
Di tengah upaya penanganan wabah yang belum maksimal, penundaan pilkada menjadi jalan terlogis
Jumat, 20 November 2020 07:08 WIB
Penundaan Pilkada Kembali Perlu Dilakukan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat
Pemerintah resmi melanjutkan penyelenggaraan pilkada serentak di 270 daerah pada 9-15 Desember 2020 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020. Keputusan ini merupakan lanjutan dari penundaan pilkada sebelumnya yang seharusnya terlaksana pada 23 September lalu. Namun, dengan pandemi yang masih belum terkendali, bukankah pelaksanaan Pilkada akan mengorbankan hak kesehatan masyarakat?
Dibaca : 1.186 kali
Di tengah upaya penanganan wabah yang belum maksimal, penundaan pilkada menjadi jalan terlogis untuk melindungi hak kesehatan masyarakat. (Sumber gambar: Okezone)
Pemerintah resmi melanjutkan penyelenggaraan pilkada serentak di 270 daerah pada 9-15 Desember 2020 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020. Keputusan ini merupakan lanjutan dari penundaan pilkada sebelumnya yang seharusnya terlaksana pada 23 September lalu. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk menunda daerah karena penyebaran kasus menanjak pesat dan terdapat 45 daerah pilkada berzona merah.
Menurun dari angka tersebut, setidaknya hingga 14 November, terdapat 18 kabupaten/kota berzona merah yang kelak menyelenggarakan pilkada. Penyelenggaraan pilkada di awal Desember pun lantas didukung banyak pihak. Salah satu alasan yang terlontar dari politisi dan pejabat publik adalah karena pilkada dianggap akan mendorong calon kepala daerah menampilkan visi penanganan wabah yang tangguh.
Argumentasi lain menyebut pilkada serentak dibutuhkan agar tidak terjadi kekosongan jabatan pemimpin daerah. Dari segi ekonomi, penyelenggaraan pilkada dianggap dapat memutar roda perekonomian daerah. Beberapa argumen tersebut, sayangnya mengabaikan aspek kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan massal. Ada beberapa preseden dan asumsi umum yang bisa mematahkan dukungan terhadap pelaksanaan pilkada ini.
Pertama, tidak pernah ada jaminan kepala daerah akan mengusung visi penanganan wabah. Dari pelaksanaan kampanyenya saja, KPU menyebut 243 bakal calon kepala daerah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pada bulan September. Alih-alih mempromosikan protokol kesehatan, dana kampanye dan kekuasaan yang dimiliki justru digunakan untuk melakukan kegiatan yang melanggar protokol kesehatan.
Kedua, kekosongan pemimpin daerah tidak akan terjadi karena setelah masa tugas kepala daerah habis, selanjutnya akan dilakukan penunjukan pelaksana tugas (Plt) dan pejabat sementara (Pjs). Mendagri Tito Karnavian menyampaikan langsung uraian tersebut dengan mengacu Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Ketiga, pandemi COVID-19 jelas memukul stabilitas perekonomian daerah. Alasan yang 60 persen anggaran pilkada akan digunakan oleh para penyelenggara mengadakan program padat karya sangat tidak adil. Sebab, distribusi anggaran hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat daerah. Seharusnya, stimulus ekonomi justru diberikan melalui bantuan sosial atau bantuan langsung yang integral sebagai strategi penanganan wabah.
Alasan Penundaan
Dalam situasi pandemi, pelaksanaan Pilkada menjadi konstestasi antara hak menyampaikan pilihan dengan dengan hak kesehatan. Tetapi, perlu dingat bahwa pandemi merupakan peristiwa luar biasa yang berimplikasi pada krisis multidimensi di sektor ekonomi, politik, bahkan demokrasi itu sendiri. Dengan latar tersebut, seharusnya hak kesehatan mendapat perhatian lebih. Singkatnya, kita perlu menunda pilkada. Namun mengapa?
Pertama, fondasi penanganan wabah belumlah kokoh dan tangguh. Indikasi itu terlihat dari masih minimnya kapasitas tes dan upaya lacak kasus. Laporan KawalCOVID-19 per 17 November, menyebut rata-rata dalam waktu seminggu terdapat 34.319 orang melaksanakan tes. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 268 juta orang, kapasitas tes baru mencapai 0,13 orang per 1.000 penduduk, jauh dari standar WHO sebesar 1 per 1.000 penduduk per minggunya.
Selain itu, muncul persoalan ketimpangan tes, seperti dalam temuan LaporCOVID-19 September lalu, disebutkan rasio tes DKI 3 kali hingga 227 kali lebih banyak dari daerah lain. Sementara, data KawalCOVID-19 juga menyebut rasio lacak dan isolasi Indonesia berada pada angka 1,88 atau kurang dari dua orang per satu kasus positif, jauh dari rekomendasi WHO 30 orang per satu kasus positif.
Kedua, peluang penundaan pilkada memiliki dasar hukum yang jelas. Perppu Pilkada Nomor 2 Tahun 2020 mengatur mekanisme penundaan pilkada. Pasal 122 ayat (2), secara eksplisit menyebut pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Sedangkan, pandemi COVID-19 adalah bencana yang dimaksud dalam Perppu ini.
Ketiga, penundaan pilkada merupakan pilihan yang sangat rasional dan masuk akal. Dalam banyak percakapan, Korea Selatan kerap ditempatkan sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi. Kendati demikian, data dari International Foundation of Electoral System menyebut 111 pemilihan dan referendum di 65 negara ditunda dikarenakan pandemi COVID-19 (IFES:2020). Beberapa negara dengan indeks demokrasi yang baik, seperti Kanada, Jerman, Prancis, dan Australia bahkan menunda pemilihan hingga pertengahan tahun 2021 atau waktu yang tidak ditentukan.
Penting memahami bahwa rentang waktu pelaksanaan Pilkada sangatlah panjang. Berbagai dasar argumen mendukung Pilkada Desember nanti tak mampu menutupi preseden buruk penanganan wabah. Wabah masih berlangsung dan ia bisa menyebar pada wilayah pemungutan suara dengan leluasa. Pada titik ini, pemerintah perlu memahami bahwa penundaan Pilkada berakar pada semangat melindungi kesehatan masyarakat, alih-alih upaya menolak praktik demokrasi.
Tentang CISDI
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.
Penulis
Amru Sebayang
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
Rabu, 20 Januari 2021 12:31 WIB

Bila Banjir, Jangan Salahkan Hujan dan Sungai
Dibaca : 1.170 kali
Rabu, 20 Januari 2021 06:37 WIB

Investasi bukan Kunci Pemulihan Ekonomi, Vaksinasi bukan Kunci Penyelesaian Pandemi
Dibaca : 964 kali
Rabu, 20 Januari 2021 18:57 WIB

Dinilai Bermain Aman, Keberpihakan Puan Maharani kepada Hak-hak Perempuan Dipertanyakan
Dibaca : 1.018 kali
Selasa, 19 Januari 2021 11:44 WIB

Blokir Akun Twitter Trump: Antara Kebebasan dan Kepentingan Publik
Dibaca : 1.201 kali
Senin, 18 Januari 2021 19:55 WIB

Kaum Milenial Ramai-ramai Investasi Saham; Sayang Banyak yang Ceroboh
Dibaca : 971 kali
Minggu, 17 Januari 2021 12:57 WIB

Whatsapp dan Hasrat Monopoli Mark Zuckerberg
Dibaca : 1.108 kali
Jumat, 15 Januari 2021 19:09 WIB

Program Vaksinasi Dimulai, Ini Catatan Penting untuk Masyarakat
Dibaca : 1.288 kali
Jumat, 15 Januari 2021 05:53 WIB

Raffi Nongkrong Usai Divaksin; Influencer pun Tetap Perlu Diedukasi Vaksin
Dibaca : 1.511 kali
Kamis, 14 Januari 2021 06:34 WIB

Jejak Trumpisme dalam Demokrasi Amerika
Dibaca : 1.363 kali
4 hari lalu

Ketua Satgas Covid-19 Umumkan Positif: Nah, Begitu Bagus!
Dibaca : 1.122 kali
4 hari lalu

8 Aplikasi yang Tepat untuk Kalian yang Hobi Menulis, Asah Bakatmu Mulai Dari Sekarang!
Dibaca : 810 kali
2 hari lalu

Data Wabah, Akurasi Lemah Pengambilan Keputusan Bisa Salah
Dibaca : 787 kali
4 hari lalu

Berkat Pertamina, UMKM Naik Kelas dan Menjadi Berkah untuk Warga Sekitarnya
Dibaca : 758 kali
2 hari lalu
