x

Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Senin, 29 Maret 2021 17:59 WIB

Politik Kian Menggelitik

Politik memang selalu menggelitik. Siapa yang cerdik tak kena hardik. Saya menikmatinya sebagai tontonan yang semoga menjadi tuntunan. Siapa yang benar akan bersinar. Siapa yang salah akan mendapat masalah. Siapa yang licik akan menerima karmanya. Indonesia negara hukum. Bukan hukum rimba yang diberlakukan. Namun hukum yang berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Keadilan harus diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapa yang jujur akan mujur. Siapa yang bohong akan ompong. Pendidikan harus mampu mendidik orang jujur agar negara tak menjadi hancur. Itulah mengapa pendidikan karakter itu penting. Keadilan harus menjadi panglima di negeri ini. Politik memang menggelitik. Saya belajar sabar dari kisruhnya salah satu partai saat ini. Lebih enak jadi penonton daripada pemain. Penonton akan merasa lebih pintar dari pemain sepakbola. Semoga goal yang diciptakan para pemain terlihat indah. Seindah goal almarhum Diego Maradona dengan tangan Tuhannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN

Penggiat Demokrasi/KIPP Pasaman

Konflik internal dalam suatu partai layaknya ”popularitas batu akik sekarang yang lagi nge-trend”.  Banyaknya partai yang mengindap konflik internal mulai memanas Pasca pemilihan kepala serentak 2020, ada bebarapa partai bergelut dengan konflik internal yang sedikitnya menyita perhatian berbagai pihak. Bukan hanya para elit politik yang perhatiannya tersita, para masyarakat pun juga tersita perhatiannya. Politik Satu kata yang bisa membuat polemik. Di dalamnya ada yang cerdik dan ada yang licik.Tadinya saya tak begitu suka dengan politik. Barulah saya tersadarkan bahwa semua kebijakan di negeri ini berawal dari politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konflik politik yang berlatar belakang perebutan kekuasaan dan sumber daya manusia sudah sejak dahulu mewarnai sejarah peradaban. Faktanya, kita sudah menyaksikan atau mendengar betapa konflik politik telah memicu institusi reformasi pada tahun 1999-2000, Dan konflik itu berakhir dengan kemenangan para elite politik yang kian kuat cengkraman kekuasaan hadir sebagai pewaris proyeksi politik colonial devide et impera (politik pecah belah) telah membawa isu sara yang kian kuat dipakai.

Memahami bahasa politik yang sering didiskusi bahwa politik itu ‘seni’ bukan seni Menipu, tetapi seni dalam memahami citra sosial. Sejatinya para elite mampu menyikapi politik yang akan membawa visi dan misi rakyat. Namun, kebebasan dalam berpolitik tanpa memfilterkan realitas sosial dengan akal sehat akan mendoktinkan lapisan masyarakat memahami politik itu tak lain adalah konflik demokrasi yang pada ujungnya finansial cenderung sebagai jaminan dalam jual beli suara yang sudah membudayakan.Ingatan sejarah konflik politik secara vertikal diatas bahwa pertarungan elite politik.

Pragmatis dalam kekuasaan parpol memainkan strategi dengan kehendak untuk mencapai sebuah kekuasaan pemerintahan. Mulai dari pemerintahan secara luas maupun pemerintahan secara sempit. Ironisnya, membuat masyarakat kolaps dalam nuansa politik yang kemudian itu memicu kekuatan modal yang mengendalikan cara berfikir. Selain modal, wacana para aktor politik dari satu kelompok dan kelompok lainnya saling kontradiksi.

Politik memang selalu ramai. Seperti  ramainya anatara kubu KLB dan kubu Sah yang sedang ramai diributkan banyak orang. Masing masing kubu merasa paling benar dan mereka akan berhadapan di pengadilan. Mereka yang dulunya kawan kini menjadi lawan.

Itulah politik yang menggelitik. Kita bisa tersenyum dan terkejut melihat sepak terjang para pemainnya. Ada politik dinasty dan ada politik demokrasi. Entah ada politik apalagi. Saya siap jadi penonton saja. Kita menjadi tim penggembira saja.

Menjadi politikus itu bagus. Tapi lebih bagus jadi orang yang religius. Sebab dia akan fokus supaya lulus dari fulus. Dalam politik tak ada teman dan musuh yang abadi. Politik berputar dan dikuasai dari mereka yang kuat memegang amanah rakyat.

Konggres Luar Biasa (KLB) dilaksanakan oleh mereka yang tersakiti dan merasa diperlakukan tidak adil. Begitulah saya pelajari dari pernyataan mereka di televisi. Saya sangat maklum sekali.

Buat saya sebagai pengamat politik dadakan, jadi belajar berdemokrasi yang benar. Demokrasi yang telah diajarkan para tokoh bangsa dalam membentuk negara kesatuan republik Indonesia. NKRI harga mati.

Politik memang selalu menggelitik. Persis seperti matpel sejarah yang akan dihilangkan dalam kurikulum. Mereka yang terusik pasti akan berisik. Mereka yang kuat argumentasinya dan mendaatkan dukungan politik.

Politik yang menggelitik

Politik memang selalu menggelitik. Siapa yang cerdik tak kena hardik.  Saya menikmatinya sebagai tontonan yang semoga menjadi tuntunan. Siapa yang benar akan bersinar. Siapa yang salah akan mendapat masalah. Siapa yang licik akan menerima karmanya.

Indonesia negara hukum. Bukan hukum rimba yang diberlakukan. Namun hukum yang berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Keadilan harus diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Siapa yang jujur akan mujur. Siapa yang bohong akan ompong. Pendidikan harus mampu mendidik orang jujur agar negara tak menjadi hancur. Itulah mengapa pendidikan karakter itu penting. Keadilan harus menjadi panglima di negeri ini.

Politik memang menggelitik. Saya belajar sabar dari kisruhnya salah satu partai saat ini. Lebih enak jadi penonton daripada pemain. Penonton akan merasa lebih pintar dari pemain sepakbola. Semoga goal yang diciptakan para pemain terlihat indah. Seindah goal almarhum Diego Maradona dengan tangan Tuhannya.

Dari fenomena tersebut, sangatlah jelas bahwa para elit politik kita sekarang ini sangat nampak dan jelas akan mengedepankan kepentingannya, bukan kepentingan rakyat. Mereka hanylah memikirkan untung-rugi, dan berusaha untuk meraih keuntungan, keuntungan, dan hanya keuntungan. Jika sudah demikian, apa gunanya keberadaan suatu hukum jikalau badan hukum tersebut juga dilibatkan dalam perpolitikkan. Badan hukum sekarang hanyalah bagian dari boneka permainan politik yang sedang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu. Sudah seharusnya badan hukum bersifat netral dan memandang pada nilai benar dan salah, bukan seperti perpolitikan yang selalu memandang dan membanding-bandingkan antara untung dan rugi.

Oleh karena itu, hendaknya semua pihak yang melihat kondisi permasalahan yang ada ini bisa mendewasakan pikirannya dalam berpolitik. Tidak seharusnya kita sembarangan menyimpulkan suatu keadaan yang hanya berdasarkan beberapa data yang terpapar. Untuk menuju perpolitikan yang dewasa, kita memang harus dituntut agar memekakan diri terhadap setiap fenomena yang terjadi. Sehingga kita tidak ikut-ikutan terjerumus pada sebelah pihak. Dalam upaya mendewasakan perpolitikan ini, taat hukun dan hukum yang taat juga merupakan hal penting yang mendorong merubah perpolitikan menjadi lebih baik.

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu