x

cover buku Teh dan Pengkhianatan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 17 Mei 2020 14:20 WIB

Sejarah Kolonial, Moralitas dan Cerita Pendek

Penggabungan sejarah kolonial, moralitas dalam cerota-cerita pendek yang renyah dan memikat. Persembahan dari Iksaka Banu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Teh dan Pengkhianatan

Penulis: Iksaka Banu

Tahun Terbit: 2019

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia                                                         

Tebal: xii + 164

ISBN: 978-602-418-137-2

 

Membaca cerpen-cerpen dalam buku ini membawaku kepada detail sejarah dari cara pandang orang-orang Belanda di masa kolonial, ketegangan moralitas tokoh-tokohnya yang terusik dengan rasa kemanusiaan dan cerita renyah yang menghibur. Iksaka Banu memang mempunyai modal besar dalam tiga hal tersebut. Pengetahuannya yang sangat mendalam akan sejarah Hindia Belanda, keberpihakannya kepada kemanusiaan dan kepiawaiannya dalam bercerita terjalin dalam karya-karya cerita pendeknya.

Sebelas cerpen di buku ini ditulisnya berdasarkan kisah sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Kisah kolonial di berbagai pulau di Hindia Belanda, muali dari Aceh sampai Banda. Tentu saja Banu menyisipinya dengan tokoh-tokoh imajiner supaya posisi moral dan kisah renyahnya bisa dirangkai. Tokoh-tokohnya adalah manusia dengan moralitas tinggi. Namun selalu tak mampu menerapkan moralitasnya tersebut dalam keputusan yang harus diambilnya.

Tokoh Poncke Princen, seorang serdadu KNIL yang di tahun 1967 membongkar kekejaman pembersihan PKI di Grobogan adalah kisah nyata. Tokoh Poncke Princen dikisahkan saat ia masih menjadi anggota KNIL yang menyeberang ke kubu TNI. Tokoh yang menginterogasi tentara KNIL yang tertangkap pasukan TNI di Jawa Barat ini persis kisahnya dengan Poncke Princen di masa awal bergabungnya Princen dengan Indonesia. Bahkan Banu tak mau menyembunyikan bahwa cerpennya ini adalah tentang Poncke Princen karena di bagian penutup secara jelas ia mencantumkan kalimat “Kepada ‘Poncke’ Princen.”

Sejarah itu juga tertampang jelas pada cerpen pertama yang berjudul Kalabaka. Kisah bagaimana Belanda membantai orang-orang asli di Pulau Banda telah banyak dicatat sejarah. Gubernur Martinus Sonck adalah tokoh sejarah yang sesungguhnya. Peristiwa-peristiwa pembantaian penduduk asli di Pulau Banda dan Pulau Lontara da benar adanya. Tetapi tokoh Kalabaka, seorang meztioso tentu tokoh rekaan Banu supaya ia bisa menggambarkan keraguan beberapa orang Belanda yang ikut serta pada persitiwa menjijikkan ini.

Demikian juga pada cerpen ketiga yang sekaligus dijadikan sebagai judul buku “Teh dan Pengkhianatan.” Peristiwa pembantaian buruh Cina di perkebunan teh di Wanayasa adalah sebuah kebenaran sejarah. Tentara Jawa yang membantu Belanda dalam peristiwa ini pun adalah peristiwa sejarah. Pasukan yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo, sekutu Pangeran Diponegoro yang berbalik mendukung Belanda memang pernah ikut serta “memadamkan” pemberontakan buruh Cina di perkebunan teh di Wanayasa. Tetapi tokoh Kapten Simon Vastgebonden adalah tokoh rekaan. Kapten yang masih melihat secercah cara untuk menyelesaikan masalah perkebunan teh ini, ternyata tak berdaya menghadapi sistem yang sudah sangat kuat untuk dijalankan. Sedangkan mesin pembunuh itu bisa siapa saja. Bisa kulit putih atau kulit sawo matang.

Cerpen berjudu “Sebutir Peluru Saja” mengisahkan penduduk desa bernama Saridin yang dijuluki sebagai perampok dan harus ditembak. Persoalan sebenarnya adalah tentang perebutan tanah rakyat oleh Belanda yang bekerja dengan para penguasa desa. Karena penduduk desa tak punya lahan untuk menanam pangan, maka mereka menjadi kriminal. Kisah kolusi antara pengusaha Belanda dengan elite desa di perkebunan tebu di Jawa Timur memang pernah terjadi. Tuan Skaut sang Scouten – kepala keamanan tentu adalah tokoh rekaan.

Tentang ketololan beragama Banu memuatnya dalam cerpen kedua “Tegaknya Dunia.” Di saat seorang pangeran dari Goa sudah kemaruk mempelajari ilmu pengetahuan, termasuk pandangan bahwa dunia itu bulat, para rohaniawan Belanda masih berkeyakinan bahwa bumi itu datar. Pangeran Goa ini jelas adalah tokoh nyata dalam sejarah. Dalam buku “Warisan Arung Palakka” karya Leonard Y. Andaya (2013) disebutkan bahwa sang pangeran dari Goa ini keranjingan akan ilmu pengetahuan barat.

Banu menyoroti orang-orang yang tega membunuh atas nama agama. Dalam cerpen berjudul “Lazarus Tak Ada di Sini” dikisahkan seorang rahib yang mendampingi tentara yang hampir mati yang bernama Lazarus. Pada awalnya Lazarus menolak sakramen terakhir, karena ia muak dengan kelakuan orang-orang yang mengatas namakan agama yang tega membunuh sesama manusia.

Kemunafikan tokoh publik digambarkan dalam cerpen berjudul “Nieke de Flinder.” Tokoh publik yang tampil santun, rajin beribadah dan hidup dalam keluarga yang bahagia, ternyata adalah tokoh bejat yang selingkuh dengan seorang pelacur kelas atas. Kisah seperti ini sepertinya banyak dalam kehidupan Indonesia saat ini.

Perilaku penjaga keadilan yang korup digambarkan dalam cerpen berjudul “Kutukan Lara Ireng.” Seorang polisi penjaga penyelundupan candu yang sangat dikagumi, ternyata adalah seorang yang ikut menyelundupkan candu demi mengupayakan cara hidup yang lebih makmur.

Di beberapa cerpen, Banu menyindir perilaku rasialis orang Belanda melalui beberapa cerpen. “Di Atas Kereta Angin” dan “Belenggu Emas” membahas tentang sikap rasialis orang Belanda terhadap orang bumi putera. Sikap rasialis yang tidak berguna dan tidak ada manfaatnya.

Melalui cerpen-cerpen yang berkisah tentang masa kolonial ini Banu berhasil mengajak kita untuk berefleksi tentang kondisi saat ini. Saya menemukan kemunafikan, keganasan sistem yang tak mempunyai tempat untuk menjalankan moralitas yang berbeda dan kegoblogan karena alasan agama, korupsi dan sikap rasial yang masih menjadi persoalan kita masa kini dimunculkan dalam cerpen-cerpen dengan setting masa lalu. Itulah kehebatan Banu. Ia bisa menggunakan kisah-kisah yang terpateri dalam sejarah masa lalu menjadi kisah-kisah perenungan kondisi kehidupan masa kini. Bukankah kemunafikan para pejabat yang sok bersih dan menjadi keluarga teladan padahal hidupnya sungguh brengsek itu sungguh ada? Bukankah penegak hukum yang korup itu saat ini memang ada? Bukankah orang-orang yang mempunyai moralitas kemanusiaan tetapi tak bisa melawan sistem itu masih eksis sampai kini? Dan…kegoblogan atas nama agama masih menghuni bumi Nusantara?

Terima kasih Iksaka Banu yang telah menyatukan sejarah kolonial, moralitas kemanusiaan dan cerita yang menghibur menjadi satu.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler