Dunia Setelah Pageblug Corona (oleh Kemala Atmojo)

Senin, 20 April 2020 08:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Susana di China
Iklan

Bagaimana sebuah negara, sebuah bangsa, menata dunia dalam hubungan dengan bangsa atau negara lain pasca pagebluk corona? Akankah kita akan fokus pada diri kita sendiri atau kita justru harus mengembangkan solidaritas global? Saat ini Amerika Serikat dan sekutunya boleh saja kesal terhadap China. Begitu pula sebaliknya. Tetapi, apakah mereka akan saling mengisolasi diri?

  • Dunia Setelah Corona
    Kemala Atmojo, Alumni STF Driyarkara
     
    Pandemi corona (Covid-19) ini benar-benar telah mengakibatkan bencana kemanusiaan dan krisis ekonomi di beberapa negara. Ia sudah menyerang lebih dari dua juta jiwa, dan paling banyak terjadi mengena rakyat Amerika Serikat. Dari sisi jumlah kasus positif, menurut data Worldometer pada 19 April, terdapat 738.830 lebih kasus positif di Amerika Serikat. Angka itu nyaris setara dengan jumlah total kasus positif yang terjadi di Spanyol, Itali, Perancis, Jerman, dan China sekaligus.
     
    Dari sisi jumlah korban meninggal, sekadar perbandingan saja, serangan teroris 9 September 2001 (9/11) yang menggemparkan dunia waktu itu “hanya” menelan korban jiwa sekitar 3.000 orang. Lalu, Perang Vietnam (1954-1975) yang membunuh 58.220 tentara
    Amerika, terjadi selama kurun waktu sekitar 20 tahun. Sementara Covid-19 (virus corona) yang sekarang menyerang Amerika Serikat (20 Januari hingga 19 April 2020), sudah menghilangkan lebih dari 39.014 (angka absolut) jiwa hanya dalam waktu kurang dari enam bulan.
     
    Bagaimana jika pandemi corona ini terus berlanjut hingga akhir tahun? Bisa-bisa angka kematian akibat pandemi ini melebihi korban Perang Vietnam. Belum lagi korban di negara-negara lain di seluruh dunia,
    termasuk Indonesia.
     
    Intinya, serangan Covid-19 tak hanya melahirkan krisis kemanusiaan dan bersifat global, tetapi juga mengintrodusir pertanyaan global pula. Cepat atau lambat, Covid-19 memang akan selesai, tetapi bagaimana tatanan dunia setelahnya? Apakah hubungan antarnegara akan kembali seperti semula atau berbeda sama sekali?
     
    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat apa yang terjadi pada masyarakat umum akibat pandemi ini. Pertama, orang semakin percaya atau bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Serangan virus tidak dicari obatnya di tempat-tempat
    peribadatan, tetapi diharapkan muncul dari laboratorium tempat para ilmuwan bekerja untuk menemukan penangkalnya. Banyak tempat peribadatan di seluruh dunia justru terpaksa ditutup untuk menghindari penambahan jumlah korban.
     
    Kedua, dalam kurun waktu empat bulan terakhir, terlihat bahwa beberapa negara Asia tampak lebih kompeten dalam menghadapi Covid-19 dibanding beberapa negara maju. Angka absolut (bukan mortality rate) kematian di China, Singapore, Malaysia, Vietnam, dan Korea Selatan, misalnya, relatif lebih sedikit dibanding Amerika Serikat, Spanyol, Inggris, Itali, Prancis, dan beberapa lainnya.
     
    Ketiga, ternyata banyak manusia takut mati. Perintah penggunaan masker, physical distancing, pembatasan sosial berskala besar, tinggal di rumah saja, dan lain-lain, pada intinya adalah untuk menghindari korban jiwa. Kematian, sebisa mungkin ditunda. Bagi orang seperti Jean Paul Sartre, kematian memang menyingkirkan semua makna dari
    kehidupan. Hidup pada akhirnya hanyalah kemubaziran belaka. Kematian mematahkan secara radikal eksistensi manusia.
     
    Selanjutnya: Akankah antar negara akan saling mengisolasi?
    <--more-->
     
    Lalu bagi Albert Camus, adanya kematian membuktikan bahwa hidup ini memang absurd. Kematian adalah alienasi fundamental eksistensi manusia. Itulah sebabnya kenapa banyak orang takut mati, meskipun ada keterangan lain tentang kematian. Misalnya oleh Heidegger, yang melihat peran positif dari kematian. Menurut dia, justru kematian yang memungkinkan kehidupan di dunia ini memiliki makna. Bayangkan
    kalau manusia tak bisa mati, maka hidup hanyalah rentetan peristiwa yang tak berpola dan tak bermakna. Kehidupan manusia hanya memiliki nilai justru karena ada batas akhir.
     
    Sekarang bagaimana kira-kira tatanan dunia setelah badai Covid-19 ini berlalu? Bagaimana sebuah negara, sebuah bangsa, menata dunia dalam hubungan dengan bangsa atau negara lain? Akankah kita akan fokus pada diri kita sendiri atau kita justru harus mengembangkan solidaritas global?
     
    Saat ini Amerika Serikat dan sekutunya boleh saja kesal terhadap China. Begitu pula sebaliknya. Tetapi, apakah mereka akan saling mengisolasi diri dan tak mau berhubungan lagi? Dugaan saya tidak. Sebab untuk memecahkan persoalan baru atau mengalahkan virus-virus baru yang bisa saja muncul di kemudian hari, hanya dapat diselesaikan secara efektif jika antarnegara bekerja sama.
     
    Para ahli perlu bertukar informasi dan membagi pengalaman.
    Demikian pula di bidang ekonomi. Dapat dipastikan tidak ada negara modern yang tidak membutuhkan negara lain, misalnya, dalam perdagangan internasional atau ekspor impor. Interkoneksi juga akan terjadi dalam bidang hukum, keamanan, dan lain-lain.
     
    Tentu akan ada yang berubah, misalnya bisnis tertentu yang sulit kembali seperti semula. Tetapi intinya kita tidak mungkin menempuh jalan isolasi, jalan perpecahan. Sebab perpecahan bakal menghasilkan bencana yang lebih buruk di masa depan.
     
    Kita harus tetap percaya bahwa institusi-institusi internasional seperti PBB, WHO, NATO, dan lain-lain tetap bekerja secara netral demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Apa yang sekarang dilakukan Presiden Donald Trump dengan mengancam akan menghentikan kontribusinya kepada WHO haruslah dianggap sebagai emosi sesaat saja.
     
    Kita juga tetap berharap bahwa pada tingkat masyarakat masih terdapat rasa percaya sosial, dan pada tingkat individu masih terpelihara rasa percaya pribadi. Tanpa rasa percaya, yang ada
    cuma pertikaian atau bahkan perjalanan menuju kehancuran.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indonesiana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler