x

Iklan

Khairul Ramadhani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Maret 2020

Selasa, 10 Maret 2020 13:36 WIB

Peran NU dalam Kemerdekaan NKRI


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah berdirinya NKRI tidak bisa lepas dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya dikenal dengan kaum santri. Mereka yang cenderung dituduh oleh para kaum pembaru sebagai ahli takhayul, bid’ah dan khurafat, tapi sebenarnya mereka memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi terhadap sesama makhluk dan begitupun dengan agama yang mana mereka telah memplajari tentang ketuhanan. Hanya saja sejarah peran kaum bersarung, sengaja disingkirkan dari catatan lembar bersejarah, seperti pesantren dengan para kyainya, sebelum tertata rapi dan terorganisir dalam jam’iah Nahdhatul Ulama.

Sepintas sejarah telah menyampaikan sebuah kontribusi nyata dari salah satu organisasi agama yang menjadi pamungkas bumi pertiwi. Nahdhatul Ulama (NU) telah menorehkan kisah dalam balutan perjuangan para pemuka negeri pada terakhir dekade. Sehingga sangatlah mungkin, jika dalam hal ini organisasi menjadi tolak ukur keberhasilan negeri.

Indonesia dengan segala macam pernak-perniknya mampu mengatarkan para masyarakat untuk terus berkarya, menampakkan peranan terbaik terhadap segala penjuru negeri, namun dalam hal ini organisasilah yang sudah sepantasnya menjadi aset terbaik dalam memperjuangkan bentuk strata atau bahkan sturuktur sosial yang akan melindungi diri serta menjadi perekat terbaik dalam kehidupan bermasyarakat kedepannya. Menurut KBBI organisasi adalah suatu wadah yang akan menampung segala macam tujuan yang akan diperjuangkan seksama. Dalam artian jelasnya NU hadir demi langsungan dan kebaikan negeri itu sendiri (penggerak nasional).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

NU sendiri adalah sebuah jam’iah atau sebuah organisasi masyarakat Indonesia. Asal mula didirakannya NU pada waktu itu beralihnya kekuasaan di Hijaz pada tahun 1924. Yang mana kemenangan saat itu berpihak kepada Ibnu Saud, dan kabar tersebut merupakan angin segar setalah Ibnu Saud mengundang umat Islam untuk menghadiri mukhtamar khilafah di Makkah.

Pada saat itu kelompok taswirul afkar yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan memiliki inisiatif mendirikan sebuah jam’iah (organisasi), lalu inisiatif tersebut disampaikan kepada hadratus Syekh Kh. Hasyim Ashari, namun beliau tidak mudah menerima inisiatif dari siapapun walaupun itu KH. Abdul Wahab Hasbullah apalagi inisiatif tentang mendirikan jam’iah, karena di kala itu mendirikan sebuah jam’iah jika tidak diperhitungkan dari segi manfaat dan mudorotnya kemungkinan besar itu akan menjadi sebuah keuntungan bagi para penjajah.

Beliau sangat berhati-hati untuk memutuskan inisiatif tersebut dan beliau juga takut terpecah belahnya umat Islam hanya karan sebuah jam’iah yang tidak diperhitungkan dengan benar. Untuk mengambil keputusan dengan benar dan bijak maka KH. Hasyim Asy’ari memilih untuk melakukan isthihara dan memohon petunjuk kepada Allah SWT. Permohonan KH. Hasyim Asy’ari ternyata dikabulkan oleh Allah melalui perantara KH. Khalil Bangkalan. Beliau juga termasuk guru dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Petunjuk tersebut berisikan tentang surat thaha ayat 17-23,

Kemudian KH. Khalil Bangkalan menyampaikan petunjuk tersebut melalui perantara KH. As’ad Syamsul Arifin, dan setealah diterimanya tongkat dan sebuah ayat KH. Hasyim beranggapan bahwa itu sebuah izin untuk mendirikan sebuah jam’iah. Setahun kemudian KH. Khalil mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin untuk bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari dan beliau menyampaikan sebuah tasbih disertai dengan bacaan ‘ya jabbar- ya qahhar’ agar diamalkan setelah sholat lima waktu, pesan terbut menambahkan keyakinan KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan jam’iah untuk para ulama pembela islam ahlusunnah wal jamaah.

Lalu KH. Hasyim Asy’ari memberikan izin kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk mendirikan sebuah jam’iah, namuh hingga wafatnya KH. Khalil Haserat tersebut belum terwujud. Baru terwujud pada tanggal 16 rajab 1344 h bertepatan dengan 31 januari 1926.

Terbentuknya sebuah jam’iah Nahdhatul Ulama, organisasi tersebut memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam kemerdekaan NKRI. Pada zaman penjajahan Jepang NU dan para ulama’ memliki peran yang kuat dalam peristiwa ini, pada tahun 1942 tatkala perkumpulan-perkumpulan berbasiskan Islam masih berada di naungan MIAI dan kelompok keebangsaan masih menjadi anggota GAPI dan kemudian mri, jauh sebelum itu pada tahun 1938 telah dibentuk penghimpun Islam Jepang. Setahun terbentuknya himpunan tersebut Jepang menyelenggarakan pameran Islam dan Konfersi Islam yang diadakan di Tokyo, pada kesempatan itu yang dihadiri oleh utusan-utusan dari miai.

Pada waktu itu MIAI menjadi satu-satunya badan fedarasi bersama dari organisasi-organisasi Islam. Pada awalnya memang pertemuan yang diadakan oleh MIAI banyak memuji Jepang, di tengah kekuatan Jepang yang saat itu memang besar dan mampu merebut daerah yang dikuasai oleh Belanda. Pada zaman penjajahan Jepang ada tokoh penting NU yang berperan didalamnya, yaitu KH. Zainal Musthofa beliau bergabung dengan NU pada tahun 1933 bersama dengan KH. Zainal Muhsin saudranya. Akan tetapi pada tahun 1941 dia ditangkap dengan beberapa ulam lainnya, karena membuat propaganda dan melawan pemerintah penjajah. Mereka dibebaskan pada Januari 1942. Dan para ulama’-ulama lainnya mengalami hal yang sama kemudian dibebaskan pada zaman Jepang. Ketika kelompok Islam diajak untuk bekerja sama dengan Jepang KH. Zainal Musthofa tidak mau dan ia menolak melakukan penghornatan kepada kaisar Jepang sama halnya yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari.

Tapi pemerintah jepang kemudian bertindak lebih jauh. Sekitar April-Mei 1942, KH. Hasyim Asy’ari dan rais akbar hbno ditangkap oleh Jepang, kemudian dipenjarakan di Jombang lalu dipindahkan ke Mojokerto, dan dibawa ke bubutan Surabaya. Jepang beranggapan bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat anti penjajah. Banyak rakyat dan kyai-kyai yang marah dan meminta dipenjarakan bersama KH. Hasyim Asy’ari.

Setelah penangkapan KH. Hasyim Asy’ari, Jepang memperiorotaskan untuk memobalisasikan rakyat Indonesia. Maka dibentuklah organisasi-organisasi rakyat seperti POETRA (pusat tenaga rakyat), SEINENDAN atau barisan pemuda Indonesia, KEIBODAN atau organisasi keamanan, dan Jawa Hokokai atau himpunan kebangkitan rakyat, banyak para tokoh politik dan pejuang kemerdekaan memilih untuk berganbung dengan organisasi tersebut. Untuk kalangan Islam sendiri, bagi mereka yang bergabung dengan organisasi tersebut diberi ruang di dalam shumubu (kua) dan latihan alim ulama.

Pertama shumubu dipimpin oleh Kolonel Horie tetapi sejak tahun 1943-juli 1944 dipegang direkturnya oleh Husein Djajaningrat, dan dia digantikan oleh tokoh NU karismatik yaitu KH. Hasyim Asy’ari sejak 1944- Agustus 1945 jabatan tersebut yang diberikan merupakan Konsesi Jepang kepada kaum muslim. Jepang memandang bahwa tokoh karismatik seperti beliau perlu dirangkul, dan wakilnya diberikan kepada KH. Kahar Moezakkir (muhammadiyah), dan Wahid Hasyim sebagai sanyo setingkat dengan wakil yang sering dipandang melaksanakan tugas-tugas KH. Hasyim Asy’ari

Pada masa penjajahan Jepang, MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada November 1943, sementara itu NU dan Organisasi Islam lainnya juga ikut menyongkong berdirinya Masyumi. Pada saat bersamaan 25 februari 1944 terjadi pemberontakan KH. Zainal Musthofa yang sejak awal memang tidak mau bekerja sama dengan Jepang dan beliau meilhat kesengsaraan rakyat semakin mejadi-jadi. Akhirnya KH. Zainal Musthofa dan pengikutnya diadili oleh pengadilan militer dan dihukum mati pada 25 oktober 1944.

NU pada awalnya menjadi penyongkong terpenting dari MIAI, dalam perkembangannya juga menjadi penyongkong terpenting Federasi Masyumi. Saat itu puluhan ribu anggota NU ada yang menjadi anggota PETA (pembela tanah air) juga, dan juga ada yang mendirikan Hizbullah, milisi muslim dibawah kendali Masyumi. Dalam federasi Masyumi KH. Hasyim Asy’ari duduk sebagai ketua besar Masyumi. Utusan-utusan Masyumi yang merupakan federasi organisasi islam juga terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Partai Persiapan Kemerdakaan Indonesia (PPKI).

Para anggota BPUPKI dianggkat pada tanggal 29 april 1945 ketuanya orang Indonesia, KRT Radjiman Wediodiningrat, dan wakil ketuanya Ichibangase Yoshio (Jepang) dan Rp Suroso 7 orang anggota Jepang luar biasa dan seluruhnya diluar Jepang anggotanya 62 orang wakil-wakil Indonesia. KH. Masjkur dan KH. Wahid Hasyim. Selaku perwakilan dari NU yang berperan dikeanggotaan BPUPKI pada waktu itu. BPUPKI sendiri mengadakan rapat-rapat untuk mempersiapkan kemerdekaan. Setelah sidang-sidang itu, Jepang banyak mengalami kekalahan dari sekutu yang membuat petualang di Asia ini kendor. Kemudian pada tanggal 7 Agustus dibentulah Panitia Penyelenggara Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan 231 anggota dan dengan sendirinya BPUPKI bubar. Pengumuman 7 agustus 1945 dianggap sidang pertama dan menurut rencana sidang keduan akan diselenggarakan pada tanggal 16 Agustus 1945.

Dalam hal ini ada dua tokoh penting yang mewakili NU sejak dibentuknya PPKI, yakni kh. Abdul Wahid Hasyim dan KH. Masjkur. Pada saat pembacaan proklamsi dibacakan di Jakarta, KH. Masjkur sudah kembali ketempatnya yaitu Singosari, Malang. Sedangkan KH. Abdul Wahid Hasyim, yang sering menjadi penghubung dan sumber indormasi penting antar Jakarta dan tokoh-tokoh NU di daerah, menurut Sjafruddin Zuhri dalam suratnya yang dimuat dalam sejarah hidup KH. Abdul Wahid Hasyim menyebutkan bahwa saat-saat menjelang proklamasi, Wahid Hasyim sibuk luar biasa, Sjafruddin Zuhri hampir kurang tidur karena setiap malam membantu KH Wahid hasyim menyiapkan macam-macam instruksi untuk daerah-daerah, di samping harus selalu menemani berbagai pertemuan bersama-sama yang kemudian disebut angktan 17 Agustus 1945.

Pada Agustus 1945, ketua besar PBNU, KH. Abdul Wahab Hasbullah meiminta konsul-konsul tantang NU berkumpul di Jombang, kurang lebih dari 200 tokoh ulama dan aktifis berkumpul, dan Sjafruddin Zuhri mengakui dia datang tanggal 9 Agustus 1945. Selama seminggu meraka dilatih dan digembleng oleh kiai-kiai senior pendiri NU, yang akan digunakan untuk menyongsong kemerdekaan. Suatu ketika di satu sisi pengemblengan ruhani dan jasmani, KH Wahab Hasbullah masuk ke ruangnya dengan anaknya, Muhammad Wahib, yang menjadi serdadu PETA. Wahib datang dari surabaya dan mengabarkan bahwa proklamasi dibacakan pada 17 Agustus dua hari lebih cepat dari rencana Jepang.

Hingga saat ini nu masih sangat berperan terhadap keutuhan NKRI dan kemaslahatn yang sedang terjadi di Indonesia. Dan sampai saat ini NU semakin tahun semakin meningkat popularitas keanggotaannya. Dan d ibidang manapun NU mampu menyamai dengan organisasi-organisasi yang lebih dahulu terbentuk, baik dari segi dunia pendidikan secara formal ataupun secara non formal, ada juga yang berperan dibidang politik sama halnya seperti partai-partai.

Ikuti tulisan menarik Khairul Ramadhani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB