x

kisah ramadan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 25 April 2020 13:47 WIB

Bersikaplah Menerima Keadaan dalam Menjalankan Ibadah Ramadhan yang Tak Biasa

Menjalankan ibadah ramadhan di tengah pandemi corona, bersikaplah menerima keadaan, berbesar hati, ikhlas rela

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menerima keadaan itu berbesar hati, ikhlas, rela.

(Supartono JW.25042020) 

Ibadah Bulan Suci Ramadhan di tengah pandemi corona, akan semakin menguji kesabaran, khususnya sikap menerima keadaan yang tidak biasa bagi masyarakat. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam mencegah, mengantisipasi, dan menangani Covid-19 (MMMC19), semakin membuat perekonomian seluruh lapisan masyarakat terpuruk dan terjepit. 

Karenanya, atas kondisi ini sudah pasti membuat semua masyarakat bersedih, marah, hingga emosi yang turun naik. Sudah begitu, dalam kondisi sulit ini, dalam menghadapi masalah  pun berbeda-beda untuk setiap orang tergantung karakter dan pribadinya. 

Bagi masyarakat golongan mampu, karakter dan pribadinya baik, banyak yang  langsung turun sendiri berbagi kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun, meski mampu dan tergolong kaya, banyak pula masyarakat kelompok ini yang tetap tak berbagi kepada masyarakat yang membutuhkan karena juga sikap dan karakternya.

Sementara bagi masyarakat kebanyakan, karena selama ini hidup dalam serba kekurangan karena mata pencahariannya di sektor informal dan senantiasa hidup serba kesusahan, hadirnya wabah corona, membuat mereka "kebal" dan biasa saja. 

Meski demikian, sebagian laga banyak yang cukup ekspresif.  Bila bantuan yang datang tidak sesuai harapan atau bahkan tidak sampai ke tangan mereka. 

Karenanya, meski sudah ada anjuran tetap belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah, jalan-jalan dan tempat umum masih ramai masyarakat, seperti sedang tidak ada corona yang sangat berbahaya. 

Untuk itu, dalam bulan suci Ramadhan ini, seluruh masyarakat perlu membiasakan diri untuk berbesar hati menerima keadaan. Berbesar hati itu artinya ikhlas, rela, tidak keberatan dengan hal baik maupun buruk yang terjadi. 

Perlu membiasakan MMMC19, karena biar bagaimanapun masalah corona memang wabah yang tidak kita inginkan. Dalam situasi sulit, kita harus terus berupaya memilik sikap menerima keadaan, dengan senantiasa berbesar hati. 

Kita perlu memahami tentang pola berpikir bagaimana caranya membantu setiap manusia untuk memiliki sikap berbesar hati itu, agar hidup semakin tenang karena kita dapat selalu bersikap menerima keadaan. 

Pola pikir yang wajib kita pahami dan sudah pula dilakukan oleh sebagian besar umat manusia adalah: 

Pertama, ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan di luar sana. Kita dapat mengadaptasi pola pikir ini dari filosofi Stoa. Filosofi yang sudah diperkenalkan sejak awal abad ke-3 Sebelum Masehi ini punya prinsip bahwa hidup kita di dunia ini harus selaras dengan alam demi mencapai ketenangan dan keabadian. Salah satu nilai yang diajarkan adalah bahwa ada hal yang memang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Hal yang bisa kita kendalikan sendiri adalah pikiran. 

Artinya, kita sangat bisa mengubah persepsi terhadap apa yang terjadi dan itu akan mempengaruhi kehidupan kita selanjutnya. 

Kedua, dalam kondisi kehidupan yang bagaimana pun termasuk hadirnya pandemi corona, jangan kita membenci terhadap apa yang kini terus terjadi di negeri ini, sebab hanya akan  membuang-buang energi, membuat capek diri sendiri. 

Menurut sains, pikiran negatif menyerap lebih banyak energi kita sehingga membuat semakin lemas dan tak berdaya. Makanya, setelah bersedih dan menangis, sering kali tubuh rasanya tidak kuat menopang. Begitu pula kalau membenci seseorang/kelompok/golongan, maupun suatu keadaan. Kondisi tubuh akan mudah drop. 

Ketiga, move on dari masalah. Setiap dari kita pasti butuh waktu untuk bisa memosisikan diri dengan kondisi yang baru. Semua itu harus dimulai dari diri sendiri, harus punya tekad kuat untuk move on. Untuk apa meratapi nasib?  Tidak akan membuat hidupmu berubah! 

Tetaplah jalani aktivitasmu, perlahan pula ikhlaskan apa yang sudah terjadi, lupakan sedikit demi sedikit hal yang membuatmu sedih. Dengan begitu, jalan hidupmu akan lebih ringan. 

Keempat, berusaha maksimal, jadi tidak ada yang perlu disesali. Dalam konsep Stoic, ada yang disebut dengan dikotomi kendali dan ada juga trikotomi kendali. Intinya adalah jika kita dihadapkan pada suatu masalah, pasti kita cari solusinya. Tapi hasil akhirnya tidak bisa kita kendalikan. 

Jadi ketika sudah mulai usaha, kemudian berdoa, setelah itu serahkan semuanya pada Tuhan karena hasil akhir sesungguhnya adalah kehendak-Nya — namun tetap tergantung pada usaha yang kita lakukan.

Maka, kalau gagal, tidak apa-apa selama saat berusaha kita sudah sangat sungguh-sungguh. Tidak perlu menyesali hasil akhirnya karena hal itu justru membuat kita menetap dalam masalah tersebut, tidak maju-maju. Ingat, kita harus lekas move on dari masalah yang sudah selesai. 

Jika sudah menemukan hasil akhirnya, ya sudah gak perlu dipikirkan lagi yang sudah lalu. Masih banyak kesempatan di depan sana yang bisa kita ambil. 

Kelima, kita tidak harus tahu semua hal dan tudak perlu mengomentari, bila bukan ahlinya dan tidak memahami  segalanya. Istilah FoMO atau fear of missing out, kini disebut-sebut menjadi penyakitnya Millennials dan Gen Z. 

Mereka akan merasa cemas kalau terlewat hal viral sekali saja. Pokoknya mereka harus tahu hal apa yang sedang ramai ,  khususnya di media sosial, agar merasa dianggap di lingkungannya. Sikap ini hanya akan menguras tenaga dan pikiran saja, buang-buang waktu. Lebih baik melakukan hal positif lain yang bukan kategori ikut-ikutan "sok tahu". 

Keenam, manusia tempat kesalahan. Seharusnya kita semua sudah sadar dengan pola pikir ini. Tapi tetap saja, jika ada sebuah masalah, inginnya mencari siapa yang salah. Tidak legowo dan merasa dirinya paling benar dan hebat. 

Untuk itu, agar hidup kita senantiasa tenang, berbesar hati, ikhlas, rendah hati hingga kita memiliki sikap yang selalu dapat menerima keadaan, enam pola berpikir tersebut wajib tertanam kuat dalam pikiran dan hati kita, dan dapat diaplikasikan, diamalkan dalam Bulan Suci Ramadhan ini. 

Meski Bulan Suci Ramadhan kali ini tidak biasa, maka dengan sikap menerima keadaan, yakin kita akan menjalankan ibadah Ramadhan dengan khusu. Aamiin. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu