x

Ketika agama bermakna kosong

Iklan

Bunk ham

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Januari 2020

Kamis, 6 Februari 2020 10:39 WIB

Ketika Agama Bermakna Nihil

Kalau saya kemudian mengatakan kesucian adalah keadaban, dan ketinggian ilmu seseorang, maka manusia tolak ukurannya adalah kemuliaan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan. Sehingga manusia suci tidak lagi lazim dalam penyebutan istilah sempit.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa media pernah digegerkan dan dikabarkan kembali oleh Kementrian Kominfo, dan Kementrian Agama, sebagian isi dan konten yang masuk dalam cuitan itu, semacam ada berita hangat, namun suplemennya mengandung kegaduhan dan keramaian di muka publik.

Sebagian diantaranya adalah munculnya manusia-manusia berwajah kosong tetapi bertopeng palsu. Sehingga publik menilai, banyak kemarakan dan kekalutan belaka. Dengan tampil ragam, mereka terlihat baik, elok, dan bahkan buruk, namun tetap mencuat komentar pedas dan cuitan asin dari publik.

Nilai-nilai agama yang sebenarnya dianggap baik, namun bagi mereka berarti lumrah, biasa-biasa saja. Tidak ada kekuatan dan sumber pegangan yang "independensi" untuk memastikan bahwa kendati hal demikian bisa teratasi dan terpecah dengan baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, sebagai hal ihwal manusia, tidak banyak yang dilakukan adalah kepastian, dan kebenaran yang mutlak. Terkadang mereka mengeruk kesalahan dan menguap kebenaran. Semua jawaban bagi mereka kembali pada kadar dan kententuan hidup kita masing-masing. Namun karena kita menganggap diri yang paling sepurior, maka apapun masalah, tetap masalah bukan solusi.

Semua yang berwarna kuning, belum tentu berarti emas, tetapi semua yang berjubah putih, juga belum tentu, berhati suci. Standar keimanan dan kemuliaan hati manusia itu bukan alat ukurnya materi, tetapi seberapa besar kekuatan iman, pikiran, dan keilmuan bisa mengeruk hati, dan menyeruakan pikiran.

Kalau saya kemudian mengatakan kesucian adalah keadaban, dan ketinggian ilmu seseorang, maka manusia tolak ukurannya adalah kemuliaan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan. Sehingga manusia suci tidak lagi lazim dalam penyebutan istilah sempit.

Karena persoalan dasarnya adalah banyak kujujuran yang disembunyikan oleh kebohongan. Sehingga nilai yang dianggap suci, kini berubah menjadi kotor. Kendati hal yang demikian itu bukan dikarenakan salah dan benar atas sikap, dan kekalutan hati manusia, melainkan atas kealamiahan dan kebiasaannya manusia masing-masing.

Sekarang banyak informasi-informasi dan media-media yang berperan sebagai penyelundupan dan penggelapan informasi. Fakta yang seharusnya membongkar isu-isu terkini, berita hoax, dan penggelapan berita, dan pesan-pesan informasi. Kini beralih-alih di diamkan oleh elit-elit yang berkepentingan dan berkekuasaan tinggi.

Berbagai teknik dan taktik itu dilakukan oleh mereka. Baik di bidang industri, bisnis maupun jual beli, antara halal dan haram secara damai, itupun sudah biasa dijalankan. Layaknya, hubungan antara tuan dan budak. Bagi mereka, kepentingan dan kekuasaan bisnis adalah transaksi perdagangan secara bebas dan terbuka.

Hubungan ini yang kemudian saya katakan bermetamorfose tinggi dan bernilai rendah. Perbedaan itu, menohok pada tingkat kehormatan dan derajat kemanusiaan. Antara manusia kambing dan manusia singa jelas jauh berbeda dengan manusia purba. Mereka lahir dari spesies yang berbeda, namun jenis evolusinya sama.

Belum lagi kita mengenal akhir-akhir ini, proses perkembangan dan pertumbuhan manusia begitu cepat. Kebutuhan dan harga pasar semakin meningkat. Dan bahkan kemajuan teknologi, dan industri begitu sangat pesat.

Umumnya, mereka mengistilahkan itu semua, berupa proses kebangkitan dan kemenangan industri di bidang teknologi, agama, sains, dan ilmu pengetahuan. Namun, bagaimana dengan industri hukum yang menerangai kita saat-saat ini, yang tentunya berkiprah pada jaksa, polisi, hakim, atau pengacara-pengacara lainya?

Apakah industri agama dan bisnis syariah bagi mereka "menjual agama" berlabeling materi bisa dijalankan, atau tidak?

Saya kira, ini bukan hanya soal industri dan bisnis agama saja, tetapi soal kehormatan dan nilai harga diri yang terselundup oleh kelaliman materi, sehingga bias agama berkamuflase suci berubah menjadi kotor. Sama seperti kita, yang ingin mendirikan sekolah pesantren berwatak syariah, menjual kitab suci, memproduksi bisnis umrah, mempublikasikan literatur agama, maupun mendirikan bank syariah.

Jika sebagian diantara itu terselinap dan terbuai oleh materi, maka kita, tetap saja buruk dan haram bagi kita, pemakai ataupun pengguna. Sebab, semua itu adalah bagian dari siklus pengembangan dan proses penyerapan bisnis industri dan transaksi jual beli agama.

Lain halnya, ketika kita mendirikan masjid, memberikan makan fakir miskin, dan mengembangkan pembangunan manusia. Itu semua penting dan memiliki makna luas. Baik dalam pembangunan industri agama, pendidikan, sosial, perdagangan maupun pembangunan.

Tujuanya adalah "sama", yakni tertaut pada kesucian hati, hasrat, dan pikiran manusia (Industri agama), kecerdasan atas kebodohan (industri pendidikan), kesetaraan atas kesenjangan (industri sosial), kemanusiaan atas manusia, (industri perdagangan), dan kemakmuran atas kesejahteraan, (industri pembangunan).

Keempat variabel itu sangat berdampak besar terhadap pembangunan manusia. Sebab sejatinya kebobrokan moral dan nilai-nilai akan kemanusiaan dan kesenjangan sosial tergantung pada harga diri, dan kemuliaan manusia. Bukan hanya bertajuk pada politik dan ekonomi sosial. 

Ketika agama dihilangkan, apakah mungkin depresi dan moralitas manusia tetap terjaga? Tentu tidak, hadirnya agama disini, yakni bagaimana kemudian manusia bisa memanusiakan manusia, mengilmiahkan manusia dan merasionalkan manusia, baik dari segi kekolotan, kebodohan maupun kekalutan atas kemeralatan.

Ikuti tulisan menarik Bunk ham lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler