x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 20 Mei 2021 13:16 WIB

Otak Sungsang, Kegagalan Membangun Argumen

Pemakaian kata itu juga menunjukkan suasana hati dan pikiran penggunanya yang kalut, sebab terlihat seperti orang yang tidak tahu harus mengajukan argumen seperti apa lagi untuk menangkis kritik dan membela posisinya sendiri. Di sisi lain, ia harus menunjukkan pembelaan terhadap sebuah kebijakan yang telah diambil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Penggunaan istilah ‘otak sungsang’ oleh pejabat negara untuk menanggapi kritik warga masyarakat terhadap apa yang dinamai tes wawasan kebangsaan KPK merupakan bukti konkret ketidakmampuan membangun argumen untuk menangkis kritik tersebut secara proporsional. Membangun argumen yang rasional, jujur, dan berkeadilan memang tidak mudah, apa lagi jika argumen itu dimaksudkan untuk mendukung pandangan yang sebenarnya tidak begitu meyakinkan dilihat dari berbagai segi.

Sayangnya, ada alasan lain yang membuat orang berusaha mencari-cari argumen untuk membenarkan pandangan itu, misalnya alasan kekuasaan—siapapun tahu, kekuasaan membuat orang silau menatapnya. Ketika jalan untuk menemukan argumen yang masuk akal secara nalar kemudian mentok karena membentur dinding kebenaran dan keadilan, maka dipilihlah jalan pintas alias shortcut untuk menangkis kritik masyarakat. Jalan pintas itu bisa berupa penyebutan dengan istilah yang kasar dan mengerikan, seperti ‘otak sungsang’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jalan pintas seperti itu mungkin dianggap oleh pemakainya sebagai cara yang ampuh untuk mematahkan kritik dan membenamkannya agar diam. Bahkan, mungkin dianggap sah-sah saja dan lumrah belaka walaupun sebenarnya pilihan diksi dan kata mestinya mencerminkan pula tingginya jabatan. Namanya juga jalan pintas, maka pemakai tinggal memilih kata mana yang sesuai dengan suasana hatinya. Ia tidak lagi peduli apakah istilah tersebut layak dan pantas digunakan untuk beradu argumen.

Istilah ‘otak sungsang’ barangkali dimaksudkan untuk merendahkan martabat pihak yang mengritik, namun penggunaan istilah itu justru malah merendahkan martabat pemakainya sendiri. Kata-kata itu justru menunjukkan kualitas pemakainya, karena mengungkapkan kegagalannya dalam membangun argumen yang rasional, logis, dan bermartabat dalam pertukaran wacana. Istilah itu memperlihatkan kualitasnya sebagai pejabat negara.

Pemakaian kata itu juga menunjukkan suasana hati dan pikiran penggunanya yang kalut, sebab terlihat seperti orang yang tidak tahu harus mengajukan argumen seperti apa lagi untuk menangkis kritik dan membela posisinya sendiri. Di sisi lain, ia harus menunjukkan pembelaan terhadap sebuah kebijakan yang telah diambil. Meskipun barangkali ia tahu bahwa kebijakan itu tidak tepat, ia merasa berkewajiban untuk tetap membelanya. Inilah situasi dilematis yang membuat seseorang di lingkaran kekuasaan seringkali menemui kesulitan dalam membangun argumen yang rasional, tepat, dan kukuh, sehingga ia akhirnya memilih untuk memakai istilah-istilah yang sarkastis untuk menangkis kritik masyarakat.

Yang masyarakat luas belum tahu ialah bagaimana respon pejabat itu terhadap pernyataan tertulis 75 guru besar berbagai perguruan tinggi terhadap isu yang sama, Ahad, 16 Mei 2021. Puluhan guru besar itu menilai tes wawasan kebangsaan yang diadakan oleh pimpinan KPK merupakan pelanggaran hukum dan etika publik [https://nasional.tempo.co/read/1462829/74-guru-besar-desak-twk-kpk-dibatalkan-azyumardi-tes-itu-punya-problem-serius]. Karena itu, para guru besar tersebut meminta KPK agar membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan. Akankah istilah sarkastis itu bakal dipakai lagi untuk menangkis pernyataan para guru besar tersebut? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler