x

Iran menutup koran Sedayeh Eslahatkarena dianggap menghina keluarga cucu Nabi Muhammad. (Aleksandr Matveev / Dreamstime)

Iklan

Uswah Hasanah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2020

Senin, 8 Juni 2020 06:10 WIB

Jalan Terjal Pers Bumiputera pada Masa Kolonial

Perkembangan pers selalu mengalami dinamika. Apalagi, perkembangan pers pada masa kolonial. Pendudukan kolonial mengancam suara dan hak Bumiputera untuk bersuara. Saat itu pers bukan hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai alat pendidikan dan penyalur opini masyarakat umum. Pers juga menjadi alat propaganda paling penting pada masa perjuangan nasional bangsa Indonesia dalam memberikan dan menyebarluaskan informasi. Dalam perjalanan pers mengalami jalan terjal dari masa ke masa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pers diambil dari bahasa latin pressare yang berarti tekan atau cetak. Pers dalam perkembangan selanjutnya diartikan sebagai media massa cetak (printing media). Istilah pers yang diambil dari bahasa Belanda biasa dipakai untuk surat kabar atau majalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata pers memiliki makna yang mencakup: alat atau mesin pencetak, percetakan dan penerbitan, media cetak seperti koran, majalah, buletin, dan sebagainya.

Dewasa ini, pers mengandung arti yang lebih luas, yaitu usaha-usaha mengelola media komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, hiburan, berita-berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah atau akan terjadi di sekitar mereka. Media komunikasi massa dapat berwujud surat kabar, majalah, buletin, kantor-kantor berita, radio, televisi,dan film.

Pers bukan hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai alat pendidikan dan penyalur opini masyarakat umum. Pers juga menjadi alat propaganda paling penting pada masa perjuangan nasional bangsa Indonesia dalam memberikan dan menyebarluaskan informasi.

Perkembangan pers berjalan sejajar dengan ekspansi bertahap yang dilakukan oleh Belanda, berawal dari kedatangan bangsa tersebut di Nusantara. Kongsi dagang Verenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (VOC) menyadari bahwa pers berguna untuk mencetak aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah, sejak itulah sejarah pers di Indonesia berkembang (Adam,2003:2).

Perkembangan teknologi saat ini tidak lepas dari sejarah masa lalu yang cukup panjang mengenai bagaimana awal mula teknologi itu ada dan digunakan. Pada mula nya media yang digunakan adalah media cetak yang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Pada tanggal 14 Maret 1688, setelah tibanya mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda, atas instruksi pemerintah, oleh para pegawainya diterbitkan surat kabar tercetak pertama yang termuat ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian antara Belanda dan Sultan Makasar. Dari kejadian itulah kegiatan pers pertama kali dilakukan.

Pers mula-mula muncul di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya yang merupakan kota pelabuhan pusat lalulintas pengapalan hasil pertanian. Sebagai kota pelabuhan maka cenderung menarik perhatian saudagar dan pedagang berbagai bangsa, sehingga kebutuhan para pedagang tersebut untuk memasarkan komoditas mereka, mengetahui harga pasar terakhir, mengetahui mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal dan benda pos dapat diketahui dari keberadaan pers.

Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sama ramainya dengan Batavia saat itu. Surabaya juga menjadi salah satu pusat industri surat kabar yang penting, bersaing ketat dengan Semarang dan Batavia pada pertengahan abad ke-19 dalam menerbitkan surat kabar terkemuka berbahasa Belanda dan Melayu yang memang saat itu 2 kota tersebut adalah tonggak dari perkembangan pers masa kolonial. Jumlah penduduk yang relatif besar di Surabaya serta watak urban dan ramai akan aktivitas perdagangan menyebabkan bisnis surat kabar menggiurkan para penerbit dan pemilik usaha percetakan.

Dinamika sosial-politik yang terjadi di Indonesia awal abad 20 berpengaruh kuat terhadap kondisi umum surat kabar nasional kala itu. Kondisi ini berpengaruh pula terhadap perkembangan surat kabar di setiap daerah. Sejarah pers di Indonesia pra-kemerdekaan dibagi menjadi tiga babak. Pada babak pertama (1744-1854) orang Eropa masih mendominasi dunia pers Indonesia. Pada babak kedua (1854-1907) orang pribumi mulai terlibat dalam dunia pers. Sementara babak terakhir (1907-1945) pers semakin berkembang sebagai alat politik bangsa pribumi dalam mempropagandakan nasionalisme dan semangat kebangsaan.

Babak pertama dimulai dengan hadirnya tradisi cetak di Hindia Belanda yang menjadi simbol kolonial modern. Berkembangnya tradisi cetak ini memicu kemunculan surat kabar di Hindia Belanda.  Namun dalam perkembangannya, bangsa pribumi kurang berperan dalam babak pertama pers di Hindia Belanda.

Jumlah orang pribumi yang telah menguasai baca tulis pada era tersebut masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dunia pers dikuasai oleh orang-orang Eropa dan Cina. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda. Pada masa ini pers digunakan untuk kepentingan dagang dan misionaris. Pers juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial oleh pemerintah.

Wujud dari monopoli penerbitan pers oleh Belanda dapat dilihat dari surat kabar yang terbit dan berkembang kala itu (Kota-kota yang merupakan terbitnya surat kabar Belanda adalah Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya yang mencerminkan suasana penghidupan dan kehidupan yang memungkinkan terbitnya koran Belanda dengan berbagai kecendurangannya). Mulai dari konsevatif dan progresif, yang kritis dan pembela bumiputera maupun liberal dan reaksioner membela kepentingan modal Belanda.

Pada babak kedua sejarah pers ini pula surat kabar mulai mengalami pergeseran fungsi. Pada era sebelumnya pers digunakan untuk kepentingan dagang dan misionaris, namun pada babak kedua pers juga mulai digunakan untuk kepentingan politis.

Salah satu contohnya ialah surat kabar Selompret Melajoe yang ada di Surabaya. Surat kabar ini memuat pemberitaan politik, salah satunya muatan berita berisi kritik terhadap seorang asisten Wedana yang terlibat tuduhan korupsi. Namun tuduhan tersebut dianggap hanya fitnah belaka.

Antisipasi pencemaran nama baik pemuka pribumi oleh pers, maka pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU Pers tahun 1856. Berlakunya UU tersebut maka setiap fitnah atau tuduhan yang tidak memiliki bukti yang dilakukan oleh pers dapat dikenai hukuman denda, penjara, hingga pembredelan.

Babak ketiga (memasuki abad 20), pers semakin memiliki peranan penting dalam perkembangan pergerakan nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Babak ketiga ini disebut juga sebagai masa pers pergerakan. Hal ini di karenakan pers menjadi media informasi sekaligus media propaganda pada masa pergerakan nasional. Pada era ini pula mulai muncul sejumlah surat kabar yang berasal dari bangsa pribumi. Bangsa pribumi sudah aktif bergabung dalam perkembangan pers nasional.

Salah satu surat kabar yang dianggap pelopor surat kabar pribumi adalah Medan Prijaji. Tanpa meninggalkan jejak serta peranan surat kabar sebelumnya, surat kabar Medan Prijaji merupakan dianggap sebagai acuan awal bagi surat kabar asli milik pribumi.

Berlakunya politik etis pada awal abad 20 berpengaruh kuat terhadap intelektual pribumi terutama priyayi jawa yang berimbas pula terhadap kontribusi pribumi dalam kegiatan pers. Politik etis dengan program edukasinya, memberikan wadah serta kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pengajaran baik membaca ataupun menulis walaupun dengan kapastitas yang sederhana.

Kemampuan baca tulis inilah yang menjadi modal serta peluang bagi pribumi untuk berkontribusi dalam kegiatan pers. Orang pribumi mulai berperan dalam dunia pers sejak akhir abad 19. Orang pribumi mulai aktif bergabung dalam berbagai surat kabar, baik sebagai wartawan maupun tim jurnalistik.

Pada era ini mulai muncul sejumlah surat kabar. Dan pada awal abad 20 Hindia Belanda mengalami perubahan sosial-politik akibat diterapkannya politik etis. Salah satu dampak dari penerapan politik etis yaitu program edukasi yang memunculkan golongan terpelajar sebagai pencetus perubahan sosial-politik di Hindia Belanda. Melalui pengajaran yang diperoleh, setidaknya banyak bermunculan pribumi yang melek huruf.

Munculnya golongan terpelajar turut menciptakan gerakan nasionalisme di Indonesia. Gerakan nasionalisme kaum terpelajar ini tidak terbatas pada organisasi pergerakan yang mereka dirikan, namun melalui perkembangan media surat kabar (pers). Melalui pers, pergerakan kaum terpelajar untuk membangkitkan semangat jiwa zaman juga dapat terealisasikan.

Bersamaan dengan pergerakan bangsa, perkembangan surat kabar semakin menjadi kesatuan utuh dalam menghimpun perjuangan bangsa. Beberapa organisasi-organisasi dari kaum terpelajar mulai bermuculan. Diantaranya adalah Indische Partij dan SI (Sarekat Islam) yang secara tidak langsung bersinggungan dengan perkembangan pers khususnya di Jawa Timur.

Kesadaran politik Indonesia mulai bangkit dalam kelahiran beberapa perkumpulan politik semu seperti tercermin dalam Sarekat Islam (SI) dan Indische Partij (IP), organisasi tersebut memperjuangkan perbaikan kesejahteraan orang Indonesia dan perkembangan yang bersifat ideologis ditengah dialektis antara kebangkitan kesadaran politik Indonesia dan pertumbuhan pers berbahasa anak negeri.

Sebagai institusi sosial, pers tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat karena ia hidup dan beroperasi di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai lembaga sosial, ia dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga-lembaga sosial lainnya, demikian juga hubungannya dengan pemerintah ia tidak dapat melepaskan diri dari lingkup kekuasaan pemerintah yang bersangkutan. Oleh karena itu, sistem sosial dan sistem politik sangat menentukan corak dan sepak terjang serta tingkah laku pers.

Kajian pers merupakan hasil dari penemuan teknologi cetak yang diciptakan oleh Johanes gutenberg pada abad 15 di wilayah Eropa. Penulisan naskah yang sebelumnya digandakan cara manual kini bergeser pada reproduksi dengan cara memakai timah timah baja yang dapat mengurangi kesalahan.

Pers merupakan bagian dari budaya cetak yang memberi kemungkinan terjadi komunikasi antara pemberi dan penerima pesan meskipun dibatasi oleh waktu dan tempat, adalah salah satu saluran yang paling efektif untuk memupuk kesadaran jika teori nasionalisme digunakan. Kemajuan teknologi bangsa Eropa, secara tidak langsung merambah ke tanah Hindia Belanda. Dalam konteks kolonialisme, dengan semangat Gold, Glory, dan Gospel, para misionaris Spanyol dapat disebut sebagai orang-orang yang berjasa mendatangkan mesin cetak di kepulauan Indonesia.

Batavia (Jakarta) pada awal abad ke-17 mendapatkan mesin cetak, namun, mesin cetak yang diperoleh tidak diiringi dengan tenaga-tenaga yang mampu mnengoperasikan mesin tersebut, sehingga mesin cetak belum menampakkan hasilnya. Baru pada tahun 1659 mesin cetak tersebut memberikan hasil nyata karya cetak yang pertama tersebut adalah almanak yang dibuat oleh Kornelis Pijl, sedangkan surat kabar pertama di Indonesia baru muncul lebih dari seratus tahun kemudian, yaitu dengan munculnya surat kabar Bataviase Nouvelles pada tahun 1810. Adanya mesin cetak dan tenaga operasional ini kemudian mempengaruhi perkembagan pers masa pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pers di Hindia Belanda pada awal kemunculannya hanya bertujuan untuk
memberitakan masalah periklanan perekonomian dan elang barang-barang produksi. Seiring dengan berkembangnya politik dan kebutuhan pers digunakan untuk sosialisasi kebijakan pemerintah. Model pemberitaan pers semakin cenderung pada masalah yang bersifat sosial politik. Maka dari itu masyarakat Bumiputera juga menggunakan pers sebagai media untuk mengkritik tentang pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Uswah Hasanah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler