x

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka (kanan) dan Wakil Wali Kota Teguh Prakosa (kiri) saat menghadiri upacara pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo di kantor DPRD Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat, 26 Februari 2021. Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo secara virtual oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bersama 16 kepala daerah lainnya di Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Rabu, 3 Maret 2021 07:01 WIB

Menanti Kebijakan Pasca Pelantikan Para Kepala Daerah

Upaya menciptakan dan melakukan kebijakan yang inovatif tentu tidak hanya dilaksanakan oleh gubernur, bupati dan walikota sendiri. Usaha ini harus melibatkan sistem birokrasi yang juga inovatif. Kalau dalam sistem swasta pelaku pelayanan adalah karyawan/pegawai, maka di ranah publik pelakunya adalah para birokrat. Layaknya di ranah swasta, birokrasi merupakan ujung tombak pelayanan publik. Lihatlah para karyawan swasta dengan begitu antusiasnya melayani pelanggannya, hal yang sama mestinya juga dilakukan oleh pegawai pemerintah kepada rakyat. Dengan cara ini, maka harapan akan kesejahteraan yang dicita-citakan konstitusi bukan tidak mungkin dapat direalisasikan. Tentu saja, jika pemimpin daerah sudah memiliki formula mengatasi problem masyarakat dan para birokrat melayani rakyat dengan baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN

Penggiat Demokrasi/KIPP Pasaman

Perhelatan pemilihan kepala daerah tahun 2020 telah usai, ditandai dengan telah dilantiknya para calon terpilih untuk menjadi pemimpin daerahnya masing-masing. Pendek kata, pesta telah usai dan masyarakat kembali ke kehidupannya seperti biasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai negara demokrasi, pemilihan secara lansung menjadi salah satu sara menghasilkan kepala daerah di indonesia, maupun tingkat nasional dan daerah. Kepala-kepala daerah ini lahir dari pemilihan segenap masyarakat setelah melalui serangkain tahan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh KPU.

Terus, bagaimana selanjutnya? Apakah masyarakat cukup menikmati euforia demokrasi hanya sampai pelantikan calon terpilih. Tentu saja tidak demikian. Muara dari pilkada yang dengan sangat antusias diikuti oleh masyarakat adalah terciptanya perbaikan setiap aspek kehidupan yang selama ini terjadi.

Sebagaimana diketahui bahwa pilkada adalah hasil dari berubahnya sistem politik Indonesia dari sentralistik di masa Orde Baru menjadi desentralisasi pasca reformasi. Sistem sentralisasi yang mengakar kuat pra reformasi menyisakan banyak problem, di antaranya terabaikannya pembangunan di daerah. Karenanya, desentralisasi dalam format otonomi daerah yang salah satunya mewujud dalam pilkada menjadi jawaban akan kesenjangan pembangunan di masa lalu. Logikanya, pemimpin daerah yang lahir dari sistem pilkada adalah orang-orang yang paham akan kelebihan dan kekurangan wilayahnya. Setelah terpilih, sang pemimpin daerah kemudian diharapkan mampu mewujudnyatakan berbagai harapan masyarakat dalam mengatasi problem-problem yang selama ini ada.

Salah satu problem yang sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah, para pemimpin yang lahir dari ‘rahim’ pilkada di Provinsi Jambi harus memiliki program-program yang diharapkan mampu mengatasi problem sosial klasik ini. Karena memang itulah tujuan utama dari diterapkannya pilkada di Indonesia dalam kerangka sistem desentralisasi. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana cara mengatasinya?

Dalam kajian sosial politik, upaya mengatasi problem-problem sosial masyarakat yang dilakukan oleh seorang pemimpin dikenal sebagai kebijakan publik. Menurut Bridgman & Davis, kebijakan publik adalah keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Secara khusus, Gerry Stoker dalam bukunya The Politics of Local Government: Public Policy and Politics menyatakan bahwa pemerintah daerah yang sudah memiliki wewenang luas dalam pengelolaan daerah dalam sistem otonomi daerah diharapkan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan publik berupa program-program pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan jawaban atas upaya mengatasi problem-problem sosial yang mengemuka dalam masyarakat.

Menciptakan sebuah kebijakan yang mampu mengatasi problem-problem sosial tentu tidak mudah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang. Untuk mengatasi problem ini, para ilmuan sosial politik kemudian merumuskan beragam konsep yang dapat membantu para pemimpin untuk menciptakan kebijakan.

Adalah seorang David Osborne yang mencari solusi terhadap minimnya pelayanan publik melalui bukunya Reinventing Government dan dilanjutkan dengan beberapa perbaikan oleh Duo Denhardt dalam bukunya The New Public Service: Serving Not Steering. Kedua konsep ini sama-sama bertumpu pada perlunya para pemimpin publik untuk mengadopsi pelayanan yang diberikan swasta kepada para pelanggannya.

Perbedaan mendasar kedua konsep ini terletak pada pemosisian rakyat, Osborne menyebutnya sebagai custumer, sedangkan Denhardt mengistilahkannya sebagai citizen. Bagi keduanya, kunci kesuksesan perusahaan-perusahaan swasta terletak pada pelayanannya kepada para pelanggannya. Inovasi-inovasi produk yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan swasta merupakan upaya mereka mengatasi problem yang dialami oleh pelanggannya. Laptop, misalnya, merupakan inovasi untuk memudahkan orang bermobilisasi yang tentu akan kesulitan kalau masih dalam bentuk PC.

Akan halnya juga dengan yang terjadi di ranah publik, pelayanan terhadap khalayak harus memerhatikan kebutuhan masyarakat. Konsep lainnya yang sejalan dengan ini adalah Deglobalisasi yang dicetuskan oleh Walden Bello. Dalam bukunya berjudul Deglobalization: Ideas For a New World Economy, Bello mengatakan bahwa salah satu cara mengatasi problem sosial adalah dengan cara maksimalisasi potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Bertumpu pada konsep ini, maka pemimpin dituntut untuk mandiri dengan cara mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki daerahnya.

Sebagai wujud upaya melayani rakyat, pemimpin yang terpilih dalam pilkada harus mampu menghadirkan program-program yang bertumpu pada kebutuhan masyarakat. Kemiskinan, misalnya, masih menjadi problem yang selalu melekat dalam masyarakat kita. Pemimpin daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) hendaknya memiliki program-program inovatif yang ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Berbagai sumberdaya yang dimiliki daerah (geografis dan demografis) cukup membantu para pemimpin untuk melahirkan program penanggulangan kemiskinan. Hal ini masih ditambah lagi dengan dukungan politis pemerintah pusat yang memang sejak awal sudah menggaransi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia dalam kerangka otonomi daerah.

Upaya menciptakan dan melakukan kebijakan yang inovatif tentu tidak hanya dilaksanakan oleh gubernur, bupati dan walikota sendiri. Usaha ini harus melibatkan sistem birokrasi yang juga inovatif. Kalau dalam sistem swasta pelaku pelayanan adalah karyawan/pegawai, maka di ranah publik pelakunya adalah para birokrat.

Layaknya di ranah swasta, birokrasi merupakan ujung tombak pelayanan publik. Lihatlah para karyawan swasta dengan begitu antusiasnya melayani pelanggannya, hal yang sama mestinya juga dilakukan oleh pegawai pemerintah kepada rakyat. Dengan cara ini, maka harapan akan kesejahteraan yang dicita-citakan konstitusi bukan tidak mungkin dapat direalisasikan. Tentu saja, jika pemimpin daerah sudah memiliki formula mengatasi problem masyarakat dan para birokrat melayani rakyat dengan baik.

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu