x

Nadiem

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 5 Juli 2020 12:14 WIB

Wacana PJJ Permanen, Belajar Butuh Tatap Muka, Pengalaman Langsung, Sentuhan di Hati dan Akal, Interaksi Sosial

Lihat foto artikel, contoh Mas Menteri Nadiem saat belajar di SD. Inilah hakikat belajar. Ada interaksi dan pengalaman langsung yang menyentuh hati dan akal dalam praktik kehidupan nyata. Butuh interaksi sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lihat foto artikel, contoh Mas Menteri Nadiem saat belajar di SD. Inilah hakikat belajar. Ada interaksi dan pengalaman langsung yang menyentuh hati dan akal dalam praktik kehidupan nyata. Butuh interaksi sosial.

Bila kini ramai menjadi perbincangan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sebagai satu diantara menteri yang akan di-reshuffle, mungkin ada benarnya, sebab ada yang menilai rapor bos Go-Jek ini merah.

Terlebih, kini ada satu pernyataannya yang membikin masyarakat jadi bertanya-tanya atas kinerja Nadiem yang mengatakan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa diterapkan secara permanen usai pandemi Covid-19. Padahal hingga saat ini, kendati tahun ajaran baru 2020/2021 tinggal menghitung hari, Kemendikbud belum rampung menyiapkan kurikulum PJJ dan modul pembelajaran.

Sementara sejak pandemi corona yang akibatkan sisa pembelajaran semester genap via daring/online/virtual (DOV) saja banyak ketimpangan, penuh keluhan, dan dinilai gagal yang sudah sangat terbuka dan terbaca tingkat publikasinya di tengah Masyarakat.

Malah masyarakat banyak menyebut, jangankan pembelajaran melalui DOV, pembelajaran reguler dengan tatap muka yang selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka saja masih carut-marut.

Hakikat belajar

Apa yang menjadikan persoalan pendidikan dan tujuan pendidikan di Indonesia hingga saat ini belum terwujud sesuai cita-cita, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas, berkarakter, dan berbudi pekerti luhur sehingga terbentuk manusia-manusia kreatif dan inovatif?

Cita-cita Nadiem yang akan menerapkan PJJ menjadi permanen memang sudah benar dengan melihat perkembangan zaman dan usia negara Indonesia yang seharusnya sudah mampu di tahap itu.

Namun, dengan fakta dan data tentang pendidikan Indonesia hingga sampai pada pembelajaran DOV di saat pandemi corona, apa yang terjadi? Banyak sekali "pihak" yang belum siap menerapkan pembelajaran DOV atau PJJ di NKRI.

Mungkin, barangkali, banyak pihak juga yang belum memahami hakikat belajar yang sebenarnya atau memahami namun tak juga bertindak sesuai hakikat belajar dalam proses pembelajaran dan pendidikannya.

Hakikat belajar secara umum dipahami sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan upaya untuk menguasai hal tertentu.

Namun, bila saya simpulkan tentang hakikat belajar menurut pengalaman saya sendiri selama puluhan tahun menggeluti dunia pendidikan, belajar adalah proses membentuk, mengubah, dan mengembangkan kecerdasan dan tingkah laku melalui praktik-praktik yang dialami. Artinya, belajar itu wajib melewati proses yang disebut "pengalaman".

Pengalaman (KBBI) adalah yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya).

Karenanya, atas dasar pengalaman saya di dunia pendidikan, belajar itu bagi guru bukan sekadar proses mengajar dan bagi murid, bukan sekadar proses menerima materi pelajaran.

Selama ini, karena beban kurikulum, prosentasenya, masih lebih besar guru.yang hanya sampai tahap mengajar, sekadar mentransfer ilmu-ilmu sesuai mata pelajaran, belum mampu mendidik dan membuat murid dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu dalam mata pelajaran sesuai kontekstual kehidupan.

Masih terbatas, bila ukurannya Indonesia, guru-guru yang dalam proses KBM dapat mengaitkan mata pelajaran yang diampunya dengan mata pelajaran lain. Apalagi mengaitkan pelajaran yang diampunya dengan kehidupan nyata.

Semisal, saat orangtua dan murid mengeluh mengapa soal-soal pelajaran bahasa Indonesia pilihan jawabannya mirip-mirip atau bahkan boleh dibilang semua jawaban A, B, C, dan D (SMP) plus jawaban E (SMA/SMK) benar? Apakah guru sudah menjawab bahwa pilihan jawaban memang benar semua, tetapi murid harus memilih satu yang paling tepat.

Apa analogi dari model soal yang demikian, bila guru selama proses KBM tidak sekadar mengajar? Tentu guru akan mampu menjelaskan kepada orangtua dan murid bahwa tipikal jawaban soal bahasa Indonesia yang mirip atau semuanya benar itu adalah peta kecil dari kehidupan.

Dalam kehidupan, banyak hal yang harus kita lakukan, namun karena kecerdasan intelegensi dan personaliti, maka kita akan mampu memilih hal yang prioritas, hal yang paling utama dan lain-lain yang harus kita nomor satukan, kita dahulukan ketimbang hal yang lain.

Jadi, untuk mendapatkan pengalaman belajar semacam itu, maka belajar itu ada interaksi, ada tatap muka, ada perdebatan, ada contoh-contoh di depan mata yang langsung dialami saat proses KBM.

Ini kok aneh, ada pernyataan PJJ akan dipermanenkan, tanpa melihat fakta-fakta yang terjadi, tanpa mendalami apa itu hakikat belajar khususnya bagi masyarakat +62 yang berbeda karakter dengan bangsa lain.

PJJ yang sudah lewat saja dinilai gagal, sementara model Kurikulum Transisi bernama Kurikulum Pembelajaran Jarak Jauh (KPJJ) saja belum nongol batang hidungnya. Kalaupun KPJJ nanti selesai dirumuskan, apakaha KPJJ akan sekadar langsung dilempar dan diterapkan tanpa melalui proses uji coba?

Coba apa kata Mas Nadiem,
"PJJ nantinya akan menjadi permanen, tidak hanya pada saat pandemi Covid-19 saja," ujar Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Kamis (2/7).

Bahkan Nadiem juga menambahkan dengan menjelaskan, pemanfaatan teknologi akan menjadi hal yang mendasar dalam pembelajaran. Penerapannya pun tidak hanya PJJ, tetapi juga dengan model hibrid. Pemanfaatan teknologi memberikan kesempatan bagi sekolah untuk melakukan berbagai macam kegiatan belajar.

Waduh, Mas Nadiem ini lupa, ya? Yang dihadapi guru-guru di Indonesia itu adalah murid, siswa yang masih manusia. Bukan mesin dan teknologi.

Membentuk manusia Indonesia dengan "kondisi yang ada" untuk menjadi cerdas, berkarakter, dan menjadi berbudi pekerti luhur itu tidak bisa dengan cara digital dan model hibrid.

Coba, satu contoh saja. Dengan pembelajaran tatap muka saja, selama ini banyak murid yang dari rumah berangkat, tetapi tidak sampai sekolah dan bolos lalu nongkrong. Berikutnya tawuran. Apakah murid-murid jenis ini, yang juga sudah dapat ditebak bagaimana kondisi dalam keluarganya akan dapat disentuh dengan PJJ?

Anak-anak Indonesia masih sangat butuh asupan pendidikan untuk menjadi manusia yang benar, bukan menjadi robot/mesin. Jadi, masih sangat membutuhkan sentuhan "dihati dan akalnya" melalui pembelajaran tatap muka yang melahirkan pengalaman kehidupan secara langsung.


Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler