x

Foto Mahmud

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Senin, 16 Maret 2020 06:58 WIB

Pilkada Memilih Pemimpin

Bahkan, dengan sedikit berani, dalam perhitungan yang matang, isu SARA atau politik identitas, dalam dunia politik “mengharuskan” itu. Tidak menjadi soal, politik menghendaki dengan segala macam cara untuk merebut kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 23 September 2020.  Dilansir SINDONEWS.com (24/12/2019) ada 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 24 kota akan menggelar pesta demokrasi rakyat lima tahun kedepan.

Pesta demokrasi rakyat untuk memilih pemimpin adalah momentum masyarakat untuk memilih pemimpin, yakni memilih kepala daerah dari masing-masing dan dari berbagai tingkatan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Di konstelasi Pilkada nanti, masyarakat akan memilih pemimpin, siapa yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin. Memimpin kepala daerah lima tahun kedepan dalam membangun daerah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu dengan adanya Pilkada serentak ini diharapkan dapat memilih pemimpin yang benar-benar punya kemampuan untuk membangun daerah lima tahun kedepan sebagaimana yang menjadi harapan bersama dapat membangun daerah lebih baik.

Pilkada Bima

Ada fenomena yang menarik dari Pilkada Bima, yang menurut saya terkesan “dipaksakan” untuk diterapkan di Bima. Dan, inilah yang harus dipahami secara bersama-sama oleh kita semua untuk melihat dinamika Pilkada Bima yang akan kita saksikan secara bersama-sama nanti.

Belajar dari Pilkada Jakarta 2017 lalu, senjata yang paling ampuh untuk menjatuhkan lawan politik adalah dengan memainkan isu-isu SARA. Isu SARA atau politik identitas menjadi keunggulan tersendiri bagi Paslon yang bertarung di Pilkada Jakarta lalu.

Dalam dunia politik itu wajar-wajar saja. Ini adalah soal strategi dan taktik untuk memainkan isu politik. Membangun “persepsi publik” tentang baik dan buruk mengenai Paslon itu biasa-biasa saja, dalam konteks untuk mendapatkan simpati pemilih.

Bahkan, dengan sedikit berani, dalam perhitungan yang matang, isu SARA atau politik identitas, dalam dunia politik “mengharuskan” itu. Tidak menjadi soal, politik menghendaki dengan segala macam cara untuk merebut kekuasaan.

Demikian juga dengan Pilpres dan Pileg 2019 kemarin. Hal yang sama juga terjadi, bagaimana isu SARA bermain. Isu PKI diangkat, lalu dialamatkan ke Jokowi. Isu kerusuhan 98 diangkat dan dialamatkan ke Prabowo. Sekali lagi, dalam dunia politik, itu biasa-biasa saja, tidak perlu kaget. Apalagi alergi dengan dunia politik.

Tetapi, perlu diingat bahwa Pilkada Jakarta berbeda dengan Pilkada Bima. Indeks demokrasi Jakarta sehat, pendidikan politik Jakarta baik, ekonomi Jakarta tinggi dan corong media Jakarta hidup. Berbeda dengan indeks demokrasi di Bima, pendidikan politik di Bima, ekonomi di Bima dan peran media di Bima dalam mengawal pesta demokrasi rakyat.

Mengenai politik identitas; pertama, Jawa dan luar Jawa. Politik ini berlaku di skala nasional. Misalnya, pemilihan presiden dan wakil presiden. Ketika ada politik identitas ini bermain maka peluang untuk calon pemimpin diluar Jawa sangat kecil kemungkinannya untuk menang.

Kedua, SARA. Isu SARA atau politik identitas, salah satunya agama mulai masuk dan bermain didalamnya. Mengingat, mayoritas masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim. Isu ini sangat mungkin terjadi dan bermain didalamnya, dalam dunia politik.

Ketiga, isu gender bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Tidak boleh perempuan menjadi pemimpin, yang menjadi pemimpin harus laki-laki. Pandangan ini berangkat dari cara pandang agama dan kultur sosial yang mengakar kuat di Indonesia. Ide patriarki mulai main dan menjadi alat untuk menyerang lawan politik.

Poin kedua dan poin ketiga inilah yang terjadi di politik Bima sekarang. Isu SARA mulai diangkat. Isu gender mulai dialamatkan kepada salah satu Paslon. Bonus tersendiri bagi para Paslon yang bertarung di Pilkada Bima.

Petahana

Sementara itu, petahana, dalam perspektif politik, saya melihatnya, mempunyai power. Power inilah yang menjadi kekuatan petahana “bermain” di Pilkada Bima.

Sentral kekuasaan petahana inilah yang memiliki hubungan secara langsung (struktural) dengan birokrasi di Bima dan alat-alat negara yang ada di Bima. Tidak bisa dimungkiri bahwa ini akan terjadi di Bima.

Kita bicara Aparatur Sipil Negara (ASN) harus netral, Aparatur Negara (Polisi-TNI) tidak boleh berpihak kepada siapapun, termasuk kepada Petahana. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus netral. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengawal jalannya pesta demokrasi di Bima dengan jujur dan adil.

Idealnya memang begitu, bahkan hukum berbicara demikian (normatif). Lebih dari sekedar itu, karena kekuasaan, ada strategi dan taktik gelap yang bermain dibelakang itu semua. Potensi itu ada, dalam dunia politik, saya melihatnya, tidak ada yang benar-benar jujur. Sudah menjadi rahasia umum. Tawar-menawar politik dan konspirasi bermain.

Saya melihatnya, masalah demokrasi di Indonesia, pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis, pelaksanaan demokrasi yang tidak jujur dan pelaksanaan demokrasi yang tidak adil adalah masalah-masalah etis. Selebihnya, masalah normatif, masalah teknis. Harusnya, yang dibangun adalah berpolitik secara jujur dan adil (etis).

Secara politik, petahana diakui atau tidak, kita harus jujur dan objektif dalam melihat petahana bahwa petahana kuat secara politik. Dilansir SuaraNTB.com (05/02/2020) lima partai politik merapat ke Petahana, diantaranya; partai Golkar, Hanura, PKB, PPP dan Gerindra.

Di sisi lain, kultur politik di Bima cenderung feodalistik dan mengarah pada melanjutkan “aroma” politik dinasti atau dinasti politik. Kultur politik inilah yang masih hidup di Bima.

Dari berbagai tulisan saya, saya selalu membicarakan politik gagasan. Untuk memutuskan mata rantai politik dinasti di Bima, maka masyarakat harus diberikan edukasi politik yang sehat.

Untuk apa kita sekolah tinggi-tinggi? Sementara, orang yang memegang jabatan strategis di Bima adalah orang-orang yang secara akademis “lemah”. Ini yang menjadi renungan kita bersama ditengah-tengah sumber daya manusia yang mulai tumbuh, sementara, di lain sisi, orang yang “lemah” secara akademis menjadi pemimpin di Bima. Itulah salah satu akibat dari kultur politik feodalistik atau politik dinasti.

Lebih dari sekedar Pilkada Bima 2020 yang akan kita rayakan bersama nanti. Petahana, saya melihatnya, sedang mengamankan tiket untuk calon Bupati dan calon wakil Bupati Bima 2025 mendatang. Orangnya sama dari warna yang sama.

Kita lihat saja nanti, apakah kita ingin memutuskan mata rantai kultur politik feodal dan melanjutkan dinasti politik di Bima atau kita putuskan mata rantai kultur politik feodal dan dinasti politik di Bima di Pilkada 23 September 2020 nanti, kita lihat saja.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB