x

palu hakim ilustrasi

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 9 Mei 2021 16:04 WIB

Pengadilan bagi Para Hakim

Dalam malam-malam yang sunyi dan hening, siapakah di antara para hakim yang membayangkan Sang Maha-hakim akan menghakimi mereka sebagaimana mereka menghakimi sesama manusia? Pernahkah para hakim membayangkan penolakan Sang Maha-hakim atas semua pembelaannya sebagaimana mereka menutup mata hati terhadap pembelaan rakyat  pencari keadilan di dunia ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di ruang-ruang sidang pengadilan di muka bumi, ya di dunia yang fana ini, para hakim menjadi penentu akhir suatu perkara yang dibawa ke dalamnya. Ucapannya adalah titah putus yang menentukan nasib siapapun, dan wajib diikuti. Kata-katanya sakti dan mampu mengubah nasib seseorang. Tidakkah para hakim gemetar memiliki kekuatan seperti ini? Tidakkah hakim gemetar karena takut bila putusannya salah? Gemetar karena mungkin menjebloskan orang yang tidak bersalah? Gemetar karena membebaskan orang yang semestinya dihukum berat?

Para hakim mungkin pernah menangani perkara-perkara yang dianggap kecil oleh manusia, seperti mencuri seekor ayam atau memotong dua potong ranting pohon untuk kayu bakar. Mungkin hakim bekerja cepat dalam memutus perkara—sederhana, karena mengambil yang bukan haknya maka pesakitan harus dikirim ke bui. Tidakkah hakim membuka mata lebih lebar dan melihat mengapa seorang rakyat kecil mencuri ayam atau memotong ranting pohon? Apakah hati nurani dilupakan saat hakim menangani perkara seperti ini dan menyingkirkannya dari rasionalitas pengambilan keputusan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu bagaimana dengan perkara-perkara besar, misalnya korupsi yang menggarong miliyaran hingga trilyunan rupiah? Apakah para hakim hanya akan bertumpu pada apa yang disodorkan oleh jaksa dan pengacara, dan mengabaikan kebijaksanaannya dalam memandang perkara? Ataukah hakim malah mempertimbangkan jasa-jasa pesakitan sebab ia pernah memegang jabatan publik?

Ataukah hakim akan bersikap lebih arif dan bijaksana sesuai dengan makna kata hakim, misalnya ketika menangani perkara besar, ia akan setia kepada hati nuraninya yang condong kepada kebenaran dan keadilan; ia akan memandang jauh ke depan dan mempertimbangkan dampak perkara itu terhadap masyarakat; ia pun berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa dibayangi rasa takut; dan ia tidak mau terperangkap di dalam permainan argumentasi di antara pihak-pihak yang berperkara serta mengabaikan substansi perkara.

Dengan kekuasaan besar di tangan untuk memutuskan hitam putihnya sebuah perkara, apakah hakim juga ingat bahwa ada kekuatan yang Mahabesar yang akan memperlakukannya sebagai pesakitan manakala ia tidak berbuat adil dalam memutus perkara? Apakah para hakim memutus karena menginginkan kehormatan dan kebanggaan dunia tanpa mempedulikan rasa keadilan yang selalu diserukan oleh hati nuraninya? Apakah ia akan menindas suara nuraninya bahkan sebelum suara itu keluar dari mulutnya?

Dalam malam-malam yang sunyi dan hening, siapakah di antara para hakim—yang agung maupun yang bukan agung—yang merenungi perannya dalam menentukan nasib begitu banyak orang, individu maupun masyarakat luas. Dalam hal korupsi, umpamanya, pernahkah para hakim itu merenungkan dampak praktik korupsi terhadap masyarakat luas sehingga ia tidak memutus suatu perkara korupsi hanya dengan mengandalkan argumentasi dan bukti-bukti yang dibawa ke ruang sidang?

Dalam malam-lama yang sunyi dan hening, siapakah di antara para hakim yang saat ini begitu perkasa di ruang-ruang sidang merenungkan bahwa suatu ketika ia akan dihadapkan di pengadilan yang hakimnya adalah Maha-hakim, yang tidak pernah salah, yang tidak pernah tidak adil, yang tidak pernah tidak bijaksana, yang keadilannya mutlak?

Dalam malam-malam yang sunyi dan hening, siapakah di antara para hakim yang bersujud memohon ampunan kepada Sang Maha-hakim, dengan rendah hati, dengan gemetar memandangi baju toga karena takut bersikap tidak adil, dan bukan sebaliknya merasa agung dalam selimut baju toga? Mungkin juga karena takut telah bersikap congkak seolah-olah telah menjadi hakim yang arif.

Dalam malam-malam yang sunyi dan hening, siapakah di antara para hakim yang membayangkan Sang Maha-hakim akan menghakimi mereka sebagaimana mereka menghakimi sesama manusia? Pernahkah para hakim membayangkan penolakan Sang Maha-hakim atas semua pembelaannya sebagaimana mereka menutup mata hati terhadap pembelaan rakyat  pencari keadilan di dunia ini? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler