Bila biasanya turun ke jalan bersama mahasiswa dari kampus-kampus lain, kali ini Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia [BEM UI] melakukan ‘demo virtual’ dengan memajang poster digital di akun media sosial resmi BEM UI. Rupanya, demo virtual ini segera saja viral dan mengundang perhatian masyarakat luas, terlebih dengan julukan yang diberikan BEM UI kepada Presiden Jokowi sebagai ‘King of Lip Service’.
Isi poster digital BEM UI itu mengritik ketidaksinkronan antara ucapan Presiden Jokowi dan tindakannya. Seperti dikutip banyak media massa, dalam akun resmi Twitternya, pengurus BEM UI menulis: ‘Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya.’ BEM UI menyertakan pemberitaan media massa yang memuat, dalam istilah yang dipakai BEM UI, ‘bualan’ Jokowi.
Fadjroel Rachman, jubir Presiden, segera merespon lewat akun medsosnya. Seperti dikutip media, Fadjroel menulis: ‘Segala aktivitas kemahasiswaan di Universitas Indonesia termasuk BEM UI menjadi tanggungjawab Pimpinan Universitas Universitas Indonesia.’ Entah karena cuitan jubir Presiden yang mantan aktivis mahasiswa ini, pimpinan UI pun segera memanggil wakil BEM UI; dan, menurut keterangan pengurus BEM—seperti dikutip media massa, cuitan Fadjroel itu ikut jadi dasar pemanggilan. Pimpinan UI barangkali terinspirasi oleh cuitan Fadjroel, atau nuansa cuitan Fadjroel itu ditafsirkan oleh pimpinan UI sebagai isyarat perintah untuk mengambil tindakan kepada BEM UI.
Meskipun mendapat tekanan di dalam kampus, aksi BEM UI itu mendapat dukungan luas, termasuk dari Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Kritik mereka, seperti yang disuarakan BEM UI, adalah imbauan dan kekuatan moral yang kian langka keluar dari menara gading. Kita memerlukan semakin banyak kritisisme di tengah disrupsi dan disorientasi oligarki politik dinasti nepotis dewasa ini,” ujar Prof. Azyumardi di akun twitternya, sebagaimana dikutip media massa. “Langkah Perguruan Tinggi menertibkan kebebasan kepemimpinan mahasiswa,” kata Prof. Azyumardi, “untuk beraspirasi dan mengritik penguasa jelas tidak pada tempatnya dan kontraproduktif bagi kehidupan hari ini dan masa depan Indonesia yang lebih baik.”
Kelanjutan pemanggilan pengurus BEM UI itu memang masih ditunggu, tapi sebagai pengingat menarik juga untuk mengenang sikap sejumlah rektor yang memimpin perguruan tinggi terkemuka menjelang akhir tahun 1970-an. Rektor Universitas Indonesia waktu itu adalah Prof. Mahar Mardjono, di ITB ada Prof. Iskandar Alisjahbana, di UGM ada Prof. Sukadji Ranuwihardjo. Mereka memimpin kampus-kampus yang tengah diwarnai pergolakan mahasiswa, khususnya pada akhir dekade 1970-an. Bersama kampus-kampus lain, mahasiswa ketiga kampus ini menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto. Demonstrasi mahasiswa pecah di berbagai kota.
Menarik bahwa para rektor itu bersikap layaknya ayah kepada para mahasiswa. Pimpinan perguruan tinggi tidak mau menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk menggebuki mahasiswa, walaupun kemudian mereka tidak kuasa ketika para pimpinan mahasiswa ditangkapi aparat. Prof. Mahar Mardjono bahkan memimpin UI dalam dua pergolakan mahasiswa, tahun 1974 ketika pecah Peristiwa Malari dan tahun 1978 ketika para mahasiswa Indonesia menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto. Mahar dikenal dekat dengan mahasiswa dan melindungi kampus dari tekanan pemerintah waktu itu.
Di ITB pun begitu. Ada satu cerita tentang bagaimana Prof. Iskandar Alisjahbana, Rektor ITB waktu itu, menyikapi aksi mahasiswa ITB yang kerap berkumpul di lapangan basket kampus serta menggelar aksi protes bergaya happening art. Alih-alih melarang dan membubarkan aksi mahasiswa, Prof. Iskandar malah berbaur di barisan belakang mahasiswa. Lain kali, ia terlihat memotret-motret acara happening art mahasiswa. Prof. Is bahkan mendatangi ruangan kerja Pangdam Siliwangi Mayjen Himawan Sutanto untuk mempertanyakan penembakan rumah dinasnya oleh penembak gelap.
Pilihan Prof. Iskandar untuk memberi kebebasan kepada mahasiswanya itu diberi balasan dengan pencopotan dirinya dari jabatan Rektor ITB. Alasan pencopotannya, seperti disampaikan Menteri Pendidikan Syarief Thayeb, Prof. Iskandar dianggap tidak mampu memulihkan kampus ITB yang telah menjadi ‘sarang pemberontak’. Ia kemudian digantikan oleh rektorium yang diketuai Dr. Soedjana Sapi’ie, yang ternyata juga bandel, hingga akhirnya juga dicopot setelah menjabat selama satu tahun.
Sebagai rektor, Prof. Iskandar berusaha keras menjaga kemandirian kampus di tengah tekanan pemerintah serta memberi ruang gerak kepada mahasiswa dan menganggap sikap kritis mahasiswa alamiah belaka sebagai akademisi muda. Sebagai akademisi, ia menghargai kebebasan berpendapat, sebab dengan cara itulah mahasiswa berlatih untuk menjadi—bahasa jargonistiknya—pemimpin masa depan. Meskipun begitu, belum ada jaminan bahwa aktivis di masa sekarang tidak akan berubah menjadi penguasa represif di masa depan, sebagaimana sejarah para aktivis telah menyediakan buktinya. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.