x

Gambar ini diambil di kampus 1 UAD saat demo terkait dengan fasilitas kampus

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Selasa, 7 Januari 2020 15:40 WIB

Rekonstruksi Perkaderan HMI Era Post Truth

Fakta bukan lagi ukuran kebenaran. Sudah ditutupi dengan opini publik. Ukuran kebenaran diukur dengan perasaan dan emosioanal pribadi masing-masing. Setiap orang bisa menciptakan kebenaran sendiri menurut ukurannya sendiri. Di tengah informasi yang membanjir, informasi hoax dan informasi benar, melebur menjadi satu. Berita bohong dan benar menjadi absur. Itulah era post truth atau pasca-kebenaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memasuki era post truth atau pasca-kebenaran, tantangan manusia semakin besar. Manusia dihadapkan dengan berbagai problem yang kompleks, bahkan sangat sulit diselesaikan.

Di tengah kehidupan dibanjiri dengan informasi yang tidak jelas. Berita-berita hoax bertebaran dimana-mana. Kebenaran dan hoax bukan lagi menjadi ukuran pembeda. Semua melebur menjadi satu, sehingga kelihatannya absur. Orang tidak bisa lagi membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi hoax. Semua informasi diterima tampa disaring dan dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya.

Semua orang bisa menciptakan kebenaran, menurut dan ukurannya sendiri. Orang-orang tidak lagi melihat fakta sebagai ukuran kebenaran. Standar kebenaran disandarkan pada emosional dan perasaan pribadi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi kehidupan, apalagi kehidupan ilmu pengetahuan, sangat tidak sehat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab, kalau ukuran kebenaran disandarkan pada emosional dan perasaan pribadi, akibatnya jatuh pada sebjektifitas. Tetapi, yang dilihat disini bukan soal kebenaran disandarkan pada emosional dan perasaan pribadi atau subjektif. Melainkan, siapa yang mempengaruhi pribadi-pribadi atau masyarakat yang membentuk opini publik tentang kebenaran. HMI sebagai organisasi 'intelektual', tentu paham dengan problem semacam ini.

Di tengah derasnya arus informasi yang muncul sebagai akibat dari masuknya era post truth. HMI dituntut mengambil bagian meng-counter informasi yang datang bak mata air mengalir tampa henti. Setidak-tidaknya, HMI dapat menyaring informasi sebelum diterima oleh publik secara luas dalam upaya mencerahkan masyarakat dari bahaya hoax.

Mengutip Joseph Goebbels seorang propagandis media di era modern mengatakan bahwa kebohongan yang diceritakan sekali tetap kebohongan, tetapi kebohongan yang diceritakan seribu kali akan menjadi kebenaran.

Sebagai masyarakat pengguna media yang menempatkan media sebagai alat dan masyarakat sebagai konsumen dimana komunikasi semakin tebuka. HMI hendaknya masuk didalamnya menjembatani masyarakat. Sebab, media sebagai alat komunikasi dan informasi sarat kepentingan kelompok-kelompok tertentu, mendesain informasi dalam membentuk opini publik. Hal ini dipandang perlu, HMI sebagai organisasi perkaderan; membentuk kader-kader HMI yang kritis dan tanggap terhadap isu-isu yang muncul, baik isu-isu lokal, isu-isu nasional, maupun isu-isu dunia yang dipropagandakan oleh media.

Perlunya Rekonstruksi Perkaderan

Pengaruh media merambah seluruh aspek kahidupan manusia. Tidak terkecuali di HMI juga kena imbasnya. HMI sebagai organisasi perkaderan perlu merumuskan kembali perkaderan di HMI. Membuat formula baru perkaderan untuk menciptakan kader-kader yang berintelektual dan kritis.

Berbicara perkaderan di HMI bukanlah alasan ideologis malainkan alasan teknis. Oleh karena itu, sangat mungkin perkaderan di HMI direkonstruksi kembali, menyesuaikan dengan kondisi hari ini. Dan, tentu saja, tetap memperhatikan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesia-an di HMI.

Perkaderan dianggap konvesional menjadi keharusan diubah menjadi perkaderan digitalisasi. Artinya, tidak sepenuhnya kemudian perkaderan konvesional ditinggalkan sama sekali. Tetap diperhatikan, hanya saja menyesuaikan. Sebab, apabila perkaderan di HMI didigitalisasi secara total menjadi berbahaya bagi HMI sebagai organisasi yang hidup dengan nilia-nilai religius. Sebab, afektif tidak ada.

Berbeda dengan perkaderan konvesional, ada pendekatan emosional sebagai nilai-nilai dan kultur yang harus dihidupkan. Tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Perkaderan yang dimaksud, hanya saja menyusuaikan dengan kebutuhan atau mengkompromikan antara perkaderan konvesional dan perkaderan digitalisasi.

Istilah lain, sebut saja, jalan tengah. Perkaderan konvesional tidak ditinggalkan sepenuhnya dan perkaderan digitalisasi tidak sepenuhnya digunakan. Ada bagian-bagian yang harus diambil dan ada bagian-bagian yang harus ditinggalkan. Bagian-bagian yang dimksud adalah alat dan nilai.

Media sebagai alat untuk membentuk kader bukan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah bagaimana kader-kader HMI tidak hanya berkualitas, tapi juga bernilai.

Kalau digitalisasi perkaderan di HMI dianggap berbahaya bagi eksistensi HMI karena dianggap afektifnya tidak ada, pada saat yang bersamaan HMI dianggap anti kemajuan, padahal HMI sangat fleksibel dengan sains dan teknologi (media).

HMI sebagai organisasi terbesar di Indonesia sekaligus organisasi tertua setelah Indonesia merdeka sudah biasa dengan dinamika semacam itu. Tetapi, bukan berarti kemudian, dalam kondisi itu, HMI terlena. Sejarah tetap sejarah, tidak mungkin berubah menjadi masa depan. Hanya saja dari sejarah kehebatan HMI tersebut harus dipelajari sebagai bekal masa depan.

Kembali pada konsep perkaderan di HMI, dalam melanjutkan sajarah perjuangan HMI kedepan, sangat bergantung pada dinamika HMI hari ini. Baik buruknya HMI 5 tahun atau 10 tahun kedepan bergantung pada HMI hari ini. HMI hari ini menentukan HMI masa depan.

Mengacu pada pedoman perkaderan di HMI. Metode yang digunakan adalah metode “lama” atau metode “klasik”, padahal kondisi hari ini sudah berbeda, serba kekinian dan kebaruan. Apa saja bisa diakses dengan mudah. Semua kebutuhan sudah tersedia, khususnya informasi, bahkan tentang ke-HMI-an bisa dipelajari melalui media.

Meningkatkan Kualitas Kader

Tolak ukur sukses-tidaknya perkaderan di HMI dilihat sejauh mana kualitas pengader dan kualitas kader yang dibentuk, bukan pada kuantitas kader. Menelisik pada perkaderan di HMI selama ini, ada semacam fenomena rekrutmen kader secara besar-besaran, baik di jenjang pendidikan LK 1, di jenjang pendidikan LK 2 maupun di jenjang pendidikan LK 3. Tetapi, tidak diikuti dengan kualitas kader sebagai representasi kader HMI.

Artinya, ada yang lemah dengan perkaderan di HMI, yaitu kulitas kader. Hal ini terjadi karena kualitas pengader dan seleksi kader yang tidak diperketat. Rekrutmen kader LK 1 mungkin bisa dimaklumi direkrut sebanyak-banyaknya. Tetapi, ditingkatan LK 2 dan LK 3, harus benar-benar diseleksi dengan ketat. Mengingat, kader HMI adalah calon-calon pemimpin masa depan. Dengan demikian, intelektualitas dan integritas kader tidak diragukan lagi. HMI siap memberikan pemimpin-pemimpin besar untuk Indonesia masa depan.

Kualitas kader menjadi fokus utama dalam perkaderan di HMI. Pertama-tama, yang harus diperhatikan adalah kualitas pengader. Pengader selain melanjutkan regenerasi di HMI, disisi lain menjadi tenaga pengader atau pendidik di HMI sekaligus menjadi contoh bagi kader-kader lain. Oleh karena itu, kualitas pengader menjadi tolak ukur sukses-tidaknya kader. Tetapi, bukan berarti kemudian tanggungjawab perkaderan di HMI menjadi beban pengader semata. Keterlibatan dan partisipasi semua elemen di HMI menjadi sangat urgen dalam mencetak kader yang berkualitas serta dukungan moril dan dukungan materiil dari berbagai pihak demi kelancaran perkaderan dan regenerasi di HMI.

Kedua, tolak ukur sukses dan tidaknya perkaderan di HMI dilihat pada ukuran kualitas kader. Kualitas kader tergantung pada kualitas pengader yang membentuknya. Perkaderan di HMI tidak cukup pada LK 1, LK 2 dan LK 3, yang terkesan seremonial belaka. Kader-kader mesti disediakan wadah sebagai proses berkelanjutan, dengan menyediakan kajian-kajian ilmiah, menganalisis isu-isu yang terjadi di masyarakat, berpartisipasi dalam menyuarakan kebenaran, menyampaikan aspirasi masyarakat, agar kader-kader HMI peka dengan isu-isu sosial.

Ketiga, dunia sekarang sudah masuk di era post truth dimana media dibanjiri dengan macam-macam informasi. Orang bebas mengekspresikan pikirannya di media tampa sedikit pun ragu. Orang bebas mencaci maki dan mengekspresikan kebencian. Isu-isu SARA yang bertebaran dimana-mana. Madia menjadi pusat informasi dan pendidikan malah bergeser menjadi tempat atau alat untuk meyebarkan kebencian, caci maki, dan saling menghina.

Pergeseran fungsi media sebagai pusat informasi dan alat untuk belajar kini berubah 180 % menjadi alat atau senjata untuk menjatuhkan orang lain atau melumpuhkan orang lain, bahkan tidak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Apakah dalam bentuk komoditas maupun dalam bentuk politik.

Dalam kondisi semacam ini kader HMI diharapkan mampu melewatinya. Tentu dengan pembentukan kuliatas kader yang berintelektual dan berintegritas. Tidak bisa di tolak, tidak ada cara lain, selain melibatkan diri didalamnya. Kader-kader harus dibekali dengan kualitas yang mumpuni. Tidak hanya untuk membentengi dirinya sendiri, disisi lain bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat yang di ridhoi oleh Allah SWT sebagai tanggungjawab sosialnya.

Penerapan Rekonstruksi Perkaderan

1. Melalui Perkaderan

Setelah panjang lebar berbicara tentang rekonstrusi perkaderan di HMI sebagai formula baru perkaderan di HMI, maka penting juga untuk merumuskan teknis pelaksanaan perkaderan di HMI. Bicara teknis perkaderan tidaklah terlalu sulit sebagaimana konsep atau ideologis. Bicara teknis bicara pelaksanaan merupakan kelanjutan dari konsep yang diturunkan dalam bentuk teknis.

Jika konsep perkaderan konvesional dan konsep perkaderan digitalisasi atau konsep perkaderan yang dipadukan di atas merupakan hasil evaluasi dari perkaderan HMI salama ini. Tidak menjadi soal merumuskan konsep dan teknis perkaderan baru yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi hari ini.

Teknis perkaderan ini diterapkan melalui perkaderan di HMI. Mulai dari LK 1 sampai LK 3 atau dipendidikan lain. Media sebagai alat untuk menyalurkan informasi dan memudahkan proses belajar mesti digunakan oleh kader-kader HMI dengan sebaik-baik mungkin.

Perlu di ingat bahwa media disini ditempakan sebagai alat bukan tujuan utama dalam digitalisasi perkedaran. Dan perkaderan digitalisasi bukan satu-satunya konsep utuh melainkan konpromi antara perkaderan konvensional. Kesemuanya memperhatikan aspek nilai-nilai ke-Islaman, kultur di HMI, ke-Indonesia-an dan tentu tidak bertentangan dengan ideologi HMI dan konstitusi.

2. Melalui Perilaku Kader

Digitalisasi perkaderan di HMI tidak hanya diterapakan di pendidikan-pendidikan HMI. Tetapi, harus diterapkan melalui perilaku kader. Kader HMI dituntut bisa menyetir media. Ikut aktif dalam membentuk opini publik dengan sehat. Kalau kader HMI hanya sekedar pengguna atau konsumsi media. Lalu siapa lagi yang dapat berkontribusi dalam mencerdaskan masyarakat? Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi kader HMI untuk tidak ikut terlibat didalamnya. Kader-kader HMI harus menjadi pelaku, kalau bisa harus menjadi pembentuk atau pendesain opini publik secara sehat.

Perilaku kader adalah representasi dari HMI. Sejak awal ia masuk HMI, konsekuensi logis membawa nama HMI yang harus dipertanggungjawabkan. Apakah ia sebagai seorang individu maupun sebagai elemen masyarakat. Oleh karena itu, siapa pun kader dimana pun ia berada tetap membawa nama HMI. Lebih jauh lagi, ia membawa nama islam.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB