x

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Minggu, 14 Maret 2021 18:41 WIB

25 Tahun KIPP Mengawal Demokrasi

Melihat perjalanan KIPP sudah 25 tahun sebagai pemantau pemilu sangatlah panjang. Bagaimana kemudian pemantau pemilu yang dilakukan oleh organisasi sipil menemui tantangan dan peluang dalam pelaksanakan pemantauan pemilu kedepannya. Pemantauan menjadi kunci bagi masyarakat atau publik untuk terlibat didalamnya. Lembaga non goverment dapat menggiring jalannya penyelenggaraan pemilu yang adil. Dibukanya ruang publik untuk terlibat dalam pemantauan pemilu harus dimaknai tidak sekadar publik harus melembaga dalam resmi pemantauan pemilu. Setiap individu publik berhak memantau jalannya pemilu, sehingga perlu digagas desain partisipasi masyarakat sipil. Pengalaman munculnya lembaga-lembaga pemantauan pemilu, terutama sejak akhir periode rezim Orde Baru sampai pemilu pascaresformasi, bisa menjadi potret pentingnya peran publik dalam menjaga pemilu agar menghasilkan para penguasa politik yang tunduk pada pemberi mandatnya, yakni rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN

Ketua Umum KIPP Pasaman 2016-2019

Banyaknya lembaga pemantau yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun membuat capaian demokrasi semakin dekat.Pelibatan masyarakat yang turut serta dalam pemantauan pemilumerupakan bentuk dari hak warga negara untuk berpartisipasi dalampemilu. Hak warga negara untuk berpartisipasi lebih aktif, tidak hanya saatpemungutan suara tetapi juga berpartisipasi untuk mengawasi seluruhtahapan dalam pemilu. Hal ini penting dilakukan guna menjaga proses danhasil pemilu sesuai dengan kehendak rakyat yang sebenarnya, bukan hasilpemilu semu karena telah termanipulasi proses maupun hasilnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya lembaga-lembaga pemantau pemilu. Masing-masing lembaga pemantau memiliki sejarahnya dan tujuan pembentukannya. Namun memang, awal mulanyalembaga pemantau ini hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap rezimpenguasa yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan kekuasaan negara. Kehadiran KIPP merupakan respons atas kondisi politik saat awal awal pemilu dilakukan, dimana penyelenggaraan pemilu banyak terjadi kecurangan seperti manipulasi suara, intimidasi, dan media yang tidak berimbang. Pada saat itu KIPP menjadi organisasi pertama yang melakukan pemantauan pemilu.

Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) adalah lembaga pemantau pemilu pertama di Indonesia. Didirikan pada 1995 oleh para aktivis, jurnalis, akademisi, dan intelektual, sebagai respon atas pemerintah Orde Baru yang kerap memanipulasi pemilihan.

Pembentukan KIPP terinspirasi oleh pembentukan The National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL) pada 1983 oleh sejumlah aktivis cum pengusaha di Filipina. NAMFREL hadir untuk merespon pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos dan berkontribusi menumbangkan rezim tersebut.

Alkisah, Februari 1995, Rustam Ibrahim, Ketua Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menghadiri Konferensi Pemantauan Pemilu se-Asia yang diselenggarakan oleh NAMFREL dan The National Democratic Institute (NDI) di Manila. Sekembalinya dari Manila, ia menggagas dibentuknya KIPP. Disepakati, Gunawan Muhammad, editor majalah Tempo terpilih sebagai ketua KIPP.

Memantau pemilu untuk pertama kalinya di tengah ketiadaan aturan yang memperbolehkan adanya pemantau pemilu bukanlah hal mudah. KIPP sampai mesti menyelenggarakan rapat besar dan pelatihan anggota di Bangkok. Beruntung, KIPP mendapatkan dukungan, baik finansial maupun konsultasi pembuatan modul pemantauan pemilu dari NDI.

Pemantauan Pemilu 1997, sebagaimana diakui oleh salah satu aktivis KIPP masa itu, Ray Rangkuti,bertujuan untuk menjegal Golongan Karya (Golkar) berkuasa lagi. Oleh karena itu, KIPP pemantau pemilu KIPP diarahkan untuk fokus mencatat pelanggaran yang dilakukan oleh Golkar, Anggatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan aparatur birokrasi. Dari pemantauan itu, KIPP mencatat setidaknya ada lebih dari 10.000 pelanggaran pemilu untuk memenangkan kembali Golkar.

Sejarah itu membuat pemantauan pemilu KIPP pertama kali tak bisa disebut sesuai dengan prinsip pemantau pemilu, yakni non partisan.  Jika non partisan, mestinya pencatatan pelanggaran pemilu juga dilakukan terhadap peserta pemilu lainnya.

Momentum tepatnya 15 Maret 2021, telah 25 tahun KIPP menjadi lembaga pemantau pemilu di indonesia, tentu banyak catatan dan tantangan yang dihadapi bagi pemantau pemilu, mulai sulitnya persyaratan pendaftaran jadi pemantau dan sulitnya rekrutmen jadi pemantau pemilu.

Catatan Kritis

Keberadaan beberapa lembaga pemantau merupakan bentuk inisiasi dan partisipasi masyarakat untuk mendorong terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Pemantauan juga merupakan bentuk kesadaran kritis masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak politiknya, agar pemilu tidak hanya menjadi prosedur demokrasi semata. Pemilu diharapkan mampu menampung dan mengakomodir kepentingan politik publik sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang difasilitasi dalam proses demokrasi melalui pemilu. Oleh karena itu, keberadaan lembaga pemantau pemilu merupakan satu keharusan untuk terpenuhinya hak-hak politik rakyat. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya banyak partisipasi masyarakat dalam pemantauan yang diwadahi oleh lembaga pemantau. Namun dalam perkembangannya banyak regulasi mengatur lembaga pemantau pemilu dengan segala pendapat pro maupun kontra.

Muncul perdebatan, apakah lembaga pemantau pemilu sebagai bentuk partisipasi masyarakat perlu diatur dan akreditasi. Kelompok yang menolak itu berargumentasi bahwa sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan hak publik, semestinya pemantau dibebaskan dari segala aturan yang dinilai akan menghambat partisipasi masyarakat. sedangkan kelompok pendukung menilai bahwa akreditasi dan pengaturan diperlukan untuk menjaga kredibilitas dari lembaga pemantau itu sendiri. Akreditasi dianggap sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan hak bagi pemantau.

Melihat perjalanan KIPP sudah 25 tahun sebagai pemantau pemilu sangatlah panjang. Bagaimana kemudian pemantau pemilu yang dilakukan oleh organisasi sipil menemui tantangan dan peluang dalam pelaksanakan pemantauan pemilu kedepannya. Pemantauan menjadi kunci bagi masyarakat atau publik untuk terlibat didalamnya. Lembaga non goverment dapat menggiring jalannya penyelenggaraan pemilu yang adil. Dibukanya ruang publik untuk terlibat dalam pemantauan pemilu harus dimaknai tidak sekadar publik harus melembaga dalam resmi pemantauan pemilu. Setiap individu publik berhak memantau jalannya pemilu, sehingga perlu digagas desain partisipasi masyarakat sipil. Pengalaman munculnya lembaga-lembaga pemantauan pemilu, terutama sejak akhir periode rezim Orde Baru sampai pemilu pascaresformasi, bisa menjadi potret pentingnya peran publik dalam menjaga pemilu agar menghasilkan para penguasa politik yang tunduk pada pemberi mandatnya, yakni rakyat.

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu