x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 15 Agustus 2020 17:13 WIB

(2) HUT RI ke-75, Oligarki yang Otoriter dan Kedaulatan Rakyat Hanya Slogan

Hanya beberapa jam sebelum bangsa dan negeri ini berusia 75 tahun, kedaulatan rakyat hanya slogan di tangan rezim oligarki yang otoriter.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perayaan HUT RI ke-75 tinggal menghitung jam. Terlepas dari tradisi perayaan yang berbeda dengan tahun sebelum, karena kondisi virus corona, ada catatan yang dapat saya ungkap tentang kondisi Indonesia sejak merdeka hingga kini NKRI akan genap berusia 75 tahun.Catatan yang paling menonjol adalah lunturnya kedaulatan rakyat di negeri ini. Padahal sebagai negera demokrasi, kekuasaan dan panglima tertinggi di Republik ini adalah kedaulatan rakyat.Namun, para pejuang dan pahlawan berhasil melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, sejak itulah sebagai negara demokrasi, Indonesia terus dikuasai oleh otoritasisme hingga kini jelang 75 tahun malah berubah kental menjadi kekuasaan oligarkis.

Kentalnya oligarkis dan lunturnya kedaulatan rakyat, bahkan semakin terbaca dan nyata negara ini juga kembali dalam otoritasisme, saat penguasa negeri ini, dalam periode kedua kepemimpinannya  mengungkapkan akan menjalankan dengan tanpa beban saat berpidato sebelum pelantikan kabinet. Saat itu terdengar ungkapan bahwa dalam kepemimpinannya di periode kedua ini tidak memiliki beban apa-apa dan malah menyebut akan mengambil keputusan-keputusan yang gila, yang miring-miring untuk negara ini akan kita kerjakan.

Bahkan pimpinan MPR RI pun secara terbuka mengungkapkan tentang kepemimpinan yang sudah dikendalikan oleh cukong, partai politik, dan elite partai, sementara rakyat hanya diperas dan diambil suaranya demi mereka dapat kursi kekuasaan. Namun, setelahnya suara rakyat tak didengar bahkan dibungkam.

Inilah kondisi NKRI terkini, lepas dari penjajahan negara lain, justru kembali dijajah oleh anak bangsa sendiri dan para pengikutnya, namun tetap dikendalikan oleh "cukong" yang akibatkan negeri ini terus dalam cengkeraman oligarkis yang otoritasisme.

Lepas dari belenggu penjajahan negara asing dengan darah dan nyawa, kini tetap dijajah oleh anak bangsa sendiri yang juga dikendalikan oleh cukong (dalam dan asing).

Bahkan sebelum perayaan HUT RI ke-75, munculnya logo dalam spanduk HUT RI, yang terus menimbulkan polemik, seperti diskenario, agar Republik ini gaduh. Mengapa pemimpin negeri ini terus membiarkan polemik logo dalam spanduk yang jelas-jelas menimbulkan riak disintegrasi bangsa. Mengapa tidak segera menarik spanduk yang logonya membikin konflik?

Sebab karena logo, sungguh miris, kata-kata kasar, umpatan, perseteruan, dan perpecahan nampak kentara keluar dari para pengagum pemimpin dan terus berseteru dengan "rakyat" mayoritas.

Mengapa logo seperti itu dapat lolos dan terpublikasi? Bila spanduk dan logo itu semisal dibikin oleh pihak dari luar pemerintah? Apakah pembikin logo kira-kira akan selamat dan tidak diadili?

Kembali menyoal otoritasisme dan oligarkis yang terus menjadi penjajah baru di negeri ini, yang membungkam rakyat dan merampas kedaulatan rakyat.

Saya lansir dari wartakota, Rabu (12/8/2020), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa kini kebijakan-kebijakan yang bersifat koruptif diputuskan secara oligarkis, bukan demokratis di negeri ini.

Menurut Mahfud, bertolak dari studi yang pernah dilakukannya terkait jalannya pemerintahan di awal tahun 1945 sampai akhir 1950.

Studi itu pun menyimpulkan bahwa pemerintahan dan politik di Indonesia ketika itu berjalan demokratis. Masyarakat memiliki kontrol yang kuat, sehingga hukum berjalan responsif dan jumlah kasus korupsi sangat kecil, proses penindakannya pun dilakukan secara terbuka.

Apa yang diungkap mahfud melalui studinya, juga sangat dirasakan oleh masyarakat yang hanya berselang beberapa tahun selepas Indonesia merdeka. Namun, kejadian demokratis dan kontrol rakyat yang kuat karena kedaulatannya, nampaknya juga hanya berlangsung dalam tempo singkat. Sampai pada akhirnya, kekuasaan di negeri ini benar-benar terkungkung dan dikuasai oleh otoriterisme sampai pada titik batas munculnya reformasi.

Maka seperti diutarakan Mahfud bahwa sebelum lahirnya reformasi, otoriterisme berkuasa cukup lama, begitu lahir reformasi untuk membangun demokrasi dan penegakan hukum menjadi lebih baik,   ternyata usai reformasi digulirkan, demokrasi pun hanya berlangsung pada pariode pertama.

Sehingga saat merdeka lahir demokrasi, berganti pemimpin berubah menjadi otoriterisme. Rezim otoriterisme digulingkan oleh reformasi, reformasi hanya nempel satu periode, lalu berubah menjadi oligarki. Dan, kini jelang 75 tahun, oligarki itu sudah sangat otoriterisme.

Selepas kepemimpinan demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, rakyat dapat dan kuat mengontrol kebijakan-kebijakan sehingga hukum responsif dan dapat ditegakkan. Begitu rezim menguasai Orde Lama dan Orde Baru, otoriterisme tumbuh subur, praktik korupsi dan hukum pun sudah menjadi milik rezim.

Begitu jendela reformasi dibuka, ternyata demokrasi menjadi bebas dan kebablasan. Rakyat semakin jauh dari kedaulatnnya, rezim oligarki hadir, kebijakan-kebijakan lahir justru demi melindungi tradisi korupsi dan menguatkan rezim, bukan mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat tak lagi dapat mengontrol demokrasi, hukum, keadilan, dan kesejahteraannya di tanah airnya sendiri.

Karenanya seperti zaman Orde Baru, korupsi justru semakin tumbuh subur di negeri ini, karena para pelakunya justru yang merancang Undang-Undang (UU), dan UU dicipta dalam rangka melindungi dan mengakankan mereka sendiri demi praktik korupsi dan oligarki, bukan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Lebih otoriter dibandingkan zaman Orde Lama dan Orde Baru.

Padahal pada zaman Orde Baru, korupsi dibangun melalui otoriterisme, kekuasaan terpusat, lalu kekuasaan itulah yang mengatur korupsinya sendiri dan dinikmati sebesar-besarnya untuk rezim dan kroninya.

Begitu lahir reformasi, karena terlalu bebas, maka parlemen dan pemerintahan melakukan korupsi dengan cara oligarki, dan masyarakat pun turut korupsi dengan caranya sendiri.

Siapa yang akan dapat menghentikan penderitaan rakyat, mengembalikan kedaulatan rakyat, mengembalikan demokrasi yang benar, mengontrol hukum dan tindakan korupsi bila rezim justru sudah sangat oligarki yang otoriter?

Percuma para pejuang dan pahlawan rela mengorbakan nyawa demi rakyat dan bangsa ini merdeka dari penjajah, bila hingga 75 tahun merdeka pun, rakyat terus tak lepas dari penjajahan oleh anak bangsa sendiri. Bila sebelum reformasi, penjajahnya adalah pemimpin bangsa yang otoriter, kini rakyat dijajah oleh pemimpin bangsa yang oligarki dan otoriter, bahkan disponsori oleh cukong/taipan.

Menjelang hitungan jam Indonesia berusia 75 tahun, peradaban negeri ini masih seperti demikian. Mustahil dalam beberapa tahun ke depan, terlebih periode kepemimpinan masih berlangsung, akan lahir dan hadir pemimpin-pemimpin yang kuat, amanah, menjadi panutan, dan teladan karena menakodai ini dengan demokrasi yang sebenar-benarnya, kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan cukong, partai, dan elite politik.

Bila hukum masih dikendalikan oleh rezim oligarki yang otoriter, mustahil perilaku demokrasi yang benar akan tumbuh kembali, karena siapa pun estafet cukong, partai politik, dan elite partai yang berkuasa, akan kembali meniru budaya dan tradisi oligarki dan otoriterisme dari rezim sebelumnya. Begitu seterusnya, akan menjadi lingkaran yang tak berujung. Rakyat akan terus dikorbankan, hanya dibutuhkan suaranya untuk kursi, penjajahan pun tak akan usai.

Hanya beberapa jam sebelum bangsa dan negeri ini berusia 75 tahun, kedaulatan rakyat hanya slogan di tangan rezim oligarki yang otoriter.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler