x

Dok. Sendiri

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Jumat, 20 Maret 2020 19:30 WIB

Membumikan 'Iman' di Pilkada Bima?

Nilai-nilai iman seperti keamanan dan kesejahteraan, amanah dan jujur inilah yang harus dibumikan di Pilkada Bima.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Politik tidak seperti matematika (pasti). Politik itu identik dengan perubahan. Dalam dunia politik tidak ada yang tidak berubah. Hanya perubahanlah yang tidak berubah. Itulah rumus politik”.

Kutipan di atas, saya kutip pada tulisan saya di indonesiana.id yang diterbitkan pada tanggal 30 Oktober 2019 lalu. Judulnya, “Fenomena Politik di Bima; Menyongsong Pilkada 2020”.

Sebagai orang yang “berpolitik”, saya masih percaya pada kutipan di atas dan itulah yang saya lihat yang sedang terjadi di Pilkada Bima hari ini.

Lawan politik sangat mungkin menjadi kawan politik. Dan kawan politik sangat mungkin menjadi lawan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ingat, kawan dan lawan, dalam dunia politik, tidak ada, sudah melebur menjadi satu. Yang ada dalam dunia politik adalah merebut kekuasaan, kompetisi untuk meraih kekuasaan.

Sesederhana itukah politik? Apakah berpolitik hanya semata-mata untuk merebutkan kekuasaan?

Tidak, ada yang lebih tinggi daripada sekedar berpolitik, yaitu kemanusiaannya, untuk manusia dan masyarakat banyak.

Idealnya memang begitu dan memang harus begitu. Kalau elite-elite politik di Bima menyadari soal itu?

Bagaimana berpolitik dengan santun, berpolitik dengan jujur dan berpolitik dengan adil. Membangun komunikasi politik dengan baik dan menghadirkan gagasan-gagasan politik yang visioner di Bima untuk membangun Bima lima tahun kedepan. Harusnya, cara berpolitik seperti inilah yang dibangun dan dihidupkan di Bima.

Di perhelatan Pilkada Bima, hiruk pikuk menyeruak di Publik, saling klaim-mengklaim bahwa kami yang akan menang.

IDP-Dahlan (petahana) mengklaim bahwa kami akan menang di Pilkada Bima bahkan dengan sedikit berani dipasangkan dengan “Sandal Jepit” pun IDP-Dahlan akan menang.

Demikian juga pasangan Iman (Irfan-Herman) mengklaim bahwa kami akan memenangkan pertarungan di Pilkada Bima. Sebab, kami mewakili figur baru dan ide baru meskipun saya belum mendapatkan apa ide barunya untuk membangun Bima lima tahun kedepan.

Safa’ad (Syafru-Ady) pun juga demikian, tidak mau kalah, mengklaim bahwa kami akan menang di Pilkada Bima.

Sah-sah saja, tidak menjadi soal, dalam dunia politik, klaim-mengklaim menang itu biasa-biasa saja, samampu masing-masing pendukung untuk mengklaim itu.

Terlepas dari klaim-mengklaim pendukung ketiga Paslon di atas, pertarungan di “Ring Pilkada” yang akan menentukan dan yang akan menunjukkan siapa yang terkapar di Pilkada Bima nanti dan itu yang akan kita saksikan bersama nanti.

Tetapi, klaim-mengklaim siapa yang akan menang di Pilkada Bima. Bagi saya, terlalu dini. Sebab, indikatornya apa?

Adakah survei yang menyatakan dan itu meyakinkan ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima bahwa Petahana akan menang, Iman akan menang, dan Safa’ad akan menang. Sebagai jaminan klaim itu.

Bagaimana dengan kekuatan partai politik internal masing-masing ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima. Bagaimana peran media menyorot ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima dalam melakukan safari-safari politiknya di masyarakat. Sejauh mana ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima menyerap aspirasi masyarakat dan mendapatkan simpati pemilih.

Indikator-indikator di atas menjadi perhitungan dan menjadi pertimbangan kita bersama bagaimana ketiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima dapat memenangkan pertarungan.

Belajar dari Pilpres 2019, di detik-detik terakhir pendaftaran pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Kenapa Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya di Pilpres 2019 meskipun banyak nama-nama calon kandidat Wakil Presiden di kantung Jokowi.

Menjadi pertanyaan juga kenapa Pasangan Calon (Paslon) dipilih oleh Jokowi di akhir-akhir waktu pendaftaran pencalonan calon Presiden dan calon Wakil Presiden?

Pertama, Ma’ruf Amin menjadi figur kunci bagi pemilih muslim di Indonesia di tengah-tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap Jokowi.

Secara politik, mayoritas pemilih muslim di Indonesia “dijadikan sebagai alat” oleh Jokowi untuk mendapatkan suara pemilih muslim terbanyak di Indonesia, terutama pemilih NU.

Kedua, dipilihnya Ma’ruf Amin menjadi calon Wakil Presiden berpasangan dengan Jokowi di detik-detik akhir pendaftaran pencalonan merupakan bagian dari strategi dan taktik petahana untuk mengelabui oposisi dalam menentukan Pasangan Calon (Paslon).

Berbeda dengan Pilkada Bima, petahana belum menentukan Pasangan Calon (Paslon), oposisi sudah mulai start duluan. Padahal, sebagai bagian dari strategi dan taktik politik, oposisi mesti mengukur sejauh mana kekuatan petahana, baru menentukan Pasangan Calon (Paslon).

Sebab, dalam menentukan figur Pasangan Calon (Paslon) akan menentukan juga sejauh mana pengaruhnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap pemilih.

Sementara itu, baik petahana maupun oposisi tidak “terbuka” dalam menentukan Pasangan Calon (Paslon). Begitu pun dengan partai-partai politik pengusung masing-masing Paslon (internal).

Ketidakterbukaan dalam menentukan Pasangan Calon (Paslon) dan partai-partai politik pengusung masing-masing Paslon (internal) mengakibatkan pada “menggantung” kepercayaan pemilih terhadap calon Bupati dan calon Wakil Bupati Bima yang akan bertarung di Pilkada Bima.

Sebut saja pasangan Iman (Irfan-Herman), andai kata pasangan ini didukung oleh PKS dan PDIP, secara ideologi partai sangat kontradiktif sekali dengan apa yang dicitrakan oleh pasangan Iman selama ini.

Tampaknya, PDIP tidak muncul dipermukaan, bermain dibawah dan secara diam-diam mendukung. Sebab, kalau partai ini diperlihatkan dipermukaan akan berpengaruh secara langsung kepada Paslon yang diusung.

Pasangan inilah yang gencar melakukan safari politik di masyarakat. Turun dari berbagai Kecamatan dan dari berbagai Desa menyerap aspirasi masyarakat.

Sementara itu, petahana, belakangan gencar melakukan Kunjungan Kerja (Kunker). Kunjungan Kerja (Kunker) yang dinilai politis. Sebab, ada Pilkada didepan. Apalagi IDP-Dahlan secara terang-terangan sudah memberikan sinyal kuat maju di Pilkada Bima 2020. Meskipun IDP-Dahlan mengklaim itu sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah.

Sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah; “sebagai bagian dari kepentingan Pilkada atau Kunker pesanan Pilkada”. Alibi yang ditunggangi oleh petahana dalam tubuh kekuasaan.

Lebih dari sekedar katiga Paslon yang bertarung di Pilkada Bima. Berpolitik dengan jujur dan dengan adil adalah yang harus dibumikan di Bima Ramah dengan membangun komunikasi politik yang sehat dan narasi politik yang baik.

Agar tidak disalahpahami dan menjadi liar. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung siapa pun yang bertarung di Pilkada Bima. Apalagi mempersepsikan saya yang macam-macam dengan berbagai kepentingan politik.

Kita tinggalkan dulu bicara "Iman" sebagai politik, kita bicara iman sebagai teologi. Mengutip Tarigan (2007) iman selalu diterjemahkan dengan percaya. Tidaklah terlalu salah, namun belum menyentuh makna substansial.

Iman sama dengan aman (kesejahteraan dan kesentosaan) dan amanah (keadaan bisa dipercaya). Dari sini dapat dikatakan bahwa iman akan melahirkan rasa aman dan mempunyai amanat. Labih dalam dibandingkan dengan sekedar percaya.

Jadi, salah satu wujud dari iman adalah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan.

Nilai-nilai iman seperti keamanan dan kesejahteraan, amanah dan jujur inilah yang harus dibumikan di Pilkada Bima.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB