x

Iklan

Ardhiyanto Wisnu Groho

Sejarawan dan Praktisi Pendidikan
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 9 Mei 2020 13:09 WIB

Durian Jagorawi: Dari Kaki Lima Hingga Rest Area

Melihat kembali sejarah kemunculan rest area pertama Jagorawi dilihat dari perspektif sosial-ekonomi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lalu lintas kendaraan yang melintasi koridor selatan antara Jakarta dan Bogor merupakan jalur yang terpadat di antara koridor Timur (Karawang) dan Barat (Tanggerang). Berdasarkan data dari jumlah lalu lintas harian tahun 1969, koridor Jakarta-Bogor menjadi yang paling tinggi dilalui oleh kendaraan bermotor. Hal ini tidak terlepas dari fungsi Jalan Raya Bogor yang menjadi jalur arteri yang sangat penting untuk menghubungkan daerah ibukota dengan kota-kota lain di wilayah Jawa Barat atau kota penting lainnya di Jawa bagaian timur.

Sebelum Jalan Tol Jagorawi beroperasi, lalu lintas kendaraan dilayani oleh dua fasilitas jalan raya yang sudah ada, yaitu Jalan Raya Bogor dan Jalan Parung. Namun, Jalan Parung hanya menjadi alternatif dan lebih sedikit yang melintas karena keterbatasan kemampuan jalan tersebut yang hanya sebagai jalan kelas dua. Itu sebabnya lalu lintas kendaraan lebih terkonsentrasi pada jalan arteri Raya Bogor. Ramainya hilir mudik kendaraan di jalan ini membangkitkan kegiatan perekonomian di sepanjang pinggir jalan tersebut.

Salah satu kegiatan ekonomi yang memanfaatkan kondisi jalan Raya Bogor adalah para pedagang buah durian. Para pedagang biasanya menawarkan dagangannya di beberapa lokasi di jalan tersebut. Buah durian yang dijual biasanya merupakan hasil perkebunan yang berada di wilayah antara Jakarta dan Bogor. Para penjual memanfaatkan kepadatan lalu lintas guna memasarakan hasil panen kebun mereka agar mendapat keuntungan tambahan selain menjualnya di pasar atau tempat lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keuntungan yang lebih besar bisa diperoleh pedagang ketika musim libur tiba. Lalu lintas melonjak tajam selama musim libur. Lonjakan disebabkan banyaknya pelancong yang ingin melakukan perjalanan liburan ke wilayah Bogor, Puncak, bahkan Bandung. Biasanya para pelancong membeli durian disaat mereka beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh ataupun dijadikan sebagai oleh-oleh setelah melakukan liburan. Nampaknya jalan Raya Bogor memiliki arti penting bagi para pedagang Durian dalam upaya memasarkan dagangan mereka.

Setelah beroperasinya Jalan Tol Jagorawi kondisi yang dirasakan para pedagang mulai mengalami perubahan. Kepadatan jalan Raya Bogor perlahan mengalami penurunan. Lalu lintas kendaraan tidak seramai sebelum adanya jalan tol. Sebagian besar pengguna jalan lebih memilih untuk memanfaatkan Tol Jagorawi karena dianggap lebih cepat dan efisien. Kondisi ini sangat berdampak bagi para pedagang durian. Tentu omset dagangan mereka mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya lalu lintas kendaraan di jalan Raya Bogor.

Perpindahan pusat keramaian kendaraan membuat para pedagang mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat tetap memasarakan dagangannya. Akhirnya sebagian dari para pedagang mulai memindahkan lapak dagangannya ke pinggir jalan tol. Beberapa pedagang menjadikan jalan Tol Jagorawi sebagai lokasi lapak dagangan mereka. Keberadaan para pedagang buah di Tol Jagorawi mulai terlihat sejak tahun 1988.[1] Pedagang menggelar lapak dagangannya persis dipinggir jalan tol di sekitar Citeureup hingga Sentul. Terutama pada musim panen buah durian, jumlah pedagang yang menggelar lapak dagangannya semakin bertambah.

Hingga akhir dekade 1980-an hampir diseluruh sudut jalan di Jakarta terdapat pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di bahu jalan, tidak terkecuali jalan utama seperti Jalan Sudirman dan Jalan M.H. Thamrin. Hal ini disebabkan belum adanya peraturan yang jelas mengenai larangan berdagang di bahu jalan. Undang-Undang Lalu Lintas dan Peraturan Pemerintah Daerah Jakarta mengenai ketertiban umum belum mengakomodasi dasar hukum mengenai masalah tersebut. Namun, untuk jalan tol sendiri memiliki peraturan khusus yang menegaskan bahwa jalan tol merupakan jalan bebas hambatan yang terbebas dari potensi-potensi yang akan menganggu lalu lintas, termasuk salah satunya keberadaan pedagang di bahu jalan.

Kehadiran para pedagang buah tentu saja menarik perhatian para pengguna jalan tol untuk berhenti dan membeli durian atau hanya sekedar menawar. Kendaraan yang berhenti di bahu jalan bukan karena keadaan darurat dapat mengganggu lalu lintas jalan tol dan membahayakan pengguna jalan lain.[2] Kondisi ini dianggap berbahaya oleh pihak pengelola jalan tol, sehingga pihak keamanan dikerahkan untuk berpatroli menertibkan wilayah yang biasa dijadikan untuk lapak para pedagang.

Meskipun petugas patroli sudah dikerahkan, pada kenyataannya para pedagang durian tetap menggelar lapak dagangannya. Biasanya mereka menggelar lapak setelah para petugas yang berpatroli telah melintas. Ketika petugas melintas kembali, para pedagang langsung bersembunyi di luar pagar beton pembatas jalan tol. Upaya pengawasan yang dilakukan oleh pengelola jalan tol terus mengalami kegagalan.

Selama ini, terlebih pada musim buah durian dan rambutan, sisi jalan tol di kawasan itu nyaris menjadi pasar buah pada waktu-waktu tertentu. Ini merepotkan petugas patroli JM untuk menertibkan, sebab para petugas pun tahu kegiatan tersebut seharusnya ditampung.

Para pedagang nampaknya lebih cerdik dalam mengantisipasi penertiban yang dilakukan pengelola dan semakin lama petugas patroli mulai menutup mata terhadap kegiatan terlarang ini. Upaya penertiban yang dianggap tidak efektif membuat pihak pengelola mencari cara lain agar dapat mengatasi masalah berjualan di pinggir jalan tol.

Pada akhirnya, pengelola jalan tol PT Jasa Marga mengajukan sebuah ide untuk menyediakan sebuah tempat di sekitar jalan tol sebagai upaya menampung para pedagang buah yang biasa berdagang di pinggir jalan tol. Ide tersebut berhasil direalisasikan dengan dibangunnya sebuah tempat peristirahatan (TI) atau biasa disebut Rest Area. Tempat ini mulai dibangun pada tahun 1992 dengan berlokasi di sekitar Sentul. Setelah selesai dibangun, maka rest area ini menjadi yang pertama di Indonesia.

Pembangunan rest area dilaksanakan oleh PT Setopan Sentul dengan perjanjian sewa kepada Jasa Marga selama 30 tahun. PT Setopan Sentul mengelola rest area seluas 8.750 meter persegi pada sisi timur jalan tol Jagorawi lebih kurang separuh perjalanan dari Jakarta menuju Bogor/Ciawi (Sta. 23+750). Sewa pada JM Rp 10 juta per tahun dan akan dinaikkan setiap tahun dengan 10 persen. Dengan investasi Rp 4 milyar investor merencanakan menyediakan fasilitas sarana parkir, rumah makan, play ground, lokasi pedagang kaki lima, show room dan musholla.

Seperti yang dikemukakan Direktur Keuangan PT Jasa Marga Ir. Srijono hari Sabtu usai menandai awal pembangunan, “dengan pembangunan TI yang direncanakan selesai sebelum 17 Agustus mendatang itu JM menitipkan para pedagang buah-buahan itu kepada PT Setopan Sentul”, ujar Srijono.[3]

Pedagang buah-buahan yang berjualan di sisi jalan tol Jagorawi sekitar kawasan Sentul, Cibinong dianjurkan untuk berhimpun dalam koperasi. Dengan demikian persero Jasa Marga sebagai badan usaha milik negara dapat menyalurkan bantuannya kepada koperasi yang bersangkutan. Sedang kegiatan anggotanya menjual buah-buahan dapat disalurkan melalui koperasi tersebut dan mendapat tempat di lingkungan tempat isitirahat/TI (rest area) baru tersebut. Tawaran itu segera disambut oelh wakil Pemda Kabupaten Bogor, S. Jazuli yang berjanji akan segera mengkoordinasikan dengan camat dan lurah setempat.

Akhirnya, pada tahun 1993 rest area berhasil dibangun, sehingga beberapa pedagang Durian dapat segera berjualan di tempat tersebut. Namun, terbatasnya jumlah tempat untuk menampung pedagang menyebabkan tidak semua pedagang dapat tertampung, sehingga ada beberapa pedagang yang masih berjualan hingga keluar rest area. Meskipun sebagian besar para pedagang sudah tertampung di rest area, pada kenyataannya masalah pedagang buah di pinggir jalan masih terus berlangsung hingga tahun 2003.

 

[1] Jalan Tol Jagorawi”, Kompas (Jakarta), 28 Desember 1988, hal. 3

[2] “Durian Jagorawi”, Kompas (Jakarta), 28 Desember 1988, hal. 3.

[3] “Pedagang Buah Di Jalan Tol Dianjurkan Bentuk Koperasi”, Kompas (Jakarta), 2 Maret 1992, hal. 7.

Ikuti tulisan menarik Ardhiyanto Wisnu Groho lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler