x

Iklan

Ardhiyanto Wisnu Groho

Sejarawan dan Praktisi Pendidikan
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 2 April 2020 11:31 WIB

Rajamandala: Jejak Sejarah Gubernur Jenderal Daendels Hingga Presiden Soeharto

Menelusuri perjalanan sejarah prasarana transportasi Jembatan Rajamandala

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   Rajamandala, merupakan nama sebuah wilayah yang berada di sekitar perbatasan Kabupaten Cianjur dan Bandung Barat. Wilayah ini dilintasi oleh jaringan jalan nasional Jakarta-Bandung via Puncak, Bogor. Kondisi khas geografis Rajamandala adalah pegunungan karst (kapur), serta terdapat lembah aliran Sungai Citarum yang membelah dari selatan (hulu) ke utara (hilir). Setiap penglaju dari Cianjur menuju Bandung atau sebaliknya sudah barang tentu akan menyebrangi lembah Sungai Citarum tersebut.

Pada masa sekarang (2020) lembah ini dapat dilewati dengan menggunakan sebuah jembatan yang dibangun pada 1979. Namun, bagaimana proses berlangsungnya penyebrangan sebelum dibangun jembatan tahun 1979, mengingat rute jalan ini merupakan salah satu bagian dari jalan pos Batavia-Bandoeng yang itu berarti kegiatan penyebrangan sudah ada jauh sebelum 1979?

       Pada 1809-1811, Gubernur Jenderal Daendels melaksanakan program pembangunan jalan raya Pos yang membentang dari Anyer hingga Panarukan sejauh kurang lebih 1000 km. Pada rute Batavia- Bandoeng Daendels harus menghadapi medan yang sangat ekstrim. Dari Buitenzorg hingga Tjianjoer pembangunan jalan menghadapi pegunungan dan menuruni lereng yang terjal. Lepas dari Kota Tjianjoer kondisi jalan cenderung datar hingga menjelang wilayah Rajamandala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan tulisan tentang sejarah pembangunan jalan raya Pos, wilayah Rajamandala tidak terlalu dibahas secara rinci seperti halnya wilayah Megamendung ataupun Sumedang (Cadas Pangeran). Hal ini sangat dimungkinkan karena tidak adanya peristiwa yang menarik untuk dicatat seperti halnya tragedi banyaknya korban yang meninggal seperti di Megamendung atau konflik sosial seperti di Cadas Pangeran.

       Meskipun demikian, koridor jalan raya Pos di Rajamandala-Haurwangi masih sangat menarik untuk dibahas terutama mengenai sistem penyebrangan yang digunakan untuk melintasi Sungai Citarum. Kondisi jalan pos di lokasi ini baru dapat dilacak sekitar tahun 1852. Menurut catatan perjalanan Walter Kinloch dalam Rambles In Java And The Straits In 1852 menceritakan bahwa kondisi jalan di Rajamandala terbilang cukup ekstrim,

"About fifteen miles from Tjanjore, an exceedingly abrupt descent brings the traveller to a  tributary of the Tjeetaram ; the inclination of the road is here so great, that it is necessary to attach a treck tow, or leathern rope, to the hind part of the carriage, upon which a strong pull is maintained by some twenty or thirty Coolies, in order to prevent too rapid a descent of the carriage down the hill." 

        Setelah melalui jalan yang cukup datar, pengguna jalan dari arah Cianjur harus menuruni lembah agar dapat mencapai tepi Sungai Citarum. Perlu upaya keras untuk sebuah kereta kuda agar dapat menuruni lembah yang sangat curam dengan aman. Bahkan, kereta pun harus ditahan dari belakang oleh sekitar 20-30 kuli dengan cara kuli tersebut menarik derek (tali kulit) yang diikatkan di belakang kereta. Lembah yang sangat berbahaya ini diimbangi dengan pemandangan yang sangat indah, dan lebih indah lagi ketika telah berada di tepi Sungai citarum.

     Saat tiba di tepi sungai, kereta kuda atau pejalan kaki harus melintasi sungai dengan cara menaiki perahu punt, perahu jenis ini memiliki ciri dasar perahu datar dengan busur berbentuk bujur sangkar serta digerakan dengan cara medorong galah yang ujungnya berada di dasar sungai. Setelah menepi, kereta kemudian ditarik oleh empat kerbau agar mampu mendaki lereng lembah yang sangat curam. Bahkan, menurut Kinloch pendakian tersebut merupakan yang paling berbahaya selama perjalanan dari Batavia ke Bandung.

"The approach to this stream is very beautiful, but the view in the descent to the river itself is still more beautiful. The river is crossed by a punt without trouble or delay: and immediately on gaining the opposite side, four powerful buffaloes are yoked to the carriage, which in the course of a few minutes is safely transported to the top of the opposite bank.... We consider this ascent from the Tjeetaram to be the only really dangerous part of the road between Batavia and Bandong".

Berdasarkan catatan tersebut menunjukan bahwa paling tidak hingga tahun 1852 penyebrangan Sungai Citarum masih dilakukan dengan cara menaiki perahu. Itu berarti sejak awal koridor jalan ini dibangun, Daendels tidak pernah membangun infrastruktur jembatan di lokasi ini.

        Berbeda halnya di lokasi lain, masih di wilayah Kabupaten Cianjur tepatnya di Sungai Cicundel (Cikundul) menurut Van der Chijs dalam Djoko Marihandono Medekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan dikatakan bahwa dalam rangka membantu pembangunan jalan pos dari Cisarua ke Karangsambung (Cirebon) Daendels mengeluarkan ketetapan untuk mengizinkan pasukan Zeni memanfaatkan besi-besi yang ada di gudang negara  dalam pembuatan jembatan Sungai Cicundel. Maka dapat dipastikan dalam pembangunan jalan pos digunakan dua cara penyeberangan sungai, yaitu dengan membangun jembatan atau masih menggunakan sarana perahu.

    Bukan tanpa sebab Daendels tidak membangun jembatan di Sungai Citarum, kesulitan pendanaan menjadi faktor terbesar dalam upaya membangun sebuah jembatan. Berbeda dengan Sungai Cicundel yang tidak terlalu lebar, Sungai Citarum memilik badan sungai dan daerah aliran sungai (DAS) yang lebih lebar, sehingga untuk membangun sebuah jembatan dibutuhkan material yang lebih banyak dan dana yang lebih besar. Menurut Djoko Marihandono, dalam proses pembangunan jalan pos Daendels mengalami kesulitan pendanaan untuk menyelesaikan proyek tersebut, sehingga Daendels menerapkan sistem kerja wajib bagi penduduk pribumi. Daendels pun harus menentukan sungai yang seperti apa yang harus dibangun jembatan atau tidak untuk mengurangi beban pendanaan.

    Tidak diketahui secara pasti sampai kapan metode penyeberangan menggunakan punt berlangsung di Lembah Sungai Citarum. Dapat diduga penyeberangan dengan punt berlangsung hingga awal tahun 1900-an. Hal ini didasarkan pada periode 1860-1900 pemerintah kolonial lebih memfokuskan dana pembangunan untuk membangun jaringan kereta api. Salah satunya adalah jaringan rel kereta Batavia-Buitenzorg-Bandung pada tahun 1884 (lihat KAI Heritage).

Jalur kereta ini juga melintasi Lembah Sungai Citarum melalui sebuah jembatan megah (Leuwi Jurig), tepatnya berada di sebelah utara penyeberangan punt. Baru kemudian pasca tahun 1900-an infrstruktur jembatan dibangun untuk menggantikan penyeberangan punt, seiring dengan semakin meningkatnya volume kendaraan bermotor yang telah hadir sejak tahun 1893. 

Akan tetapi, jika dilihat dari bekas pondasi jembatan ini hanya mampu dilalui oleh satu kendaran secara bergantian dan pengguna jembatan harus antri menunggu giliran melintas. Jembatan inilah yang kemudian disebut sebagai Jambatan Rajamandala generasi pertama.

    Jembatan generasi pertama beroperasi hingga sekitar tahun 1980-an. Selama beroperasi jembatan ini menjadi pilihan utama para pengguna jalan yang melakukan perjalanan dari Jakarta, Bogor menuju Bandung ataupun sebaliknya. Tentu saja berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar Rajamandala. Kegiatan ekonomi masyarakat bergeliat dengan menjual hasil panen di pinggir jalan.

Dikutip dari komunitasaleut.com peningkatan ekonomi masyarakat mencapai puncaknya pada periode tahun 1970-1980. Pada periode ini banyak sekali para pengguna jalan yang berhenti untuk sekedar membeli dagangan untuk dijadikan sebagai oleh-oleh ke Jakarta. Namun, geliat ekonomi masyarakat Rajamandala mulai meredup seiring dengan dibangunnya akses jalan baru yang berada sekitar 1,5 kilometer dari jembatan yang lama.

     Pada tahun 1979, pemerintah Orde Baru berhasil menyelesaikan pembangunan jembatan Tol Rajamandala atau nama lainnya adalah jembatan Tol Citarum. Akses jembatan tol ini memangkas jarak tempuh dari sekitar 8 kilometer dengan jalan berkelok-kelok menjadi hanya 5 kilometer dengan jalan lurus.

Dengan dibukanya akses baru ini terjadi perubahan pola lalu lintas. Kendaraan beroda empat atau lebih mulai mengalihkan rute perjalanan dengan memilih melalui jembatan tol karena dianggap lebih dekat dan cepat, walaupun masih ada beberapa kendaraan yang memilih tetap melintasi jembatan lama agar tidak mengeluarkan biaya tol. Ditambah lagi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1979 membolehkan kendaraan roda dua melintasi jalan tol dengan dikenakan tarif tol Rp 50,-. Tentu saja, hal ini sangat mengurangi jumlah kendaraan yang melintas di jembatan lama, akibatnya pendapatan para pedagang mulai menurun.

    Harapan masyarakat Rajamandala kembali terbuka ketika mengetahui akan ada relokasi sekaligus peningkatan jembatan Rajamandala generasi pertama. Jembatan harus direlokasi sebagai dampak dari pembangunan Waduk Cirata (1983-1988). Jembatan yang lebih baru selesai dibangun pada tahun 1987 dengan posisi lebih tinggi di sebelah selatan jembatan lama untuk menghindari luapan Sungai Citarum setelah dibendung, terutama saat musim hujan.

Berdasarkan prasasti peresmian, relokasi jembatan ini adalah kompensasi dari PLN sebagai bangunan yang terdampak akibat dari pembangunan Waduk, kemudian PLN menunjuk PT Jasa Kencana Bahagia sebagai pelaksana pembangunan jembatan. Dengan dibangunnya jembatan generasi kedua kapasitas dan kualitas jembatan menjadi lebih baik dibanding jembatan generasi pertama, sehingga dapat menampung jumlah lalu lintas lebih banyak. 

      Pada kenyataannya periode tahun 1990-an, masyarakat Rajamandala yang masih bertahan untuk berjualan tidak terlalu merasakan perubahan signifikan. Jumlah kendaraan yang melintas tidak sebanyak di jembatan tol. Mayoritas kendaraan yang memilih melintasi jalan lama adalah mereka yang ingin merasakan suasana sepi dan asri, serta memanfaatkannya untuk beristirahat sejenak menghilangkan rasa lelah setelah menempuh perjalan dari Bandung atau Jakarta.

Seperti yang terjadi pada Bapak Agus Suparman, pada periode 1990-an beliau merupakan penglaju yang hampir setiap akhir pekan menempuh perjalanan dari Rancaekek menuju Depok dan sebaliknya. Beliau menerangkan bahwa ketika melakukan perjalanan dari arah Bandung beliau memilih untuk mulai melakukan perjalanan sejak subuh, ketika melintas di Rajamandala beliau tidak berhenti dan terus melanjutkan perjalanan.

Namun, ketika melakukan perjalanan menuju Bandung beliau lebih memilih memulai perjalanan pada siang menjelang sore hari, dan tiba di Rajamandala menjelang maghrib. Di tempat inilah beliau menyempatkan diri untuk sekedar istirahat dan membeli jajanan sebagai cemilan. Pengendara seperti inilah yang menjadi harapan satu-satunya bagi para pedagang yang masih bertahan di sekitar jembatan Rajamandala lama. 

     Hingga tahun 2017 berdasarkan hasil kunjungan hanya terlihat sebuah warung yang cukup besar berada persis di ujung jembatan sisi timur (dari arah Bandung). Meskipun ada beberapa warung di dalam lingkungan perkampungan, namun warung - di sisi jembatan - ini berbeda karena target pembelinya adalah para pelancong yang beristirahat atau para pengunjung yang akan melakukan kegiatan memancing di Sungai Citarum yang terkenal akan ikan-ikan berukuran besar, ataupun juga para remaja yang melakukan kegiatan olahraga ekstrim dari atas jembatan lama Rajamandala.

      Rajamadala suka tidak suka mengalami perubahan drastis dari yang awalnya merupakan daerah ramai karena menjadi jalan utama lalu lintas Jakarta-Bandung, menjadi sebuah daerah yang sepi jauh dari hiruk pikuk keramaian. Seperti dua sisi mata uang, di satu sisi kegiatan ekonomi masyarakat meredup, namun di sisi lain membuat suasana Rajamandala masih asri dan terjaga sehingga orang yang melintas akan merasakan suasana Rajamandala sekarang sama dengan puluhan atau ratusan tahun yang lalu.

Bahkan, Prof. Nina Herlina Lubis dalam Ekspedisi Anjer-Panaroekan Laporan Jurnalistik: 200 Tahun Anjer-Panaroekan menyebutkan bahwa Rajamandala merupakan sebuah museum hidup Jalan Raya Pos yang susananya hampir mirip seperti suasana pada masa kolonial. Sudah selayaknya masyarakat dan pemerintah harus menjaga aset sejarah ini ditengah tergerusnya bukti peninggalan Jalan Raya Pos Daendels di sepanjang Anyer hingga Panarukan. 

Ikuti tulisan menarik Ardhiyanto Wisnu Groho lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler