x

Foto Mahmud

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Rabu, 11 Maret 2020 09:45 WIB

Patung dan Pilkada

Artinya, "ada efek ekor jas dari gerakan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dari ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima". Tergantung bagaimana pola-pola permainannya. Peluangnya, pasti ada? Apakah dalam bentuk secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam? Pertanyaannya, siapa yang menjemput bola efek ekor jas tersebut? Adakah penumpang gelap dibalik itu semua? Saya berharap, semoga saja tidak. Dan, diperkirakan bahwa bola ini akan terus bergulir sampai akhir Pilkada nanti, kita tunggu saja!!!  

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagu lama, jawab gebetan saya ketika merespon jawaban saya saat ia tanya; “Kamu lagi ngapain?”. Saya jawab; “Lagi kangen sama kamu”. “Ah, lagu lama”, jawabnya.

Saya sempat tersontak, sesekali saya tersenyum, kayaknya cocok ini untuk membuat sebuah narasi atau tulisan, minimal tulisan tentang sajak-sajak cinta. Jadi, ada-lah inspirasi baru untuk menulis.

Sebagaimana lagu lama, persoalan-persoalan agama di Barat sudah selesai. Sejak awal abad ke-16, persoalan tentang agama mulai diperdebatkan. Dan, sampai pada puncaknya di abad ke-18 perdebatan tentang agama sudah selesai. Sementara itu, di Indonesia, persoalan tentang agama masih dipersoalkan. Apalagi "dihadapkan" dengan negara sangat sensitif sekali dan menjadi momok yang menakutkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di abad ke-19 dan abad ke-20, persoalan tentang nagara, sistem yang menaungi sebuah negara, di Barat sudah selesai. Sementara di Indonesia, persoalan negara dan sistem yang menaungi sebuah negara masih dipersoalkan.

Revolusi 4.0, tahun 2011, di Jerman sudah diterapkan. Sementara di Indonesia, revolusi 4.0 baru masuk di sekitar akhir tahun 2016. Itu pun belum diterapkan di Indonesia secara keseluruhan sampai hari ini.

Apa yang mau saya tunjukan disini; melihat rentang waktu yang cukup panjang di atas bahkan berabad-abad, menunjukan bahwa persoalan agama, persoalan negara dan persoalan sistem yang menauingi sebuah negara sudah selesai.

Sementara di Indonesia, persoalan-persoalan di atas baru masuk dan dipersoalkan. Itulah kenapa negara Indonesia salah satu indikatornya lambat perkembangannya dan cenderung tertinggal dari negara-negara lain.

Negara yang sudah selesai dengan persoalan-persoalan yang saya sebutkan di atas fokus pada pengembangan sains dan teknologi. Sementara itu, kita apa? Apa agenda kita kedepan untuk umat manusia? Apa perkakas kita untuk menghadapi persaingan global, baik secara ekonomi maupun secara poliltik? Nah, itu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua di tengah-tengah persaingan global yang semakin ketat.

Patung

Agar tidak terlalu jauh, saya ingin fokus ke Bima dulu. Ada isu yang ingin saya bicarakan disini, yakni keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab. Bima, yang diduga tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan legalitas kepemilikan lahan, cacat hukum. Ingat, “diduga”, artinya ada proses hukum yang harus dilewati, kalau ada masalah hukum.

Kalau ada masalah hukum, silahkan diselesaikan secara hukum. Itu lebih baik daripada narasi yang beredar (provokasi) yang mengarah kepada tindakan-tindakan barbar. Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, apapun persoalannya, mesti harus diselesaikan secara hukum.

Sementara itu, pemerintah Bima harus ambil sikap yang jelas. Jangan diam diri, hadapi itu massa. Dengarkan apa yang menjadi tuntutannya, lalu ambil langkah-langkah yang harus dilakukan. Tugas pemerintah Bima menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Bima. Jangan lari dari persoalan.

Jangan sampai masalah ini akan merambat ke persoalan-persoalan yang lain yang mangarah kepada isu-isu SARA. Pemerintah Bima mesti belajar dari isu-isu yang terjadi di Indonesia, bagaimana isu SARA menjadi ancaman yang serius dan sangat berbahaya bagi kehidupan yang plural.

Mengenai keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab. Bima, saya pernah mengangkat dan menuliskan artikel di Qureta.com yang diterbitkan pada 26 Oktober 2019 lalu. Judulnya, “Apa yang Salah dengan Pembangunan Patung di Wane, Bima?”.

Tulisan saya itu mendapatkan hujan kritik yang tajam dari berbagai pembaca bahkan tidak jarang menyerang saya secara personal. Bagi saya, biasa saja, tidak usah baper. Risiko sebagai penulis memang harus begitu. Meski secara pemikiran tetap perlu kita uji kembali keilmiahan dan keobjektifan dan saya terbuka dengan semua itu.

Dari situ, saya melihat, alasan penolakan keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab. Bima. Dari berbagai narasi yang berkembang, alasan penolakannya; karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang hidup di Bima dan tidak mencerminkan kearifan lokal budaya Bima, sehingga kemudian, keberadaan pembangunan patung tersebut harus ditolak dan karena itu harus dibongkar.

Tidak boleh ada simbol kepercayaan yang mewakili agama lain yang hidup di Bima. Di daerah Bima 100% penduduknya adalah muslim. Nah, bagaimana dengan yang di Donggo? Ada juga yang non muslim, di daerah Bima lagi, bisa hidup bersama dengan rukun.

Apa yang ingin saya katakan disini, sudahlah, jangan terprovokasi. Masih banyak agenda kita yang harus diselesaikan. Dan, saya meyakini bahwa semasih patung itu tetap eksis, semasih itu pula masalah itu tetap dipersoalkan. Semasih pimikiran kita eksklusif, semasih itu pula persoalan tetap ada.

Saya melihatnya, cukup beralasan untuk melihat apa sebab penolakan tehadap keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab. Bima. Selain, karena cara berfikir yang cenderung eksklusif, disisi lain, fobia dengan sesuatu yang baru, yang berbeda dari luar dirinya, sehingga kemudian, keberadaan pembangunan patung tersebut ditolak.

Pilkada

Terlepas dari persoalan yang dibicarakan di atas, ada hal yang menarik dari awetnya isu keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab. Bima. Di tengah suhu Pilkada Bima yang memanas, isu keberadaan pembangunan patung tersebut kembali bergulir.

Dalam dunia politik, ini bukan sesuatu yang biasa, patut dilihat bersama, semoga saja tidak. Saya berharap begitu, mungkin semua orang berharap yang sama. Semoga saja publik masih cerdas, dijauhkan dari kebodohan dan tetap objektif dalam melihat hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

Sebab, begini; efek ekor jas (cot-tail effect). Saya memakai istilah ini untuk menggambarkan kondisi itu. Sebenarnya, istilah ini dipakai untuk menggambarkan figur yang memiliki pengaruh secara elektoral, baik pemilih maupun partai politik. Pun demikian, bergulirnya isu keberadaan pembangunan patung di Pantai Wane, Desa Tolotangga, Kec. Monta, Kab Bima, mirip begitu. Sekali lagi, ini adalah istilah yang saya gunakan untuk menggambarkan kondisi itu, sebagaimana yang dimaksud di atas.

Artinya, ada efek ekor jas dari gerakan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dari ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima. Tergantung bagaimana pola-pola permainannya. Peluangnya, pasti ada? Apakah dalam bentuk secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam? Pertanyaannya, siapa yang menjemput bola efek ekor jas tersebut? Adakah penumpang gelap dibalik itu semua? Saya berharap, semoga saja tidak. Dan, diperkirakan bahwa bola ini akan terus bergulir sampai akhir Pilkada nanti, kita tunggu saja!!!

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB