x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 4 Maret 2020 12:06 WIB

Siapa Lebih Mematikan, Hoaks Virus Corona atau Budaya Literasi Rendah?

Hoaks virus corona kian merajalela. Akibat budaya literasi rendah. Inilah faktanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hoaks Virus Corona Merajalela, Budaya Literasi Memprihatinkan

Virus corona dilanda hoaks alias berita bohong. Hanya di negeri ini, penyakit bisa “dipelintir” hingga jadi sebab kepanikan, ketakutan. Alhasil, mereka menimbun masker, memborong makanan, bahkan menebar hoaks. Aneh, sekolah makin tinggi justru malah "membunuh" hak dan makanan orang lain. Banyak orang makin pintar justru makin tidak kenal batas. Gadget boleh keren, pangkat boleh tinggi, bahkan pendidikan boleh hebat. Tapi sayang, bila tingkat literasinya rendah. Jadi seperti kaum yang tidak logis tidak punya etika dan paling penakut.

Hoaks virus corona kian merajalela. Kemarin pun, kematian dua warga di Cianjur dan Sukabumi dijadikan hoaks. Katanya akibat suspek corona. Begitu dicek ke lapangan, ternyata negatif corona. Mungkin semua orang meninggal hari-hari ini bakal dianggap akibat virus corona. Data Kominfo menyebutkan, ada 147 berita bohong atau hoaks terkait virus corona selama 23 Januari-3 Maret 2020. Sementara itu, sejak Senin hingga Selasa (3/3) ini, ada 5 hoaks yang terdeteksi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hoaks virus corona bisa jadi akibat budaya literasi masyarakat rendah. Masyarakat yang sudah lupa baca atau jarang baca buku.Hingga akhirnya gagal mengkalfifikasi berita. Semua informasi yang tidak berdasar fakta ditelan mentah-mentah dan disebarluaskan. Budaya literasi rendah. Sehingga tidak mampu memilah berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Anehnya, didukung perilaku menyebarluaskannya lebih mudah.

Akibat virus corona gaduh. Hoaks kian merajalela. Akibat budaya literasi di Indonesia sangat rendah. Bayangkan saja. Sekarang ini di Indonesia, masih ada 92.000 SD alias 49% dari seluruh SD di Indonesia belum punya akses bacaan atau perpustakaan. Bahkan dari 61% SD yang punya pun hanya 19% dalam kondisi baik. Di SMP baru 76% yang punya akses tempat membaca dan hanya 22% yang kondisinya baik. Di SMA ada 76% yang punya akses membaca, tapi hanya 33% dalam kondisi baik. Maka wajar hoaks merajalela. Karena akses bacaan dan tempat-tempat membaca tidak diperhatikan.

"Hoaks itu hanya bisa dilawan dengan budaya literasi. Agar manusianya sadar dan paham. Tapi sayang, akses bacaan di Indonesia memprihatinkan. Sekolah banyak yang tidak punya perpustakaan. Taman bacaan masih sedikit di masyarakat. Guru asyik dengan urusan administratif.  Maka jadilah hoaks alias berita bohong merajalela” ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi Indonesia dan Pendiri Taman Bacaan Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

Bangsa Indonesia dan para kaum terdidik sudah lalai untuk menumbuhkan minat baca kepada anak-anak dan masyarakat. Maka akibat tradisi baca dan budaya literasi rendah, masyarakat gampang bingung. Tidak bisa membedakan mana hoaks dan mana fakta.

Budaya literasi di Indonesia kian memprihatinkan.

Karena akses bacaan anak dan masyarakat sangat terbatas. Saat ini tingkat ketersediaan akses bacaan untuk anak-anak Indonesia hanya terpenuhi 20% saja dari total kebutuhan 768.000 perpustakaan/taman bacaan. Budaya literasi rendah karena akses bacaan terbatas. Maka wajar, hasil riset tingkat literasi menempatkan Indonesia berada di peringkat dari 61 negara di dunia.

Dan celakanya, Indonesia punya 150 juta penduduk yang dapat mengakses internet alias media sosial. Semuanya jadi mudah disebarluaskan karena ada dalam genggaman tangan. Sementara tradisi baca dan budaya literasi rendah. Akses buku bacaan terbatas. Namun, akses internet terlalu mudah. Konsekuensinya, hoaks pun merajalela.

 

Hoaks virus corona merajalela. Mungkin hoaks-hoaks lainnya pun akan tersebar luas. Itu semua terjadi karena tradisi baca dan budaya literasi rendah. Prihatin terhadap budaya literasi di Indonesia.

 

Sungguh, saya tidak kasihan terhadap kegaduhan soal virus corona. Tapi saya sangat kasihan kepada anak-anak Indonesia yang hingga hari ini masih tidak punya akses bacaan. Lalu, siapa yang peduli kepada mereka?

 

Aneh, hoaks merajalela kok bangga. Sementara budaya literasi rendah mengaku bermartabat. Sekolah semakin tinggi justru makin ”membunuh” hak dan makanan orang lain. Hingga tidak mengenal batas lagi.

 

Jadi siapa yang lebih mematikan, virus corona atau budaya literasi?

 

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu