x

Cover Buku Ca Bau Kan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 5 Oktober 2020 12:16 WIB

Ca Bau Kan - Hanya Sebuah Dosa

Novel sejarah tentang jaman akhir Hindia Belanda, jaman Jepang, awal kemerdekaan, agresi Belanda dan orde lama dari kisah seorang pengusaha Tionghoa dari Semarang dengan istri pribuminya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ca Bau Kan – Hanya Sebuah Dosa

Penulis: Remy Silado

Tahun Terbit: 2004 (Cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia                                                         

Tebal: vii + 408

ISBN: 979-9023-25-4

Ini adalah novel kedua karya Remy Silado yang saya baca. Novel pertama karya Yapi Tambayong yang saya baca adalah novel berjudul “Sam Po Kong” yang berkisah tentang tokoh pelayar hebat dari Tiongkok bernama Cheng Ho. Kedua novel bergenre novel sejarah ini sama-sama dibuka dengan cara yang unik, yaitu tokoh/segerombolan orang yang tidak berhubungan sama sekali dengan isi kisahnya. Jika di novel “Sam Po Kong” Remy Silado menggunakan serombongan anak SMA yang berkunjung ke komplek kelenteng Sam Po Kong di Semarang, dalam novel Ca Bau Kan, Tambayong menggunakan tokoh Geraldine Dijkhoff alias Giok Lan yang terbang ke Jakarta dari Belanda untuk menelusuri akar keluarganya.

Dari segi detail perilaku dan budaya orang Tionghoa di masa itu serta sejarah, novel ini luar biasa. Tambayong sepertinya melakukan riset yang mendalam tentang tiga hal tersebut sebelum menggunakannya sebagai wadah kisah tokoh-tokohnya.

Namun sebelum membahas tentang perilaku, budaya orang Tionghoa dan sejarah yang tertuang dalam novel ini, baiklah saya sajikan dulu kisah Ca Bau Kan yang mengambil lokasi utama di sekitar Kalijodo, Jakarta dan Semarang.

Kisahnya adalah kisah antara Siti Norhyati alias Tinung dengan Tan Peng Liang, seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal Semarang. Tan Peng Liang adalah anak seorang pengusaha yang beribu Jawa keturunan Keraton Surakarta. Tinung adalah salah satu Ca Bau Kan di Kalijodo. Ca Bau Kan adalah penyanyi lagu-lagu cokek yang memberikan hiburan kepada para pengunjung Kalijodo. Selain menyanyi, banyak Ca Bau Kan yang menjual tubuhnya kepada para pengunjung tempat hiburan di Jakarta tersebut. Dari sanalah sepertinya asal kata cabul. Ca Bau Kan menjadi cabo dan kemudian menjadi cabul.

Mulanya Tinung menjadi langganan Tang Peng Liang, seorang rentenir asal Bandung yang punya kebun pisang di Tangerang. Tinung diambil oleh Tan Peng Liang sebagai istri simpanan. Saat Tinung sedang mengandung, ia melarikan diri dari rumah Tan Peng Liang karena tidak tahan melihat orang-orang disiksa dan dibunuh karena gagal membayar hutang.

Tinung sempat sembunyi di rumahnya. Namun akhirnya ia kembali ke Kalijodo. Di sanalah ia bertemu dengan Tan Peng Liang yang lain, yaitu Tan Peng Liang sang pengusaha tembakau dan candu asal Semarang. Tan Peng Liang sangat tertarik kepada Tinung dan menjadikan Tinung sebagai istrinya. Tinung sudah mempunyai satu anak dari Tan Peng Liang si rentenir yang punya kebun pisang di Sewan. Anak perempuan Tinung diberi nama Giok Lan. Dengan Tan Peng Liang asal Semarang pun Tinung memiliki satu anak perempuan yang juga diberi nama “Giok Lan.” Jadi ada dua Giok Lan yang lahir dari rahim Tinung.

Karena kasus pemalsuan uang, Tan Peng Liang dipenjara dan akhirnya melarikan diri ke Makau. Tinung kembali ke rumah keluarganya. Tinung yang memiliki dua bayi dan tidak berpenghasilan harus merelakan kedua anaknya diadobsi oleh keluarga Belanda. Giok Lan dan Giok Lan dibawa ke negeri Belanda oleh orangtua angkatnya. Setelah berkumpul kembali dengan Tan Peng Liang yang sudah kembali dari Macau, Tinung memiliki seorang putra. Anak lelaki tersebut diberi nama Giorgio Laurencio. Tan Peng Liang mempertahankan inisial G L untuk anaknya ini. Namun setelah dewasa, putra Tan Peng Liang dengan Tinung lebih suka memakai nama Ginanjar L Sutan.

Selain kisah Tinung dengan Tan Peng Liang, novel ini juga menyajikan persaingan antar orang-orang Tionghoa kaya. Khususnya antara Oey Eng Goan dan kelompok Kong Koan Batavia dengan Tan Peng Lian. Mula-mula para tajir asal Batavia ini merasa tersinggung dengan Tan Peng Liang yang menyebar-sebarkan uang di sebuah acara di klenteng. Oey Eng Goan kembali merasa dipermalukan pada acara lelang lukisan. Tan Peng Liang selalu menawar lebih mahal dari tawaran Oey Eng Goan. Sakit hati Oey Eng Goan inilah yang dieksploitasi oleh Remy Silado untuk membangun kisahnya.

Oey Eng Goan marah luar biasa karena tahu bahwa ia ditipu dalam berbisnis tembakau. Maka dicarilah upaya untuk membakar gudang tembakau milik Tan Peng Liang yang berada di dekat gudangnya sendiri. Sayangnya proses membakar Gudang ini tak berjalan lancar. Sebab pembakarnya keburu tertangkap oleh keponakan Tan Peng Liang. Namun Tan Peng Liang malah membakar gudangnya sendiri dan melaporkan bahwa Oey Eng Goanlah yang membakar gudangnya. Ketika proses hukum Oey Eng Goan sedang berlangsung, seorang wartawan yang menyelidiki kasus tersebut menemukan rumah yang dipakai oleh Tan Peng Liang untuk memproduksi uang palsu. Maka Tan Peng Liang ditangkap dan dipenjara.

Tan Peng Liang berhasil melarikan diri dan untuk sementara tingal di Macau. Ia mengubah namanya menjadi Simon Chen. Ia sempat menipu lagi dengan seolah-olah mati. Padahal ia mengirimkan candu dalam peti mati ke Jakarta. Melalui candu tersebutlah keluarganya – termasuk Tinung terpelihara.

Ketika pecah perang Pasifik, Tan Peng Liang sudah kembali ke Jakarta dan telah menjadi seorang penyelundup senjata. Ia membantu kakak sepupunya yang berjuang untuk Republik untuk mendapatkan senjata. Setelah Indonesia merdeka, Tan Peng Liang kembali menjadi seorang pengusaha yang sukses. Sayang akhir hidupnya sangat tragis karena mati diracun.

Tambayong melengkapi detail perilaku dan budaya Tionghoa dalam cerita di novel ini. Sifat kerja keras, suka menikmati hidup, suka bersaing adalah beberapa sikap orang Tionghoa yang digambarkan dengan sangat baik dan di sepanjang novel. Kerja keras dengan segala cara menjadi ciri khas tokoh utama novel ini – Tan Peng Liang. Sedangkan kesenangan hidup digambarkan dalam beberapa setting, seperti halnya pelacuran di Kalijodo. Persaingan tiada akhir digambarkan dalam perseteruan Tan Peng Liang dengan Oey Eng Goan. Tambayong juga menunjukkan bahwa orang Tionghoa suka menyuap untuk memenangi sesuatu. Di sisi lain Remy Silado menunjukkan bahwa bakti kepada keluarga adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Tionghoa.

Tentang budaya Tionghoa, Remy Silado membumbui ceritanya dengan perayaan-perayaan, upacara-upacara dan ritual-ritual Tionghoa di mana-mana. Beberapa contoh tersebut diantaranya adalah Perayaan Cio-Ko di Kelenteng Lao-Tze, Peh Cun di Kali Cisadane, sembahyang bagi dewa Cai Lun, tentu saja Sincia. Juga upacara pernikahan antara Tinung dengan Tan Peng Liang di klenteng di gang Pinggir Semarang yang digambarkan dengan sangat detail prosesnya. Tentu saja Tambayong tak lupa menyajikan gambang kromong dengan segala detailnya.

Tambayong mengurai ceritanya dengan menggunakan sejarah Indonesia sebagai benang merah. Ia memulai dengan menggambarkan Batavia di masa Belanda yang ekonominya didominasi oleh orang-orang Tionghoa. Ia menggunakan jaman Jepang dan keganasannya, serta perjuangan para pemuda untuk merebut kemerdekaan. Ia juga mencuplik sedikit tentang agresi Belanda melalui bab AFNEI. Menariknya, Remy Silado juga menggunakan guntingan berita koran dari berbagai masa tersebut untuk memperkuat ceritanya. Jadi tokoh-tokoh, kisah-kisah yang ditulisnya mengapung diantara kisah-kisah sejarah yang sesungguhnya.

Tambayong tidak membangun tokoh hitam-putih. Tetapi tokohnya adalah orang-orang yang menghadapi hidup yang keras dan kejam. Namun tokoh-tokohnya mampu menghadapi hidup dengan semangat yang luar biasa. Mereka-mereka ini, para tokoh tersebut, tidak menyerah kepada nasipnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB