x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 2 Mei 2020 17:10 WIB

Dis-orientasi Pendidikan di Indonesia, Sebatas Seremoni Bukan Esensi. Siapa yang Harus Berbenah?

Tiap 2 Mei diperingati Hari Pendidikan Nasional. Faktanya, pendidikan di Indonesia telah mengalami dis-orientasi. Sebatas seremoni bukan esensi. Siapa yang harus berbenah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa kabar pendidikan Indonesia? Yuk, coba ditilik realitasnya.

Karena menilik itu berarti melihat dengan sungguh-sungguh atau mengamat-amati. Atau bolehlah disebut memeriksa. Karena siapapun yang memeriksa itu harus melihat dengan teliti. Agar tahu persis keadaannya.

Jangan seperti kawan saya yang seorang pendidik, belum apa-apa sudah menolak konsep “merdeka belajar”. Sebuah cara berpikir yang buru-buru menolak tanpa mau menilik. Entah, apa sebabnya? Mungkin, pendidikan selama ini hanya berorientasi pada prinsip “tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka tulisan ini pun, sama sekali tidak berwewenang untuk memvonis. Tentang pendidikan di Indonesia itu sudah menggembirakan atau memprihatinkan. Tapi sejujurnya, di era revolusi industri 4.0 ini hampir semua peradaban manusia telah berubah. Di era digital, perilaku manusia pun sudah berubah. Bahkan saat wabah Covid-19 seperti sekarang, semua orang pun dituntut berubah. Untuk lebih peduli pada cuci tangan, jaga jarak, dan hindari kerumunan.

Silakan deh ditilik, banyak hal di dekat kita sudah berubah. Teknologi, transportasi, perdagangan dan sebagainya. Sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi sayang, dunia pendidikan bisa jadi paling lambat berubah. Atau bahkan belum berubah, masih begitu-begitu saja. Guru yang selalu merasa lebih hebat dari siswa. Ruang kelas yang tidak memerdekakan siswanya. Lalu belajar jadi tidak menyenangkan, seperti beban dalam hidup.

Sedikit saja untuk direnungkan. Ini terjadi di Indonesia. Ketika wabah Covid-19 terjadi, bukannya disembuhkan malah diperdebatkan. Sekarang dilarang mudik, masih saja ada yang cari taktik untuk balik. Wabah Covid-19 seperti jadi momen untuk menghardik lawan politik. Faktanya begitu. Maka bolehlah itu disebut potret kualitas sumber daya manusia Indonesia. Cerminan orang-orang yang sudah lulus dari proses pendidikan. Manusia terdidik yang belum tentu akademik. Maka wajar, ada kesan pendidikan tidak lagi menyentuh esensi. Hanya sebatas seremoni.

Tiap tanggal 2 Mei pun. Kita selalu peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Lalu, bagaiaman potret pendidikan Indonesia? Esensi atau seremoni?

Di atas kertas, sebenarnya esensi pendidikan sudah kelar. UU No. 20 Tahun 2003 tegas menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”

Selain berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pendidikan harus berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Agar pendidikan mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Itulah esensi pendidikan.

Tapi dalam realitasnya, pendidikan bisa jadi baru sebatas seremoni. Belum menyentuh intinya, hakikatnya. Karena proses pendidikan berjalan seperti seremoni. Baru sebatas memenuhi rangkaian perbuatan yang terikat pada aturan tertentu. Terlalu tergantung pada kurikulum dan sarana prasarana. Belum banyak melibatkan kreativitas dan pikiran yang merdeka. Pendidikan yang esensi berarti menyentuh inti, bertumpu pada hakikat. Bukan sekadar seremoni dan rutinitas belajar-mengajar yang apa adanya.

Maka mutu pendidikan jadi taruhannya. Kualitas sumber daya manusia jadi ukurannya.

Terlepas dari setuju atau tidak. Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Bercokol di peringkat enam terbawah, masih kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Education Index dari Human Development Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina sama-sama memiliki skor 0,661. Ini hanya menegaskan. Bahwa indeks pendidikan yang rendah jadi sebab daya saing pun lemah.

Maka, besarnya anggaran pendidikan tahun 2020 yang mencapai Rp. 505,8 triliun memang tidak menjamin mutu pendidikan. Sekalipun 20% dari total APBN, harus diakui, anggaran tidak berkontribusi signifikan terhadap kualitas pendidikan. Asal jangan berdebat lagi, jadi apa masalah pendidikan? Anggaran, kurikulum, guru atau apa? 

Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.  Mungkin tidak perlu dibantah. Karena faktanya, memang 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan.

Saya kira cukup sampai di situ. Ternyata belum. Kekerasan di sekolah pun masih terjadi. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia pendidikan? Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Menurut KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% di tahun 2018. Sementara 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Tentu, angka-angkat itu bukan untuk memojokkan. Tapi untuk memperbaiki diri, untuk menilik pendidikan di Indonesia.

Maka dengan pikiran terbuka, mungkin terobosan “Merdeka Belajar” bolehlah dilakukan. Karena Nadiem Makarim ingin pendidikan kembali ke esensi, bukan seremoni. Agar ada kemerdekaan berpikir dalam pendidikan, bukan melulu soal aturan main. Dan semua itu harus dimulai dari guru agar lebih kompeten. Baru kemudian diajarkan kepada siswa. Agar tercipta pendidikan yang berkualitas. Tinggal kita tunggu implementasinya soal “merdeka belajar” ini.

Menilik potret pendidikan Indonesia. Kata kuncinya ada di pembenahan. Agar menyentuh esensi, bukan lagi seremoni. Bila mau dievaluasi. Bisa jadi, pendidikan hari ini tengah mengalami dis-orientasi. Karena orientasi besarnya malah jadi "tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal." Maka, ada yang perlu diubah dan harus dibenahi dalam pendidikan Indonesia.

Salah satu caranya adalah membenahi kualitas guru. Utamanya, guru-guru yang mengajar dengan pola "top-down". Agar siswa tidak lagi dianggap sebagai “gelas”, sementara guru sebagai “teko”.  Hingga siswa kian sulit belajar untuk mengeksplorasi potensi dirinya. Bisa jadi guru lupa. Bahwa pendidikan bukan hanya soal kecerdasan. Tapi soal mentalitas dan keteladanan.

Belajar bukan hanya pengetahuan. Tapi juga soal pengalaman. Agar kita terbebas dari perdebatan. Guru menyalahkan kurikulum. Lalu kurikulum menyalahkan guru. Cara berpikir itu tidak ada ahabis-habisnya. Pendidikan intinya sederhana. Guru harus kompeten dan siswa bergairah dalam belajar. Agar pendidikan jadi menarik dan menyenangkan.

Secara ekstrem, saya menyebut mutu pendidikan itu akan tetap jadi omong kosong. Bila guru masih mengajar dengan cara-cara lama. Menafsirkan kurikulum hanya untuk “membunuh” kreativitas siswa. Hanya berbasis kunci jawaban, tanpa bisa menuntun siswa tahu pelajaran yang digemarinya. Atau siswa bisa mengenal potensi dirinya.

Kurikulum memang penting. Tapi guru jauh lebih penting. Agar pendidikan bisa mencapai esensinya bukan sebatas seremoni. Bahkan menteri sehebat apapun tidak terlalu penting untuk mutu pendidikan. Karena faktanya, memang sudah terlalu banyak diskusi dan seminar tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Tapi sayangnya, kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kompetensi  dan mentalitas guru. Buat saya, kompetensi guru adalah jawaban terhadap esensi pendidikan di Indonesia. Karena bila kompetensi guru rendah, maka kualitasnya pun lemah.

Menilik potret pendidikan Indonesia. Maka guru haru berbenah agar pendidikan tidak terperangah. Esensi bukan seremoni apalagi hanya sensasi… SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL #HarDikNas

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler