Mustafa Natuna: Mengemis Haram dan Saya Malu Minta-minta

Selasa, 20 Oktober 2020 06:36 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengemis itu, mudah dan menghasilkan. Cukup dengan hanya mengulurkan tangan di lampu merah, di lampu merah, pokoknya di tempat-tempat ramai. Apalagi kondisi tubuh yang kurang atau mengalami cacat, dengan mudahnya bisa menarik simpatik orang-orang untuk memberi uang. Tapi tidak bagi Mustafa (64), pak tua Kelurahan Air Kolek, Kota Ranai, Kabupaten Natuna, Kepri. Dengan kondisi cacat kaki kanan tetap berjuang untuk bertahan hidup. Menjadi pedagang keliling di penjuru Pulau Bunguran Besar. Dia menolak dan tidak mau mengemis. Simak kisahnya.

Keripik enak, renyah dan gurih dijual Mustafa (64) cukup laris. Lelaki tua ini terus berjuang untuk hidup dan mengurus kedua orang tuanya, meski penuh dengan keterbatasan secara fisik. Kaki kanannya cacat akibat ditabrak ABG akhir tahun 2013 lalu. Dibantu dua tongkat untuk keseimbangan tubuhnya, Mustafa menenteng keranjang yang berisi keripik kentang, makaroni dan keripik Malasyia.

Mustafa mengatakan, dengan kondisi cacat, banyak teman-temannya meminta berhenti dan suruh cari uang dengan cara berdiri di setiap simpang dan lampu merah atau pusat keramaian. Namun karena di dalam keluarga tidak diajari meminta-minta atau mencari rejeki yang tidak berkah, dia tetap yakin dengan berjualan ada keberkahan.

"Saya malu meminta-minta (mengemis). Ada kawan yang mengolok saya, suruh cari uang dengan cara mengemis. Ya saya jawab langsung, saya masih bernapas dan masih ada jalan lain cari uang yang berkah. Saya masih bisa berjalan, saya ada tongkat. Ibu dan ayah saya masih hidup, memang dua-duanya sudah tua, mereka mengajarkan jangan mengemis," tuturnya.

Mustafa mengaku setiap hari dia berjalan kaki, dari rumahnya di Air Kolek, berkeliling di jalan Poros, masuk Air Kubang, Air Lokan hingga kawasan pasar. Kadang jualannya laku sampai habis dan kadang-kadang tidak. Dia lakukan semua untuk menyambung hidup, membantu ibunya yang sudah tua tidak bisa berjualan lagi. "Ya, beginilah kondisinya. Hampir setiap hari jualan, pagi, siang dan sore. Pembeli banyak dari pengendara yang lewat. Kalau dihitung bisa 15 kilo per hari jalan kaki, pagi hingga sore," ujar Mustafa.

Mustafa mengataka keripik itu buatan ibunya sendiri. Awalnya dititipkan di warung dan rumah makan, nanun sering tersisa banyak. Akhirnya dia mengambilalih dengan menjual sendiri keripik tersebut, jalan kaki sekitar ranai kota dan bahkan masuk pasar. Semuanya itu dilakukan untuk bertahan hidup, rata-rata per hari Mustafa bisa dapat uang antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. "Harga per bungkusnya Rp 2 ribu. Ada juga yang mau beli 1 kilogram harganya Rp 100 ribu. Berapapun itu, alhamdulillah saya bisa syukuri," jelasnya.

Mustafa mengaku sangat mengimpikan sebuah sepeda duduk yang bisa sandarkan kaki. Namun belum memiliki uang untuk membelinya. Sedangkan bantuan pemerintah diakui Mustafa, dia mendapatkan BLT Covid-19. Tapi cukup memenuhi kebutuhan dan menambahkan kekurangan dari penghasilan. "Pernah saya dijanjikan seseorang, mau membeli sepeda untuk orang cacat kaki seperti saya. Hingga sekarang ngak datang-datang, ya sudah belum rejeki," ujar dia.(mhomo)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nyata Official

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menjelajah SitusTaman Batu di Natuna

Jumat, 16 Oktober 2020 13:15 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler