x

Iklan

Dian Astri Maulani 2001125557

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Februari 2021

Rabu, 24 Februari 2021 16:36 WIB

Korean Wave di Indonesia

Korean Wave Bagi Remaja Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korean wave atau disebut dengan hallyu wave adalah sebuah fenomena arus penyebaran budaya Korea melalui kebudayaan popular seperti film, drama, musik, fashion, dan lain-lain.

Kemunculan fandom dari berbagai Idola K-pop mengakibatkan munculnya sebuah komunitas-komunitas baru yang didirikan untuk suatu tujuan tertentu. Hal ini kemudian memicu munculnya subkultur, dimana arus globalisasi yang ditandai dengan semakin berubah-ubahnya perkembangan kebudayaan akibat adanya gelombang pertukaran antar-bangsa yang dimaksud dalam hal ini yaitu Korea-Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena budaya korea wave inilah yang membuat industri fashion korea memasuki pasar di indonesia terutama dikota besar diJakarta. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan juga menjadi pusat strategis untuk bagi pelaku industri seni dari luar Indonesia.Secara konseptual, subkultur merupakan sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan(kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Biasanya digunakan sebagai bentuk perlawanan akan kultur mainstream tersebut. Berupa perlawanan terhadap agama, Negara, institusi, musik, gaya hidup, dan segala yang dianggap mainstream (Barker, 2003: 374-409).

Sedangkan budaya mainstream di era globalisasi sangat dimungkinkan juga merupakan budaya asing, yang akhirnya menjadi dominan. Berakar dari ini dapat diasumsikan bahwa subkultur di era globalisasi juga berupa bentuk perlawanan terhadap budaya mainstream yang berasal dari budaya asing. Fenomena antusiasme terhadap produk budaya asing seperti dari negeri ginseng Korea Selatan ini memicu munculnya sebuah kelompok atau komunitas penggemar. Komunitas penggemar ini diduga tercipta karena adanya arus globalisasi yang mewujudkan sebuah subkultur.

Menurut John Storey, konsumsi atas suatu budaya popular akan selalu memunculkan adanya kelompok penggemar, bahwa “penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya pop” (John Storey, 2007:157). Musik K-pop (Korean pop) sendiri yang mampu menciptakan banyak fans dari berbagai macam fandom yang tersebar di seluruh dunia. Fandom yang berasal dari berbagai idol grup misalnya seperti, VIP yang merupakan nama penggemar untuk BIGBANG, ELF (Ever Lasting Friends) sebutan untuk penggemar Super Junior, EXO-L bagi penggemar EXO, atau pun ARMY untuk penggemar BTS (Bangtan seyeonandan), semuanya menjadi satu kesatuan besar di bawah naungan fandom K-pop.

Fans K-pop juga dikenal selalu loyal terhadap idolanya. Mereka tak segan-segan untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membeli segala macam pernak-pernik tentang idolanya. Mereka juga tidak sayang untuk mengeluarkan kocek yang besar untuk membeli hingga sepuluh CD album, saat idolanya merilis album baru, agar idola mereka dapat memenangkan penghargaan di berbagai ajang penghargaan musik. Merchandise sendiri terkadang memiliki harga yang tidak masuk akal bagi kebanyakan orang, terutama di luar fandom K-pop.
       

Saat ini penggemar musik K-pop di Indonesia jumlahnya sudah mencapai jutaan orang dan penggemar boyband K-pop termasuk di dalamnya. Sejak tahun 2010, penggemar K- pop di Indonesia mulai terlihat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan sesama penggemar K-pop, baik dalam forum media online atau membentuk komunitas fans grup Indonesia.
       

Meningkatnya jumlah penyuka K-pop baik dikalangan remaja maupun dewasa memicu beberapa orang untuk membentuk sebuah komunitas. Berawal dari kecintaan dan kesamaan terhadap berbagai macam idol boyband/girlband yang digemari. Terdapat kesamaan hobi dalam menggemari idol K-pop yang kemudian mendorong munculnya komunitas-komunitas yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok pencinta K-pop. Perkembangan komunitas K-pop diberbagai kota merupakan sebuah realita yang dihasilkan dari perkembangan sosial masyarakat yang semakin heterogen.

Salah satu komunitas K-pop yang berada di kota Duri adalah ARMY. Komunitas yang bernama ARMY ini adalah suatu kelompok penggemar atau fandom yang terbentuk dari boyband yang bernama BTS (Bangtan Boys / syeonandan). Boyband sendiri adalah kelompok musik pop yang terdiri dari tiga anggota atau lebih yang masih muda dan energik, mereka bernyanyi dan menari (nge-dance) dalam setiap pertunjukan mereka.

BTS (Bangtan Boys) adalah boyband dari Korea Selatan di bawah naungan agensi atau manajemen artis BigHit Entertainment yang beranggotan 7 orang laki-laki yaitu Jin sebagai kakak tertua, kemudian Suga, J-Hope, RM, Jimin, taehyung (V), dan maknae atau anggota termuda yaitu Jungkook

. Komunitas ARMY Riau sendiri terbentuk sejak 18 Desember 2017 yang anggotanya berasal dari Riau dan sekitarnya. Komunitas ini terbentuk tidak lain adalah sebagai wadah untuk saling berbagi informasi tentang idola mereka yaitu Bangtan Boys. Berbagai macam kegiatan yang sudah dilakukan komunitas ini diantaranya adalah mengadakan event rutin setiap ulang tahun Bangtan Boys atau setiap anggota dari Bangtan Boys yang berulang tahun, mengadakan donasi, saling bertemu (meet up) pada acara K-pop Festival, dan acara yang lainnya.

Dikatakan sebagai subkultur, karena komunitas ini merupakan sebuah kegiatan, kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Komunitas ARMY tentunya memiliki makna-makna terkait di dalam komunitasnya, serta memiliki pandangan hidup yang berbeda dari budaya mainstream yang telah di buat dan di jalankan dalam kehidupan para anggota dari Komunitas.
       

Adapun ahli seperti Joli Jenson (dalam Storey, 2006:158) mengatakan, literatur mengenai kelompok penggemar dihantui oleh citra penyimpangan. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang sangat berpotensi. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Jenson menunjukkan dua tipe khas patologi penggemar, “individu yang terobsesi” (biasanya laki-laki) dan “kerumunan histeris” (biasanya perempuan). Bagi kebanyakan orang, fandom K-pop dikenal dengan stereotip yang melekat pada diri fans atau penggemarnya. Fans K-pop dianggap selalu bersikap berlebihan, gila, histeris, obsesif, adiktif, dan konsumtif ketika mereka sangat gemar menghambur-hamburkan uang untuk membeli merchandise idola yang harganya bisa dibilang cukup mahal, maupun mengejar idolanya hingga belahan dunia mana pun.

Kemunculan stereotip tersebut salah satunya dapat dilihat dalam kehidupan fans di dunia maya. Mereka secara terang-terangan dapat menyatakan rasa cinta kepada idola dengan menggunakan fungsi mention pada Twitter dan ditujukan langsung ke akun Twitter sang idola. Melalui dunia maya, mereka dapat dengan bebas mengungkapkan dan mencurahkan isi hati mereka kepada sesama fans K-pop dengan posting pada blog maupun forum.
       

Melalui dunia maya pula, fans K-pop melakukan sebuah aktivitas yang disebut dengan fangirling (berasal dari kata fangirl) (Nursanti, 2013). Fans lelaki disebut dengan sebutan fanboy. Fangirl dan fanboy sering dibedakan karena praktik tertentu yang mereka lakukan di dalam fandom. Namun pada dasarnya fans/penggemar/konsumen adalah sama) (Jenkins, 2007). Sangat disayangkan, dengan maraknya kemunculan beberapa stereotip kejadian tentang perilaku penggemar K-pop membuat paradigma masyarakat umum beranggapan keberadaan komunitas K-pop cenderung diidentikkan dengan kumpulan orang-orang yang fanatik, dan gaya hidup fans yang suka menghambur-hamburkan uang demi seorang idol maupun untuk membeli pernak pernik yang berbau dengan K-pop.

Stereotip negatif yang diakibatkan oleh kehadiran penggemar K-pop di tengah-tengah masyarakat ini menjadi tantangan tersendiri bagi anggota komunitas K- pop yang ada di Riau untuk tetap mempertahankan eksistensi keberadaan mereka. Mengapa mereka terbentuk, siapakah mereka, apa aktivitas mereka, dan bagaimana mereka mempertahankan komunitas mereka.Melihat dari beberapa penelitian sebelumnya, peneliti belum menemukan adanya pembuktian seperti apa identitas sebenarnya dari komunitas K-pop khususnya ARMY yang berada di Riau.
       
Menurut Papalia (Novianti, 2015:6) remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil akan memperoleh pandangan yang jelas tentang diri, memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan diri, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal peran dalam masyarakat.

Namun, kegagalan dalam proses pembentukan identitas diri pada remaja dapat menyebabkan perilaku fanatisme. Menurut KBBI, fanatisme adalah keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Seseorang yang bersikap fanatik ini disebut dengan penggemar (Tartila, 2014:4). Penyebaran k-pop sedikit banyak telah berpengaruh secara positif maupun negatif pada perkembangan kepribadian penggemarnya yang sebagian besar. merupakan remaja, karena pada masa remaja terjadi ketegangan emosi yang bersifat khas, sehingga masa ini disebut sebagai masa badai dan topan (storm and stress) atau Heightened Emotionality, yaitu masa yang menggambarkan keadaan emosi remaja yang tidak menentu, tidak stabil dan meledak-ledak.

Meningginya emosi terutama karena remaja mendapat tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Kepekaan emosi yang meningkat sering diwujudkan dalam bentuk, remaja lekas marah, suka menyendiri dan adanya kebiasaan nervous (Izzaty, 2013:132). Hal ini dapat juga dipengaruhi oleh kontrol diri yang dimiliki oleh remaja itu sendiri. Kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok darinya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam seperti hukuman yang dialami ketika anak-anak (Ghufron dan Risnawita, 2011:30). Menurut Hurlock (1980:213), seseorang yang memiliki kontrol diri memiliki kesiapan diri untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan norma, adat, nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama serta tuntutan lingkungan masyarakat dimana dia tinggal. Pada remaja kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan kematang emosi.
         

Menurut Calhoun dan Acocella (Arlyanti, 2012:7) penggunaan kontrol diri yang optimal dapat menghindarkan individu dari penyimpangan perilaku sekaligus juga menjadikan individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik orang yang mempunyai kontrol diri yang baik adalah lebih aktif mencari informasi dan menggunakannya untuk mengendalikan lingkungan, mempunyai daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, mampu menunda kepuasan, serta tidak mudah emosional. Sedangkan orang yang mempunyai kontrol diri rendah sifatnya pasif, menarik diri dari lingkungan, tingginya konformitas, tidak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, hidup semaunya, mudah kompulsi, emosional dan reflek responnya relatif kasar. Sehingga diharapkan remaja memiliki kontrol diri yang kuat sehingga mampu mengendalikan diri serta mengarahkan perilakunya ke arah yang positif.
       

Namun, saat ini yang terjadi adalah bagi kebanyakan orang, remaja yang menjadi penggemar k-pop dikenal dengan stereotip negatif yang melekat dengan diri fans atau penggemarnya. Penggemar k-pop yang kebanyakan merupakan remaja dianggap selalu bersikap berlebihan, gila, histeris, obsesif, adiktif, dan konsumtif (Tartila, 2014:2). Kepopuleran k-pop membuat para k-popers yang begitu mencintai mereka tanpa sadar berperilaku berlebihan yang menyebabkan idolanya bisa tanpa sengaja terluka atau cedera ringan akibat antusiasme k-popers tersebut (Pertiwi, 2013:159).

 

Ikuti tulisan menarik Dian Astri Maulani 2001125557 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler