini dan masa mendatang? Begitulah pertanyaan yang saya ajukan ke seorang teman sesama jurnalis. Dia pun menjawab berbagai hal. Mulai dari perang ekonomi antarnegara maju hingga krisis lingkungan yang menderah manusia.
Saya pun mengangguk dan sepakat dengan pernyataan itu. Tapi, ada satu problem besar yang luput dari ingatannya. Saat ini, umat manusia menghadapi berbagai gempuran teknologi. Khususnya di bidang telekomunikasi. Kehadiran berbagai gawai membuat masyarakat Indoensia, khususnya generasi muda, mengalami kecanduan.
Ia menjadi simalakama. Di satu sisi bisa membantu kehidupan manusia. Tapi, dampak negatif yang ditimbulkan jauh lebih banyak. Bak, pisau bermata dua. Salah menggunakannya, risiko yang diterima fatal.
Perbudakan Modern
Sudah bukan rahasia umum. Aneka gawai dengan fitur canggihnya membuat masyarakat Indonesia seperti terkungkung oleh ciptaannya sendiri. Di mana saja. Di waktu apa saja. Kita melihat orang yang duduk. Orang yang bersliweran. Orang yang buang air. Bahkan orang yang berkendara memakai gawai. Tak jelas apa yang mereka kerjakan. Tapi kondisi itu membuat antarsesama tak lagi saling sapa. Saling tegur. Semua hanya menunduk dan menunduk. Gawai sudah meretas esensi manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial.
Bisa kita lihat dari lingkup terkecil seperti keluarga. Saat berada di meja makan. Kita sibuk dengan gawai masing-masing. Interaksi antara orang tua dan anak kering. Bahkan, hakikat makan itu sendiri sudah bergeser. Tidak lagi kita sebatas mengenyangkan perut. Orang lain pun harus ikut merasakannya. Minimal lewat foto. Karena itu, banyak kita lihat orang yang makan semeja tidak berdoa terlebih dahulu. Malah menjepret makanannya lalu membagikannya ke aplikasi di gawai. Setelah itu, baru berdoa. Apakah dampak ini tidak mematikan?
Tentu dampak yang dimaksud bukan sekadar mengarah ke orang dewasa. Ancaman paling serius justru ke generasi muda kita. Terutama anak-anak generasi milenial yang tumbuh bersama perkembangan gawai tersebut. Fakta menyebut bahwa kehadiran gawai melahirkan anak pemalas. Penyebabnya tak lain karena penggunaannya tidak diimbangi dengan kegiatan lain. Sehingga, anak hanya berkutat pada kegiatan yang itu-itu terus tanpa mengenal dunia yang lebih luas.
Di sisi lain, kecanduan terhadap gawai juga mempengaruhi perkembangan otak anak. Terutama di jaringan PFC (Pre Frontal Cortex). Anak yang mengalami kecanduan, otaknya akan memproduksi hormon dopamine secara berlebihan yang mengakibatkan fungsi PFC terganggu. Itu lah mengapa ketika diajak berpikir matematis dan kreatif, kecenderungannya anak sulit fokus. Kemampuan motorik dan kognitifnya melemah.
Karena persoalan pengaruh gawai bukan lagi satu orang dan untuk hari ini saja, maka penting melakukan upaya meredam dampak negatif yang ditimbulkan dari pengaruh gawai itu. Selain pengawasan dari keluarga, pemerintah juga perlu ikut andil menyelamatkan generasi mendatang. Baik lewat peraturan atau peningkatan kualitas pendidikan.
Upaya
Di periode pertama pemerintahan Jokowi sebenarnya sempat bergulir rencana pembatasan penggunaan gawai/ponsel. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise pada 1 Maret 2018 pernah menyatakan akan membuat payung hukum berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) bersama Mendikbud dan Menkominfo. Hanya saja, gaungnya tidak lagi terdengar.
Dalam SKB itu nantinya diterapkan ke seluruh jenjang pendidikan anak. Mulai dari SD hinga SMA. Penyesuaian akan dilakukan sesuai dengan jenjang. Anak SD tidak bisa menggunakan ponsel/gawai seluruhnya. Sedangkan siswa SMP dan SMA boleh membawa ponsel/gawai dengan kebijakan tertentu.
Bila kebijakan ini dibahas kembali lalu disahkan, maka jadi salah satu upaya yang positif. Kita boleh menengok Korea Selatan. Sejak 2015, ponsel/gawai siswa yang berusia 18 tahun ke bawah wajib dipasangi semacam aplikasi monitor bernama Smart Sherrif. Aplikasi itu memiliki fungsi mengontrol akses ke situs dewasa hingga memblokir akses ke situs perjudian. Alasan pemerintah Korsel menerapkan itu karena banyak hal buruk di dunia maya dan generasi muda harus dilindungi.
Senada dengan Korsel, di Taiwan peraturannya lebih tegas lagi. Pemerintah melarang anak di bawah dua tahun mengakses perangkat elektronik. Tidak hanya smartphone, bahkan televisi. Peraturan yang ditambahkan dalam regulasi Child and Youth Welfare and Protection Act 2015 itu juga melarang orang tua mengizinkan anak berusia 18 tahun ke bawah untuk mengakses gawai terlalu lama. Alasannya berdampak pada kesehatan mental sang anak dan fisik. Memang rentang waktu “lama’nya tidak diperinci. Namun jika melanggar akan dikenai denda uang maksimal sebesar Rp. 22 juta. (Yudha Manggala P Putra, Regulasi Pembatasan Ponsel pada Anak, 2018).
Kebijakan tegas yang dijalankan dua negara di atas bisa menjadi role model pembatasan gawai di sekolah. Meskipun begitu, bagi saya, pemerintah Indonesia tidak boleh lupa dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Kita sama-sama tahu bahwa anak Indonesia (khususnya milenial) tipikal generasi yang aktif, kreatif, dan tidak suka dengan aktifitas monoton.
Lucunya pendidikan di Indonesia masih belum bisa menyesuaikan kebutuhan generasi sekarang. Cara lama masih terus dilakukan. Dibanding mengajar dan mendidik, guru kebanyakan disibukkan dengan masalah administrasi. Di Surabaya (tempat saya bekerja) misalnya, banyak anak-anak yang hanya belajar mapel tanpa ada asupan kreatifias yang lain. Kalimat sederhananya, pengajaran hanya berfokus ke sisi akademis dan satu arah.
Anak-anak menjadi bosan. Kejenuhan itu lah yang membuat mereka kerap menghabiskan waktu di warkop untuk bermain game atau internetan menggunakan gawai. Itu semua terjadi karena pendidikan kita tidak menghadirkan kreatifitas. Anak-anak hanya dijadikan objek pembelajaran. Singkatnya, anak harus menuruti sistem pendidikan yang sebenarnya mulai tak relevan. Sudah usang karena termakan zaman.
Karena itu, saya mendukung apa yang direncanakan Mendikbud Nadiem Makarim untuk perbaikan pendidikan ke depan. Mulai dari pembenahan mata ajar, kurikulum, hingga merampingkan administrasi guru. Di samping itu, anak-anak harus menjadi subjek pendidikan. Guru hanya sekadar fasilitator. Dalam bahasa Soe Hok Gie, anak harus menjadi makhluk yang bebas. Tidak lagi sebatas objek pembelajaran.
Langkah-langkah di atas perlu didukung semua pihak. Pemerintah Indonesia harus sigap. Di periode kedua pemerintahan Jokowi ini, harus ada terobosan baru untuk menangkal pengaruh negatif gawai. Sebab, pertaruhannya masa depan Indonesia. Masa depan generasi emas 2045 yang kita dambakan.
Anak Indonesia adalah masa depan Indonesia. Artinya, membiarkan anak kita dalam pengaruh negatif gawai sama saja membiarkan masa depan Indonesia dalam kehancuran. Lantas yang jadi pertanyaan, apakah kita mau hal itu terjadi?
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Belajar Menghargai Waktu
Minggu, 8 Maret 2020 08:16 WIBMempertanyakan Hakikat Kekuasaan yang Dipegang Jokowi
Kamis, 27 Februari 2020 15:54 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler