x

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 29 Juni 2021 10:28 WIB

Kepemimpinan Berbasis Baliho

Kepemimpinan yang diwakili baliho menunjukkan adanya jarak antara kepemimpinan itu dengan yang ingin dipimpin. Mengapa begitu? Baliho itu menunjukkan bahwa pemimpin itu tidak benar-benar hadir di tengah rakyat, sekaligus memperlihatkan bahwa ia cemas rakyat tidak mengenal dirinya karena tak pernah hadir dalam kehidupan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila bangsa kita tidak mampu cepat beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat, hal ini tidak terlepas dari kepemimpinan yang tidak tangkas belajar [unagile leadership]. Kepemimpinan jenis ini tidak mampu menangkap dengan segera gejala-gejala perubahan lingkungan dan situasi—tidak sensitif, lelet, dan loading-nya lama; tidak mampu memanfaatkan memori dan pengalaman—yang baik maupun yang buruk, sehingga cenderung mengulangi kesalahan yang sama; barangkali juga karena ada faktor memori yang mengalami bad sector sehingga sukar mengidentifikasi kecenderungan arah dan pola perubahan masa depan.

Salah satu sebab mengapa kepemimpinan jenis ini terkesan dominan ialah karena kepemimpinan semacam ini pada umumnya berbasis baliho—sejenis spanduk berukuran besar. Kepemimpinan ini bukan lahir dari dinamika rakyat bawah yang mengalami pahit getir kehidupan sosial ekonomi, sehingga kepemimpinan ini tidak mampu memahami benar persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Rakyat mengenal kepemimpinan ini melalui baliho—bukan interaksi langsung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terangkatnya kepemimpinan jenis ini lebih ditopang oleh baliho, ya ... kain berukuran besar yang kerap memenuhi berbagai ruas jalan. Di masa-masa kampanye khususnya, baliho mewarnai hampir setiap tepi jalan, sudut jalan, jembatan penyebarangan jalan, bahkan hingga ikut jalan-jalan bersama angkutan dalam kota, khususnya di kota-kota di mana angkot masih jadi sarana transportasi. Politisi menyapa rakyat lewat baliho, dengan senyum ramah yang begitu dermawan.

Para politisi percaya benar bahwa baliho itu sarana ampuh untuk membangun popularitas di tengah rakyat. Di baliho itu tercetak foto wajah close up berukuran besar yang dibubuhi slogan dan jargon yang itu-itu juga, jargon yang nyaris klise karena diulang-ulang dari tahun ke tahun, kurang inovatif, kreatif, apa lagi inspiratif. Namun, bahasa politisi barangkali memang dari itu ke itu saja, tapi anehnya rakyat kerap juga tetap percaya pada janji-janji politisi.

Bahkan, di masa bukan kampanye pun, ada pula yang menebarkan baliho semacam itu, barangkali sebagai tanda perkenalan dengan rakyat banyak. Biasanya politisi yang sedang jadi pejabat publik yang bisa menebarkan baliho semacam itu dengan alasan sedang melakukan kunjungan kerja. Jika masa kampanye sudah mendekat, perkenalan itu diharap semakin erat—ya, tapi tetap saja mengenal erat lewat baliho, maksudnya balihonya diperbanyak dan diperluas penyebarannya.

Sebagai alat komunikasi publik, baliho memang mudah menarik perhatian lantaran ukurannya yang lebih besar dibandingkan poster yang kecil atau spanduk yang cenderung memanjang. Dengan foto close up, diharap rakyat bisa langsung menatap dan berkenalan dengan wajah yang terpampang di situ: ‘Salam kenal!’ Tak perlu bertemu tatap muka, cukup diwakili baliho, maka pemimpin semacam ini barangkali merasa sudah hadir di tengah rakyat banyak. Melalui baliho, ia bisa hadir bahkan selama 24 jam penuh setiap hari selama berbulan-bulan sepuasnya. Ia juga tak perlu capek-capek ke sana kemari.

Apakah baliho itu efektif sebagai sarana perkenalan dan komunikasi? Hari pertama dipasang sih mungkin orang banyak menengok dan menatap baliho itu, tapi hari-hari berikutnya rakyat mungkin mulai terganggu dengan wajah berukuran besar yang bertebaran di tepi jalan dan di berbagai sudut kota. Melihat ke depan ada wajah baliho, menatap ke belakang sama saja, menengok ke samping kiri eh ketemu lagi, lalu menengok ke kanan ladalah blio lagi. Lama-lama rakyat berpikir, kotaku kok jadi terasa sumpek isinya baliho mulu.

Kepemimpinan yang diwakili baliho sesungguhnya menunjukkan adanya jarak antara kepemimpinan itu dengan yang ingin dipimpin. Mengapa begitu? Pertama, baliho itu menunjukkan bahwa pemimpin itu tidak benar-benar hadir di tengah rakyat. Blio yang wajahnya terpampang di baliho itu mungkin merasa bahwa baliho telah mewakili dirinya, padahal sesungguhnya tidak. Barangkali ia merasa, jika di satu tempat ada baliho berwajah dirinya, berarti ia telah hadir di tempat itu, padahal tidak.

Kedua, di sisi lain, berjejernya baliho sekaligus memperlihatkan ia khawatir rakyat tidak mengenal dirinya. Dengan adanya baliho, ia berharap rakyat dapat mengenal wajahnya—lumayan, kenal wajah, walaupun tetap belum mengenal karakternya, kualitas kepemimpinannya, agendanya bagi rakyat, dan seterusnya. Kehadiran baliho dianggap dapat membuat rakyat selalu ingat kepada dirinya. Mungkin ia membayangkan balihonya seperti iklan komersial berukuran besar yang di dalamnya terpampang wajah tersenyum Maudy Ayunda.

Popularitas pemimpin ini mungkin pelan-pelan terbangun secara virtual melalui banyaknya baliho yang ditebar di banyak tempat di berbagai kota. Rakyat mungkin akhirnya mengenal dirinya, walaupun hanya kenal nama dan wajah. Jika kemudian ia populer dan terpilih dalam suatu pemilihan, maka masa depan Republik diserahkan kepada pemimpin yang lahir dari popularitas yang berakar pada baliho; yang terpilih karena baliho. Padahal, sejatinya, ia tidak mengenal rakyatnya—kehidupannya, kesukarannya, harapannya, cita-citanya. Hidupnya jauh dari kesukaran, sehingga ia tidak pernah mampu merasakan kesukaran hidup rakyat. Begitu pula, rakyat tidak mengenal dirinya.

Meski begitu, tetap saja ada yang merasa senang dengan kehadiran ratusan baliho berpotret wajah itu. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah pencetak baliho...>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler