x

sumber pixabay.com

Iklan

hilton siagian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Februari 2021

Rabu, 17 Februari 2021 08:13 WIB

Optimalisasi Pembelajaran dalam Menghadapi Problematika Pendidikan Inklusif

Menjelaskan terkait upaya dalam menghadapi berbagai hambatan terwujudnya pendidikan inklusif di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehidupan pendidikan di Indonesia menjadi hal sensitif untuk diperbincangkan. Hasil survei PISA mengenai kemampuan pelajar tiap negara menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi ke-72 dari 77 negara. Terlihat jelas jika kualitas pendidikan Indonesia masih sangat jauh dari kata cukup.

Padahal, pendidikan menjadi sebuah fondasi kuatnya suatu bangsa yang berkarakter sekaligus kunci dalam mengatasi permasalahan di negeri ini. Tanpa pendidikan, negara tersebut akan jauh tertingal dari negara lain. Maka dari itu Indonesia dengan dunia meyepakati rencana  aksi global yakni Sustainable Development Goals (SDGs) yang didalamya merancang pemerataan pendidikan berkualitas dan inklusif.

Penyandang disabilitas sudah seharusnya mendapat kelayakan pendidikan seperti pelajar pada umumnya. Namun, kita masih dapat melihat adanya kesenjangan dan kecenderungan dimana siswa dengan keterbelakangan khusus mendapat pendidikan yang khusus pula. Kebijakan telah ditetapkan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun justru memunculkan dilema bagi lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendidikan inklusif adalah pendidikan ramah anak yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas untuk dapat bersekolah dikelas yang sama dengan teman-teman seusianya.[1]  Sekitar 460 ribu anak Indonesia dengan rentang usia 7 hingga 18 tahun menyandang disabilitas. Adapun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 yang mengatur pendidikan inklusif bagi para peserta didik dengan kebutuhan khusus. Dengan demikian, seharusnya pendidikan inklusif telah berjalan kurang lebih 11 tahun lamanya.

Ada tiga faktor ketertinggalan negara berkembang dalam hal pendidikan yang salah satunya yaitu ketimpangan pendidikan, ketimpangan ini disebabkan oleh tidak meratanya sumber daya manusia terutama guru sebagai tenaga kependidikan.[2] Sekolah-sekolah formal yang ada telah didorong pemerintah untuk dapat merealisasikan pendidikan inklusif yang diharapkan.

Namun, hal ini menjadi suatu dilema bagi para lembaga sekolah. Di satu sisi sekolah formal mengupayakan pendidikan inklusif ini, tetapi disisi lain kurangnya tenaga pendidik yang mumpuni baik dipelajaran biasa maupun pemberian pendidikan kepada siswa berkebutuhan khusus. Tidak mudah bagi tenaga pendidik untuk memiliki keahlian tersebut ditambah dengan usaha untuk menyatukan lingkungan sekolah formal dengan anak berkebutuhan khusus. Sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus juga menjadi faktor penghambat realisasi pendidikan inklusif.

Sebagian besar lembaga pendidikan juga mengalami kesulitan dalam upaya modifikasi kurikulum yang sesuai. Disamping itu, masih banyaknya masyarakat yang kurang mendukung pendidikan inklusif ini dengan paradigma mereka bahwa anak berkebutuhan khusus seharusnya bersekolah di sekolah khusus. Perguruan tinggi pun banyak yang belum berperan aktif dalam implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang mampu menghadapi berbagai hambatan tersebut.

   Pendidikan inklusif membutuhkan optimalisasi pembelajaran yang mendukung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa optimalisasi berasal dari kata optimal artinya terbaik atau tertinggi. Jadi optimalisasi pembelajaran yang dimaksud yaitu upaya meningkatkan pembelajaran terutama dalam menghadapi berbagai problematika pendidikan inklusif yang masih ada. Dari 3,9 juta guru yang ada, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik, dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi.[3]

Guru memegang peran terpenting dalam perkembangn pendidikan, maka kualitas guru perlu lebih ditekankan. Kualifikasi dan kepemilikan sertifikat profesi bagi setiap guru harus diperketat. Guru sebagai tenaga pendidik perlu diberikan pembenahan secara menyeluruh yang meliputi pengembangan profesi, jaminan kesehatan, perlindungan, dan penghargaan terhadap guru melalui Undang-undang khusus mengatur tentang guru. Terutama dalam menunjang pendidikan inklusif ini, guru dituntut untuk bisa memberikan pelayanan pendidikan dan sikap terhadap penyandang disabilitas.

Dengan demikian besar kemungkinan untuk tenaga pendidik dapat meningkatkan profesionalisme dan kompetensinya dalam mengajar. Dalam kegiatan pembelajaran pendidikan inklusif, pemerintah diharapkan untuk mengalokasikan dana lebih besar bagi lembaga pendidikan yakni sekolah agar dapat memenuhi kriteria sarana/fasilitas yang diperlukan penyandang disabilitas. Berbagai alat bantu, alat asesmen, alat terapi, dan semua fasilitas yang mendukung pembelajaran bagi berbagai jenis penyandang disabilitas harus dipersiapkan tiap sekolah. Perubahan kurikulum perlu dilakukan demi menghindari kebiasaan belajar yang lama.

Kurikulum yang dituju yaitu kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan para penyandang disabilitas disekolah nanti. Dengan adanya perubahan tersebut diharapkan kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan inklusif dapat terwujud. Banyak penyandang disabilitas yang juga ingin merasakan lingkungan belajar bersama anak normal pada umumnya. Untuk itu pola pikir masyarakat terdahulu seharusnya mulai diubah.

    Pendidikan inklusif menjadi bagian dari kebijakan pendidikan nasional. Akan tetapi berbagai kendala menghambat terwujudnya pendidikan inklusif ini. Maka dibutuhkannya optimalisasi pembelajaran yang diharapkan dapat merealisasikan program ini. Kebijakan telah dibuat, peraturan telah ditetapkan, tetapi apakah pemerintah hanya akan berhenti ditahap tersebut? Akankah pemerintah konsen terkait hal ini? Dan sampai kapan Indonesia akan memegang peringkat tersebut?          

 

[1] Herawati, Nenden Ineu, 2018, “Pendidikan Inklusif”, Jurnal Eduhumaniora Vol. 2 No. 1, https://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2755/0, diakses pada 30 Januari 2021.

[2] Lowe, Willie, 2019, “Faktor Negara Berkembang Tertinggal Jauh Masalah Pendidikan”, http://www.refondation-ecole.net/faktor-negara-berkembang-tertinggal-jauh-masalah-pendidikan/, diakses pada 30 Januari 2021.

[3] Yunus, Syarifudin, 2017, “Mengkritisi Kompetensi Guru”, https://news.detik.com/kolom/d-3741162/mengkritisi-kompetensi-guru, diakses pada 31 Januari 2021.

Ikuti tulisan menarik hilton siagian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler