x

kedaulatan rakyat

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 29 Agustus 2020 12:38 WIB

Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, Pahami Presidential Threshold dan Cukong di NKRI

Bila apa yang diungkap oleh Ketua MPR RI benar, bahwa selama ini, partai politik dan elite partainya dibiayai oleh cukong, maka sejatinya Indonesia benar-benar sudah dalam kondisi "terjajah model baru". Rakyat tak lagi berdaulat, amanat pembukaan UUD 1945 pun hanya akan menjadi wacana, sebab para pemimpin negeri ini baik yang duduk di parlemen maupun pemerintahan pusat maupun daerah yang berdiri di atas partai yang mengusungnya bukan menjalankan amanah untuk rakyat, tapi menjalankan amanah dan mengabdi kepada para cukong. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila apa yang diungkap oleh Ketua MPR RI benar, bahwa selama ini, partai politik dan elite partainya dibiayai oleh cukong, maka sejatinya Indonesia benar-benar sudah dalam kondisi terjajah model baru. Rakyat tak lagi berdaulat, amanat pembukaan UUD 1945 pun hanya akan menjadi wacana, sebab para pemimpin negeri ini baik yang duduk di parlemen maupun pemerintahan pusat maupun daerah yang berdiri di atas partai yang mengusungnya bukan menjalankan amanah untuk rakyat, tapi menjalankan amanah dan mengabdi kepada para cukong. 

Bahkan terbaru, pakar hukum tata negara, Refly Harun dalam sebuah video yang diunggah di YouTube menyatakan bahwa mempertahankan Presidential Threshold (PT) dalam pilpres merupakan sesuatu yang buruk untuk politik dan demokrasi Indonesia.

Mengapa Refly sampai mengungkap hal tersebut? Pasalnya, PT bisa membuat politik dan demokrasi Indonesia dibajak oleh pemilik modal (cukong), sebab mereka bisa “membeli” parpol yang ada di DPR.

Refly pun menuturkan bahwa, "“Agar tidak ada pasangan calon lagi yang dimajukan kecuali satu pasangan saja, yang barang kali bisa di-setting para cukong,” tuturnya dalam sebuah video yang diunggah di YouTube.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang diungkap Refly, bukan isapan jempol apalagi mengada-ada, karena Refly mengaku pernah mendengar pernyataan dari seorang pengusaha bahwa untuk membeli parpol tidak perlu keluar duit banyak. Cukup sediakan Rp 1 miliar per partai. Artinya, jika di DPR hanya ada 9 partai, maka cukup mengeluarkan Rp 9 miliar. Lalu, dapat menguasai presiden dan wakil presiden, aparat, dan kekayaan Indonesia.

Wahai rakyat Indonesia, bila semua itu benar, baik apa yang diungkap Ketua MPR RI maupun Refly benar, ternyata begini kisah Indonesia sekarang. Namun, nampaknya melihat situasi, kondisi, dan apa yang terus terjadi, sampai pemerintah pun menyewa infulencer dan buzzer untuk memagari dan mengamankan diri, maka kisah ini memang bukan isapan jempol.

Cukong yang menguasai Indonesia, ternyata lebih makmur dari penjajah kolonial, karena hanya dengan modal membayar partai politik, maka mereka sudah dapat menguasai Indonesia dengan segala isinya. 

Sadarkah rakyat akan kondisi Indonesia yang sejatinya lebih terjajah dari penjajahan kolonial, karena yang menikmati keuntungan dan kesejahteraan adalah hanya partai politik dan para koleganya, dinastinya keluarganya, elite partainya?

Ternyata dengan menganut sistem PT, ada yang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia selama ini. Sebab dengan sistem PT, negeri ini hanya jadi "bancakan" cukong dan partai besar dan koalisinya yang kini menguasai Indonesia. 

Jauh sebelum Refly mengungkap akan bahayanya PT bila diteruskan di Indonesia, saya lansir dari Tribunnews.com, Kamis (19/1/2017), menurut pengamat politik Ray Rangkuti, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) yang tinggi hanya akan menguntungkan partai politik besar, sebab cukup memenangkan kursi di DPR, maka parpol besar akan mudah juga mendapatkan tiket kursi pencalonan presiden.

"Untuk jangka panjang, hal ini akan dapat membuat partai-partai menengah dan kecil akan selalu berada di posisi menengah dan kecil," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) ini.

Ray juga menambahkan bahwa PT yang tinggi hanya akan menjadikan yang besar akan selalu besar, yang menengah dan kecil akan selalu menempati posisi menengah dan kecil. Juga akan membuat sirkulasi elite partai dan regenerasi kepemimpinan akan mandeg karena keputusan yang berkaitan dengan pencalonan presiden hanya dibahas oleh sedikit partai terutama dikuasai oleh partai terbesar sementara partai koalisi menengah dan kecil hanya akan manut dan ikut pada arus partai penguasa. Kini di Indonesia partai itu adalah PDI-P.

Dengan demikian, apakah rakyat selama ini menyadari? Indonesia yang kini berpenduduk  268.583.016 jiwa per Juni 2020 pada akhirnya hanya akan melanjutkan Pilpres 2024 meneruskan Pilpres 2014 dan 2019, memilih Presiden dan Wakil Presiden hanya ditentukan oleh satu partai besar dan partai koalisinya hanya akan ikut dalam barisan partai besar yang bahkan juga sudah dikuasai oleh cukong.

Rakyat juga sudah dapat merasakan bahwa, kepeutusan Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibu Kota RI, lalu keputusan-keputusan dan kebijakan lain yang tak memihak rakyat, rasanya bukan asli pemikiran dari hati dan perasaan pribadi Bapak Jokowi. Tapi, memang harus menjalankan amanah pemilik partai dan cukong.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB