x

Kartini

Iklan

Muhammad Rafli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 April 2020

Selasa, 21 April 2020 15:51 WIB

Mungkinkah Hari Kartini Dilebur dengan Hari Ibu jadi Hari Wanita Nasional?


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 22 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 21 April sebagai Peringatan Hari Kartini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 tahun 1964. Peringatan Hari Kartini dirayakan setiap tahun dan digunakan sebagai simbol emansipasi wanita alias simbol kebangkitan wanita.

Raden Ajeng Kartini sendiri merupakan Puteri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Beliau merupakan puteri dari istri non-permaisuri yang merupakan puteri dari Kyai Haji Madirono seorang guru agama dari Telukawur, Jepara.

RA. Kartini digunakan sebagai simbol emansipasi wanita karena surat-menyuratnya kepada beberapa sahabat pena-nya di Belanda. Selain itu, Kartini dianggap pemantik pendidikan bagi perempuan pribumi berkat didirakannya Sekolah Wanita di Rembang yang merupakan tempat tinggalnya setelah menikah. Surat-surat Kartini (kelak dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang) juga dianggap sebagai simbol perubahan terhadap wanita pribumi yang hanya dipandang sebagai pelengkap rumah tangga dan pengurus dapur yang tidak membutuhkan pendidikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di masa kini, Peringatan Hari Kartini digambarkan sebagai hari yang meriah. Alih-alih menjadi hari yang merefleksikan emansipasi wanita, Hari Kartini di era sekarang lebih diperingati dengan pentas pakaian adat. Bila ditarik garis lurusnya dengan perjuangan Kartini yang mendukung emansipasi wanita, hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan perayaan hari Kartini yang harusnya menjadi simbol emansipasi wanita.

Selain itu, masih banyak pahlawan emansipasi wanita di eranya yang juga melakukan perjuangan pendidikan bagi wanita pribumi. Sehingga bila menjadikan Kartini sebagai simbol tunggal emansipasi wanita dikhawatirkan mengaburkan jasa pahlawan emasipasi wanita lainnya.

Dan juga, dijadikannya Kartini yang merupakan wanita Jawa sebagai simbol emansipasi wanita bisa membangkitkan kecemburuan sosial antara suku lain yang juga memiliki wanita penggerak emansipasi wanita. Seperti Sunda yang memiliki Dewi Sartika atau Minang yang memiliki Hj. Rangkayo Rasuna Said.

Lantas, sebagai solusi untuk merefleksikan emansipasi wanita, kita sudah memiliki Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Hari Ibu digunakan sebagai hari peringatan dimana para wanita pribumi dari berbagai kalangan pergerakan pribumi mengadakan kongres wanita pertama pada tahun 1928. Isi kongres yang memperjuangkan hak wanita pribumi dengan peserta yang berasal dari berbagai macam latar belakang lebih cocok dijadikan sebagai hari yang merefleksikan emansipasi wanita.

Sehingga Hari Kartini yang hanya mengenang simbol tunggal bisa dilebur ke Hari Ibu, dan Hari Ibu diganti namanya menjadi Hari Wanita Nasional.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rafli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu