x

Iklan

Adam Dimyati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Januari 2020

Senin, 14 Juni 2021 18:51 WIB

Syaikh Quro Penyebar Islam di Karawang


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SYEKH QURO KARAWANG

Syekh Quro

Dalam sejarah Jawa Barat dan Betawi nama yang satu ini cukup sering diulas. Ridwan Saidi, sejarawan Betawi dalam bukunya yang berjudul Babad Tanah Betawi, hal 109, penerbit gria media prima, mengangkat nama Syekh Quro sebagai penyebar agama islam pertama di Betawi. Babeh Ridwan sangat fanatik dengan sosok Syekh Quro ini, beberapa kali dalam diskusi sejarah betawi, Babeh RIDWAN selalu bangga dengan sosok Syekh Quro. Sengaja saya tampilkan beberapa pernyataan Babe Ridwan karena nanti peran Syekh Quro ini akan terlihat, menentukan peran serta Syekh Quro baik di Betawi maupun di Jawa Barat. Dalam satu buku yang juga saya peroleh dari dinas museum Banten lama yang ditulis dengan gaya ilmiah yang berjudul Riwayat Kesultanan Banten, halaman 5 tahun 2006 oleh Tubagus Hafiz Rafiudin, sosok Syekh Quro bahkan ditulis dengan jelas sebagai guru besar Agama Islam di Champa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pada halaman awal itu nama Syekh Quro langsung tertera sebagai guru besar dan orang yang berpengaruh pada tokoh tokoh atau raja/sultan pada kerajaan Pajajaran, Kesultanan Cirebon maupun Kesultanan Banten kelak. Bagi orang Cirebon, Indramayu dan juga Banten, nama yang satu ini juga cukup mendapat perhatian, karena sepak terjang dakwahnya yang dapat dikatakan sukses besar. Dakwahnya damai, santun dan cerdik. Beliau berdakwah dengan kemampuan ilmu Al Qur’annya. Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain ini ternyata nama aslinya adalah Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-Qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya.

 

Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang ternyata masih merupakan keluarga besar Azmatkhan, karena ayah Syekh Yusuf Siddiq ternyata Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Sayyid Yusuf Siddiq sendiri ibunya adalah Puteri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia). Putri Linang cahaya ini dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini dan juga situs Madawis telah melahirkan 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq. Ibu dari Sayyid Yusuf Siddiq ini adalah istri ke 3 dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Jadi Syekh Quro ini adalah cucu dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro, artinya beliau Syekh Quro adalah masih keluarga besar Wali Songo.

 

Nazab Syekh Quro

Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, penerbit Madawis, Edisi Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

 

  1. Muhammad Rasulullah SAW
  2. Fatimah Az-zahra
  3. Husein As-shibti
  4. Ali Zaenal Abidin
  5. Muhammad Al-Baqir
  6. Jakfar As-Shodiq
  7. Ali Al-Uraidhi
  8. Muhammad An-Naqib
  9. Isa Ar-Rumi
  10. Ahmad Al-Muhajir
  11. Ubaidhillah
  12. Alwi Al Awwal
  13. Muhammad Shohibus Souma’ah
  14. Alwi Atsani
  15. Ali Kholi’ Qosam
  16. Muhammad Shohib Marbat
  17. Alwi Ammul Faqih
  18. Abdul Malik Azmatkhan
  19. Abdullah Amir Khan
  20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
  21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
  22. Syekh Yusuf Siddiq
  23. Syekh Hasanuddin/Maulana Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan

Pada waktu kedatangan beliau ditanah Jawa, terutama kawasan Jawa bagian barat (saat itu belum ada istilah barat atau timur), wilayah Jawa Bagian Barat masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran yang saat itu menganut agama Hindu, dengan seorang Raja yang bernama Prabu Angga Larang, Kekuasaan Raja Padjadjaran tersebut meliputi wilayah Karawang dan juga sekitarnya, sebelum datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa, dari sini beliau lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon.

 

Di Cirebon beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan juga oleh masyarakat sekitar, mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam. Kedatangan awal Syekh Quro tentu tidak mengherankan jika ditinjau dari sisi ilmu nasab dan sejarah, karena sebelum kedatangan beliau, keluarga besar AZMATKHAN atau Wali Songo periode awal sudah mulai bergerak, dimulai dari Sayyid Husein Jamaluddin, kemudian anak anaknya dan dilanjutkan dengan keturunanya. Jika ditinjau dari nasab dan periode Wali Songo, beliau ini satu angkatan dengan Maulana Malik Ibrahim dan Wali Songo angkatan pertama. Sayang memang, dibandingkan dengan Wali Songo yang lain, sosok beliau ini jarang dikaji dalam bentuk tulisan sejarah atau ilmiah, padahal jasa beliau dalam menyebarkan agama islam itu sangat besar.

 

Jasa beliau ini tidak boleh dianggap kecil, karena beliau inilah yang merupakan pelopor penyebaran agama islam di Jawa Barat, sebelum eranya Sunan Gunung Jati. Sebelum kedatangan Syekh Quro, dapat dikatakan penyebaran Islam belum sporadis, namun sejak kedatangan Syekh Quro ini, Islam mulai mendapat tempat dihati rakyat. Namun demikian, penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa bagian barat ini rupanya sangat mencemaskan Raja Pajaran Prabu Angga Larang, sehingga pada waktu itu penyebaran agama Islam dengan titahnya harus segera dihentikan. Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro yang memang pendekatan dakwahnya sangat persuasif. Namun kepada utusan dari Raja Padjadjaran yang mendatangi Syekh Quro, Syekh Quro mengingatkan kepada utusan tersebut untuk kemudian disampaikan kepada raja Padjadjaran,

” meskipun ajaran agama Islam dihentikan, namun penyebarannya kelak akan meluas hebat, dan justru dari keturunan Prabu Angga Larang nanti akan ada yang menjadi seorang Waliyullah “.

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro.

Syekh Quro juga adalah ulama penyebar agama Islam pertama dan paling sepuh di tanah Pakuan Pajajaran Sunda, makamnya terletak di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin atau Syekh Qurotul Ain atau Syeh Mursahadatillah. Asal-usul dipanggil Syekh Quro karena beliau hafal Alquran (hafidz), sekaligus memiliki kelebihan atau karomah dengan suara qori’ yang sangat merdu. Dari kata-kata qori’ inilah asal-usul Syekh Quro dipanggil. Beliau adalah peletak pertama bibit-bibit ajaran Rasulullah Muhammad SAW di Tanah Sunda, setara dengan Peran Sunan Ampel yang meletakkan dasar-dasar ajaran Islam di Jawa atau Majapahit. Jika Sunan Ampel mendapatkan restu dari Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi untuk mendirikan pasreman (pesantren) di Ngampel dhenta (Surabaya sekarang) dan menyebarkan agama Rasul di bumi Majapahit, berbeda halnya dengan Syekh Quro. Beliau ditentang oleh Raja Pajajaran waktu itu, yaitu Prabu Angga Larang.

 

Bahkan, penguasa Pajajaran waktu itu mengirim utusan untuk mengusir Syekh Quro dan pengikutnya karena banyak warga Pajajaran yang mulai tertarik dan mengikuti ajaran Syekh Quro. Namun melalui karomah yang dimilikinya, Syekh Quro lantas mengatakan bahwa kelak keturunan Prabu Anggalarang akan masuk Islam dan menjadi penyebar agama Islam di Tanah Sunda Galuh. Dan ucapan sang waliyullah pada akhirnya terbukti.

Karomah Syekh Quro

Karomah utama Syekh Quro adalah kelebihannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Kemampuan itu ditularkan kepada santri-santrinya, salah satunya Nyai Subang Larang. Beliau juga hafal Alquran. Dan karomah Syekh Quro yang tercatat dalam naskah Purwaka Caruban Nagari, di antaranya ucapan beliau yang menjadi kenyataan ketika misi penyebaran agama Islam yang dilakukan ditentang oleh Raja Sunda Galuh waktu itu, yaitu Prabu Angga Larang. Dalam program Dua Dunia yang ditayangkan Trans7, salah satu santri Syekh Quro bernama Siti Khaifah saat memasuki raga mediator mengatakan, saat diusir dari Tanah Sunda, Syekh Quro berkata:

“Ingatlah, dengar, prabu musuhku. Tidak akan berhenti perjuanganku sampai di sini. Kelak perjuanganku akan ada yang meneruskan, dari keturunannya sendiri.”

Ucapan tersebut terbukti. Anak Prabu Anggalarang, Prabu Siliwangi masuk Islam saat menikah dengan Dewi Subang Larang, serta cucu-cucunya menjadi tokoh penting dalam penyebaran agama Rasul Muhammad SAW di tanah Pasundan, yakni Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana), Rara Santang (Ibu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati), dan Kian Santang atau Raja Sangara. Karomah Syekh Quro selanjutnya, seperti dihimpun islamcendekia.com dari berbagai sumber, konon kabarnya, beliau membangun masjid agung yang megah kemudian dipindahkan secara gaib ke Gunung Sembung Cirebon. Masjid itu diberi nama Mangal Mangil Mangup.

Pada masa modern, pernah seseorang (Sunda) yang berziarah ke makam Syekh Quro. Dia mendoakan kedua ibunya yang sedang menunaikan ibadah haji. Tak disangka, kedua orang tua anak tersebut saat di Mekkah melihat dirinya bersama seorang syekh, yang menurutnya adalah Syekh Quro. Dengan karomah Syekh Quro, seseorang yang berziarah di makamnya tersebut diajak “berhaji” gaib di Mekkah. Wallahualam bishawab, hanya Allah yang tahu. Subhanallah!

Nasab, keturunan, silsilah Syekh Quro

Ayah Syekh Quro adalah ulama besar di Negeri Champa (China Muslim) yang bernama Syekh Yusuf Siddik. Beliau masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al Husaini dan Syekh Jalaluddin, seorang ulama dari Mekkah. Dari garis nasab ibunya yang bernama Dyah Kirana, Syekh Quro juga masih ada garis silsilah dari Sayidina Husein, putra Sayidina Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, beliau masih keturunan Rasulullah SAW. Beliau juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon, yaitu dari generasi keempat Amir Abdullah Khanudin. Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari memiliki anak bernama Syekh Ahmad yang meneruskan perjuangan ayahnya menyebarkan agama Islam di Pesantren Quro Karawang. Saat ini, pesantren itu menjadi Masjid Agung Karawang.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tiongkok. Selir Tiongkok ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Tiongkok kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tiongkok dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San). Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tiongkok adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syekh Bentong (alias Kyai Batong) santrinya Syekh Quro. Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan penting. Pelabuhan Caravam yang sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda tampaknya terus berperan hingga masa Islam. Salah satu situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syekh Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain.

Mendirikan Pesantren

Pada tahun 1340 Saka (1418 M) didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain: Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang.

Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan dia mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci. Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang. Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syech Quro berwasiat kepada santri – santrinya berupa: “Ingsun Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.

Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro. Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Dikutip dari :

https://hobindonesia.id/perjalanan-syeh-quro-menyebarkan-islam-di-tanah-sunda/

https://lintasdaerah.com/syekh-quro-karawang/

 

 

Ikuti tulisan menarik Adam Dimyati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler