x

Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 28 April 2020. Sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan tersebut membahas tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terhadap UUD 1945. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Sabtu, 9 Mei 2020 07:15 WIB

‘Imunitas’ Pejabat dalam Perppu Keuangan Covid-19, Celah untuk Menyunat Anggaran

Tulisan ini coba mengkritisi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 karena terdapat pasal yang mesti dihilangkan demi asas kesamaan di muka hukum. Pencabutan pasal tersebut juga bisa menutup celah bagi pejabat nakal yang berinat menyunat anggaran penanggulangan wabah Covid-19 untuk kepentingan pribadi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sujana Donandi S, Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Presiden

 

Covid-19 telah membawa perubahan besar-besaran dalam kehidupan masyarakat dunia. Pengaruh Covid-19 telah menyentuh sendi-sendi kehidupan mulai dari sosial, kesehatan, keagamaan, pendidikan, hingga ekonomi. Masyarakat saat ini telah berubah wajah dan telah memasuki pola kehidupan yang berbeda. Banyak perubahan yang membawa pengaruh negatif bagi masyarakat, meskipun ada pula kebaikan yang dihasilkan, misalkan mulai meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan dan kebersihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dampak sosial paling jelas yang dibawa oleh Covid-19 adalah pola interaksi masyarakat yang kini menerapkan komunikasi dengan menjaga jarak fisik (physical distancing). Dengan pola komunikasi ini, masyarakat tidak lagi secara bebas bisa berjabat tangan sebagai wujud perkenalan, rasa hormat, maupun rasa sayang yang merupakan kebiasaan yang ada di banyak kebudayaan, khususnya bagi orang timur. Meskipun di era modern dan teknologi saat ini tetap memungkinkan setiap orang untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan menerapkan pembatasan jarak fisik, tentunya komunikasi dengan fisik secara seperti berjabat tangan memiliki nilai dan rasa kedekatan yang tidak tergantikan.

Aspek keagamaan dan pendidikan juga terpengaruh kehadiran pandemi Covid-19. Kini masyarakat harus beribadah di rumah dan mulai mengurangi aktivitas-aktivitas berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan di rumah ibadah. Dari segi pendidikan, kini para peserta didik dan para pendidik harus membiasakan diri dengan belajar dari rumah. Media-media daring pun menjadi solusi realistis guna menjalankan proses belajar mengajar. Kondisi ini berlaku di setiap level pendidikan mulai dari sekolah tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Efek dari Covid-19 yang paling terasa tentu ada pada sektor ekonomi. Banyak bidang-bidang usaha yang harus ditutup atau dihentikan sementara waktu karena usaha yang dijalankan merupakan usaha yang pelaksanaannya harus membuat orang berkerumun. Lini bisnis yang tergolong pada jenis usaha ini antara lain restoran, rumah makan, toko-toko yang ada di mal, maupun bidang-bidang usaha lainnya yang dianggap bukan merupakan aktivitas yang memagang peranan sentral dalam berjalannya kehidupan masyarakat di tengah pandemi. Sektor bisnis yang melemah kemudian juga mengakibatkan banyak orang yang harus kehilangan pekerjaan dan menjadi kebingungan dalam melanjutkan hidup.

Perubahan yang drastis dalam kehidupan masyarakat di berbagai sektor tentunya merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah harus ambil andil dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul yang diakibatkan adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh Covid-19. Pemerintah dengan otoritasnya harus mampu membuat program-program maupun insentif-insentif yang dapat membantu kehidupan masyarakat dan tetap menggairahkan dunia usaha agar tetap berjalan baik.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mewujudkan program-program dan insentif-insentif yang dapat menyelamatkan berbagai sektor di Indonesia adalah dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan memiliki daya mengikat yang dapat merekayasa masyarakat di berbagai lini agar dapat tetap bertahan dari benturan efek ekonomi Covid-19 saat ini.

Salah satu konkretisasi penggunaan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah dalam rangka mengurusi efek-efek Copvid-19 adalah disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) Dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan atau yang selanjutnya disebut Perppu Keuangan Menghadapi Covid. Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan ini telah menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan aktivitas penggunaan keuangan di tengah situasi Pandemi Covid-19 saat ini.

Salah satu pasal yang menarik untuk dikaji dari kehadiran Perppu Keuangan Menghadapi Covid-19 adalah Pasal 27 Ayat (1) dan (2) yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

  • Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara;
  • Anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan Pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Permasalahan menarik pertama adalah keberadaan frasa ‘bukan merupakan kerugian’ negara pada Ayat (1) dan frasa ‘tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’ pada Ayat (2). Penulis memandang bahwa dalam kondisi mendesak yang tidak diduga sebelumnya seperti kondisi pandemi saat ini, peraturan perundang-undangan maupun diskresi pejabat sangat dibutuhkan untuk menyikapi dan memberikan solusi yang cepat. Akan tetapi, pembentukan suatu peraturan perundang-undangan haruslah tetap taat kepada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara umum dan mendasar.

Mendudukkan penggunaan anggaran di tengah pandemi sebagai sesuatu yang bukan merupakan kerugian negara tentu haruslah didukung mengingat kondisi yang memang mendesak. Akan tetapi, dengan memasukkan frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ tentulah bukan sesuatu yang ideal dalam bingkai pembentukan konten suatu peraturan perundang-undangan.

Frasa tersebut telah menjadi celah bagi oknum tertentu untuk menggunakan otoritasnya atas anggaran dengan menggunakan penanganan Covid-19 sebagai alasan penggunaan, namun justru menggunakannya untuk diri sendiri atau golongan dan pihak-pihak tertentu yang terafiliasi dengannya. Inilah salah satu kondisi yang sebagaimana judul pada tulisan sampaikan bahwa seolah-olah para pejabat terkait memiliki imunitas hukum dalam menangani permasalahan Covid-19.

Frasa tersebut harusnya dihilangkan sehingga potensi penafsiran terhadap kerugian tetap ada. Dengan demikian, terhadap suatu penggunaan anggaran dapat diadakan suatu penelaahan akuntabilitas lebih lanjut terhadap realisasinya dan tingkat kewajarannya.

Jika memang dana yang dikeluarkan efektif dan sesuai dengan porsi yang ada, maka penggunaan tersebut bukan merupakan suatu kerugian. Akan tetapi, jika ada anggaran dan atau penggunaan anggaran yang tidak wajar, maka terhadap hal tersebut dapat dilakukan penelaahan lebih jauh.

Dengan adanya monitoring, maka penggunaan anggaran tidak akan semena-mena menggunaakan anggaran ataupun membeli  produk maupun menggunakan jasa yang dibayar dengan tidak wajar yang kemungkinan berpotensi menimbulkan adanya upaya memperoleh keuntungan pribadi di balik penggunaan-penggunaan anggaran yang ada. Untuk itu, perlu ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian dapat menyimpulkan mengenai kewajaran penggunaan anggaran serta ada atau tidaknya kerugian negara yang ditimbulkan dari penggunaan tersebut.

Ketentuan dalam Ayat (2) juga sejalan dengan ayat (1) dimana sama-sama memberikan imunitas hukum bagi para pejabat terkait. Dalam prinsip hukum, seseorang atas suatu salahnya sudah sewajarnya dihukum. Hanya karena penanganan Covid-19 tergolong situasi darurat bukan berarti tidak mungkin ada kesalahan dalam pelaksanaanya.

Eksistensi ketentuan yang memberikan imunitas telah menciderai pula prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law) karena kini ada pihak tertentu yang tidak bisa diperkarakan secara hukum, sekalipun kesalahannya nyata-nyata ada. Ketentuan Ayat (2) ini juga senada dengan Ayat (1) dalam hal memberi celah bagi oknum pejabat tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi. Ayat (2) justru dapat menjadi ‘penggoda’ bagi para oknum pejabat nakal untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menguntungkan pribadinya dengan menggunakan Covid-19 sebagai alibi.

Frasa ‘adanya itikad baik’ juga bukan merupakan solusi untuk mengontrol adanya niat jahat dari oknum tertentu dalam penggunaan anggaran terkait Covid-19 karena itikad baik bersifat abstrak dan terlalu terbuka terhadap penafsiran mengenai baik atau tidaknya alasan di balik tindakan seseorang. Hukum yang ada hendaknya dapat mengakomodir keadilan secara lebih materiil dan terukur.

Pemahaman-pemahaman yang telah dijelaskan membawa kesimpulan agar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) dan (2) dihilangkan demi asas kesamaan di muka hukum dan juga menutup celah potensi terjadinya penyalahgunaan anggaran. Mengingat Perppu Keuangan Menangani Covid-19 nantinya akan ditindaklanjuti kemungkinannya sebagai undang-undang, maka masih perlu menunggu lebih jauh untuk bisa melihat kemungkinan tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan. Jika pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang, maka harus ada upaya pengujian di Mahkamah untuk membatalkan ketentuan terssebut demi tegaknya hukum yang berwibawa dan tidak memandang bulu.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler