x

Corona membuat rakyat menderita

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 7 Mei 2020 12:40 WIB

Menatap Statistik Kematian akibat Covid-19, Masihkah Kita Peka?

Semakin lama masa pandemi Covid-19, mungkinkah kepekaan nurani kita semakin tergerus? Pertama, karena jenuh, bete, kesal, dan tidak tahu harus melakukan apa. Kedua, karena informasi bertubi-tubi yang tanpa jeda membuat kita merasa mengalami 'information overload'--alias kekenyangan informasi. Menjaga kepekaan nurani terhadap sekitar, terhadap tragedi yang belum usai, sama pentingnya dengan menjaga kewarasan akal budi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Begitu kita membuka halaman website media online, infografis kasus Corona tampak terlebih dulu. Tapi apakah angka-angka yang tertera di situ segera menyita perhatian pengunjung laman situs? Di awal-awal pandemi, masyarakat memang ingin tahu berapa besar kasus positif dan berapa korban yang meninggal. Entah sekarang setelah pandemi berjalan beberapa pekan. Masihkah kita peduli dan berempati?

Hari demi hari, angka-angka di infografis sederhana itu terus bergerak tidak ubahnya alat penghitung alias counter--di situs tempo.co dinamai Covid Counter. Angka kematian bergerak satuan, puluhan, ratusan. Kita sempat terkaget-kaget oleh kabar viral tentang dokter-dokter yang meninggal dalam tugas merawat pasien Convid-19. Koran Tempo pernah menurunkan berita utama kematian para dokter. Lalu angka kematian menembus 100, 200, 300, dan bergerak terus. Masyarakat marah ketika ada pejabat yang mengatakan korban meninggal belum mencapai 500.

Saat ini, tatkala hari terus bergulir, apakah kita juga masih terkejut, prihatin, dan peduli? Ketika kematian telah menembus angka 800 dan kasus positif telah melewati angka 10 ribu, apakah respons kita mulai berubah karena menganggapnya sebagai kenormalan baru? Apakah kita mulai menganggap situasi ini sebagai kewajaran belaka? Mesin penghitung terus berputar, menambahkan kasus baru dan kematian baru serta kesembuhan baru. Mungkinkah mesin penghitung itu juga mulai menggerus kepekaan kita sebagai respons terhadap pandemi ini dan menatapnya hanya sebagai angka-angka?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data resmi yang dipublikasi pemerintah dan dikutip tempo.co per Minggu, 3 Mei 2020, tertulis: kasus positif Convid-19 di Indonesia 10.843, dalam perawatan 8.347, sembuh 1.665, dan meninggal 831. Per Selasa, 5 Mei 2020, angka itu bertambah: kasus positif 11.587, dalam perawatan 8.769, sembuh 1.954, dan meninggal 864. Masih 5 Mei, sore hari, sekitar pukul 16.15, Covid Counter bergerak naik: kasus positif 12.071, dalam perawatan 9.002, sembuh 2.197, dan meninggal 872. Masih sensitifkah respons kita melihat angka-angka yang berubah itu dan bahwa dalam waktu singkat wabah telah merenggut 864 jiwa--dan angka ini belum juga berhenti berjalan.

Semakin lama masa pandemi, mungkinkah kepekaan nurani kita semakin tergerus? Pertama, karena jenuh, bete, kesal, dan tidak tahu harus melakukan apa selama tinggal di rumah beberapa pekan. Jangankan memperhatikan dunia sekeliling, memperhatkan diri sendiri pun sudah bingung. Meskipun sebenarnya banyak hal kreatif dan bermanfaat yang bisa dikerjakan selagi tinggal di rumah, namun beban pribadi membuat tidak setiap orang mampu berkreasi di saat wabah.

Kita kemudian cenderung lebih melindungi-diri agar tidak terbebani oleh stres karena memikirkan orang lain. Kita cenderung menjadi kurang sensitif terhadap stimuli lingkungan, termasuk tragedi di sekitar kita. Misalnya, apa yang terjadi pada tetangga. Apakah tetangga kita sudah makan hari ini?

Kedua, karena informasi bertubi-tubi yang tanpa jeda membuat kita merasa mengalami 'information overload'--alias kekenyangan informasi, sehingga hanya sebagian kecil yang mampu kita saring dan cerna secara baik dan benar. Informasi yang datang terus-menerus boleh jadi membuat kita tidak lagi terkejut, tidak lagi tergugah, atau bahkan akhirnya membacanya dengan dingin kabar kematian sebagai statistik belaka.

Kita mungkin menatap angka-angka yang berubah itu dengan rasa ingin tahu, kesedihan, dan empati yang perlahan berkurang. Kita mungkin merasa mulai jenuh dan rindu pada kesibukan di luar rumah--kerinduan yang bisa berbahaya jika kita menurutinya saat ini. Kita mungkin juga bersikap bodoh dengan memperturutkan keinginan pergi berbelanja kapanpun ingin, sebab toko toh masih buka (Jika toko buka, berarti kita boleh dong belanja?).

Menjaga kepekaan nurani terhadap sekitar, terhadap tragedi yang belum usai, sama pentingnya dengan menjaga kewarasan akal budi. Menjaga kewarasan penting agar rasa empatetik kita tidak tergerus habis. Rasa empati penting agar kita tetap merasa sebagai manusia yang sanggup merasakan penderitaan orang lain. Rasa empatilah yang membuat kita tetap sebagai manusia. Kita perlu dan akan menemukan jalan untuk dapat menjaga diri sendiri sekaligus peduli kepada orang lain. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB