x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 1 Juli 2021 07:11 WIB

Cerpen | Horor di Alas Peteng

Seorang anak bernama Jarot, terpaksa harus mengikuti ajakan temannya untuk bermain petak umpet di Alas Peteng; sebuah hutan yang dikeramatkan oleh warga sekitar dan sangat ditakuti. Konon, hutan itu dihuni oleh sosok kambing hitam yang mereka juluki sebagai Wedus Peteng. Bagaimana dengan nasib Jarot dan teman-temannya? Apakah mereka berhasil keluar dengan selamat dari Alas Peteng?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jangan pernah mendatangi Alas Peteng! Aku adalah yang terakhir dan satu-satunya penyintas di Alas Peteng. Kini aku akan menceritakan kisahku; di dalam sebuah kamar isolasi yang diawasi oleh dinding pucat dan dingin; hanya ditemani oleh sebuah jendela yang dipagari besi. Setiap harinya, aku hanya bisa meratapi diriku yang malang dan dianggap sakit oleh orang-orang sekitarku. Tidak ada yang mempercayaiku; karena tidak masuk akal untuk orang-orang berpikiran dingin dan ilmiah.

Alas Peteng adalah sebuah hutan lebat dan luas - dikelilingi oleh lima desa - yang terletak di bagian tenggara Jawa Timur. Hutan itu dikeramatkan oleh para warga desa setempat selama berabad-abad. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, karena sangat tabu bagi mereka untuk membicarakan latar belakangnya. Perihal yang dapat kuketahui adalah semua warga desa sangat takut dengan tempat itu. Konon, menurut sesepuh desa, Alas Peteng dihuni oleh sosok gaib berwujud kambing hitam yang mereka juluki sebagai Wedus Peteng. Hampir di setiap malamnya sering terdengar suara ganjil yang mirip seperti raungan binatang buas yang mengerikan, menyelimuti kehidupan desa dalam keadaan gelap. Setiap warga mendengar suara tersebut, mereka akan segera menutup pintu dan jendela rumah; mengosongkan jalan-jalan desa, sampai terlihat seperti desa mati. Para orang tua melarang keras anak-anaknya untuk berpergian keluar di malam hari; sekaligus menceritakan cerita mengerikan agar anak-anak menuruti larangannya.

Peristiwa itu terus terjadi; hingga pada suatu saat, suara mengerikan tersebut mendadak berhenti terdengar. Dari hari demi hari, hingga minggu ke minggu telah berlangsung; sampai aku tidak ingat sudah beberapa lama suara tersebut menghilang. Tidak ada yang mengetahui penyebabnya, dan tidak ada yang ingin mencari tahunya. Alhasil, para warga desa mulai melonggarkan kewaspadaan dan ketakutan mereka. Para anak-anak mulai berani bermain di malam hari, sedangkan para orang tua - mungkin sudah melupakan kengerian tersebut - mulai tidak begitu memedulikan anak-anak mereka. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

****

Jarot, itulah orang-orang memanggilku. Aku dulunya adalah salah satu warga di sebuah desa yang terletak di bagian timur Alas Peteng. Sebagai salah satu warga desa yang tinggal di dekat Alas Peteng, sudah tidak asing dengan cerita-cerita mengerikan yang dijual oleh para orang tua; untuk memberi peringatan atau sekedar menakuti. Walakin, seseram-seramnya cerita yang diceritakan oleh mereka, itu tidak pernah seseram dengan tragedi yang telah kualami, sehingga menciptakan trauma yang dramatis.

Tragedi itu telah terjadi beberapa tahun lalu. Mungkin lebih tepatnya lebih dari dua dekade yang lalu. Aku tidak ingat jelas tahun berapa; yang aku ingat hanyalah suasana desa yang masih gelap karena minimnya lampu penerang jalan, jalanan yang masih terbuat dari tanah dan lumpur, belum ada barang elektronik yang canggih, sekaligus banyaknya lahan kosong yang dipenuhi dengan tumbuhan liar.

Tatkala aku masih berusia sembilan tahun, dan masih memiliki gairah yang tinggi untuk bermain bersama teman-temanku; dari sore hari hingga magrib. Bahkan aku masih ingat jelas; sewaktu orang tuaku sedang bermain kucing-kucingan denganku, saat selepas magrib. Namun, kini aku sadar, betapa indahnya kenangan itu dan tidak akan pernah bisa terulang kembali.

Suatu hari, salah satu temanku bernama Gatot datang menghampiriku yang sedang bermain kelereng bersama teman-temanku lainnya, di salah satu saung di pinggir sawah.

"Hari ini kita main petak umpet yuk!" ujar Gatot dengan semangat.

"Wah asik itu!"

"Boleh! Boleh!"

Banyak teman-temanku yang menyambut ajakan tersebut dengan penuh antusias.

"Mau main di mana?" tanya salah seorang temanku.

"Di kebun milik Pak Lurah saja!" jawab dari salah seorang temanku lainnya.

"Tidak! Kita akan bermain di Alas Peteng!" jawab Gatot dengan tegas.

Semua temanku terdiam saat mendengar jawaban itu dan menatap Gatot dengan pucat. Aku tidak tahu; apa yang telah merasuki pikiran Gatot, sehingga dia bisa mendapatkan ide gila itu?

"Kamu tidak salah? Itu tempat terlarang!" ujarku memperingati Gatot. "Kamu tidak ingat dengan suara seram yang keluar dari tempat itu?"

"Ah kamu itu! Suara itu sudah lama hilang! Mungkin sudah ada sebulan. Barangkali dia sudah pergi!" jawab Gatot dengan nada tinggi. 

"Lagipula, bermain di tempat itu lebih seru dan menantang!"

Mendengar penjelasan itu, banyak dari teman-temanku yang mulai setuju dengan usul Gatot. Seolah-olah mereka telah mendapatkan ilham.

"Tapi orang tua kita telah melarang untuk datang ke tempat itu!" ujarku.

"Ah sudah! Kalau kamu takut, tidak usah ikut bermain denganku! Cuman sama suara saja kamu sudah takut! Dasar pengecut! Aku tidak mau punya teman pengecut!" gertak Gatot dan diikuti dengan ejekan para temanku.

Akhirnya, aku terpaksa mengikuti kemauan Gatot, karena dia salah satu teman dekatku dan aku tidak mau kehilangannya. Selain itu, aku juga tidak ingin dianggap pengecut oleh teman-temanku.

Gatot sendiri adalah seorang anak yang memiliki tubuh besar, serta anak tunggal dari seorang juragan jamu yang terkenal di desaku. Kehidupannya sebagai anak tunggal dari keluarga berada, telah membuatnya memiliki perilaku yang arogan dan manja, serta mudah marah jika keinginannya tidak dipenuhi. Walakin, dia adalah orang yang suka berbagi dengan teman-temannya; meskipun itu telah membuat mereka kecanduan dan - secara tidak langsung - menjadi anak buahnya, sekaligus menjadikan Gatot sangat berkuasa. Alhasil, apabila aku tidak menuruti kemauan Gatot, maka aku akan - dengan mudah - kehilangan semua temanku.

Arkian, kami bergegas menuju Alas Peteng. Saat itu, orang yang mengikuti permainan ini berjumlah lima orang, termasuk aku dan Gatot. Mereka - selain aku dan Gatot - bernama Tukul, Pumo, dan Yoda. Mereka berjalan menuju Alas Peteng dengan penuh antusias, sekaligus mengiringi perjalanan mereka dengan nyanyian dan canda gurau. Meskipun begitu, hatiku telah dipenuhi oleh keraguan dan kewaskitaan, sehingga aku satu-satunya orang yang terlihat gelisah.

Setibanya kami di tepi Alas Peteng; aku mendapati sebuah hutan yang lebat dan ditumbuhi oleh pepohonan besar dan menjulang tinggi ke langit, sehingga menciptakan sebuah atmosfer horor. Ditambah dengan hari yang mulai memasuki magrib, sehingga matahari ngantuk telah membuat hutan tersebut menjadi semakin gelap. Alhasil, pemandangan itu aku telah membuatku bergidik ngeri.

"Gatot, kita ganti tempat main aja yuk." ujarku.

"Tidak! Kita tetap bermain di tempat ini! Kalau kamu tidak suka, silakan pergi!" jawab Gatot dengan ketus.

Teman-temanku yang lain hanya terdiam menatap kami berdua, seakan mereka tidak tahu harus merespon apa. Akhirnya kami terpaksa menuruti kemauan Gatot. 

****

Selang beberapa waktu kemudian, kami telah memasuki Alas Peteng; menelusuri tempat tersebut untuk mencari titik yang bagus untuk memulai permainan. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan lingkungan di sekitarku. Terlalu banyak pepohonan rindang dengan batang yang besar dan berwarna gelap. Jalannya terdiri dari berbagai macam bebatuan besar dan akar-akar pohon yang menjulur dari tanah, sehingga tidak merata; belum dengan tanah yang lembap, sehingga membuat jalan terasa licin. Ditambah dengan dedaunan dari pohon-pohon besar yang lebat, sehingga menghalangi cahaya matahari yang mulai terbenam, sekaligus menciptakan kegelapan yang mencekam.

Aku tidak tahu kemana Gatot akan membawa kami; aku juga tidak tahu sudah seberapa dalam kami memasuki Alas Peteng. Tidak ada yang berani bertanya dengan Gatot, karena itu hanya membuatnya tersinggung dan marah. Alhasil, kami semua memilih untuk diam dan menjaga perasaan, agar tidak menimbulkan keributan atau perkelahian. Meskipun begitu, perihal ganjilnya, aku tidak melihat adanya rasa takut di wajah Gatot. Dia terlihat sangat antusias; sangat kontras dengan para temanku yang sedang menahan rasa takut dan tidak berani melihat sekitar. Bahkan aku melihat tubuh Yoda yang bergetar. Alhasil, aku menjadi bertanya-tanya; mengapa Gatot bersikeras bermain petak umpat di tempat terlarang ini, serta apa yang memotivasinya? Bagaimana dia bisa tenang dalam situasi yang mengerikan ini? Apa yang sedang dia cari di Alas Peteng? Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang berani mencari tahu. Bahkan pikiranku mulai membayangkan kedua orang tuaku yang sedang mencariku dengan wajah yang masam. Kini aku mulai menyesal karena mengikuti kemauan Gatot.

"Ini akan jadi titik permainan kita!" ujar Gatot secara tiba-tiba, sehingga mengejutkan kami semua.

Gatot telah memilih sebuah titik permainan; di depan sebuah batu besar yang berbentuk seperti batu prasasti yang telah ditumbuhi oleh lumut dan tumbuhan merambat. Sedangkan di sekitarnya; dikelilingi oleh pepohonan besar dan tinggi - memiliki bentuk yang aneh dan mengerikan - seperti raksasa yang sedang menjaga batu tersebut. Aku tidak dapat mendeskripsikan lebih detail, karena keadaan sudah semakin gelap dan menghalangi jarak pandangku. Yang aku tahu bahwa kami telah memasuki Alas Peteng terlalu dalam.

Lantas kami semua langsung melempar undian untuk memilih siapa yang akan jaga. Namun nahasnya, undian jatuh ke tanganku. Arkian, aku langsung menutup kedua mataku dan berdiri mencium batu besar, sambil menghitung mundur untuk memulai permainan. Sedangkan teman-temanku mulai berlari mencari tempat persembunyian mereka masing-masing. Setelah aku selesai menghitung mundur; aku langsung melihat sekelilingku dan mencari para temanku. Tetapi yang aku lihat hanyalah kegelapan bersama pepohonan yang terlihat seperti bayangan hitam jangkung yang mengintimidasi.

Pada awalnya, aku masih dapat mengendalikan diriku, serta masih memiliki nyali untuk menelusuri setiap tempat untuk mencari keberadaan teman-temanku. Tetapi, setelah beberapa waktu telah berlalu, dan aku masih belum menemukan mereka semua; aku telah kehilangan keberanianku dan memilih untuk menggunakan cara - bagi Gatot - pengecut, yaitu berteriak memanggil teman-temanku. Tetapi tidak ada yang membalas panggilanku.

Pikiranku semakin kacau. Ditambah dengan keadaan lingkungan yang gelap, pepohonan besar dan tinggi, sekaligus jalan yang tidak rata dan licin; telah membuatku semakin sulit untuk berpikir jernih. Lebih-lebih aku mulai merasa ada yang mengawasi pergerakanku dari dalam kegelapan, seperti ada kejahatan yang sedang memburuku. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku dapat merasakan bahwa aku sedang tidak sendirian. Walhasil, itu telah membuatku semakin kehilangan ketenanganku dan mulai berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Lagi-lagi tidak ada balasan, sehingga membuatku semakin putus asa.

Akal sehatku sudah tercemar oleh kegelapan dan ketakutan; sampai-sampai aku berpikir bahwa mereka telah meninggalkanku seorang diri di tempat ini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencari jalan keluar, sembari berdoa agar tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Aku terus melangkah maju; tanpa mengetahui arah tujuanku. Kepala dan pandangku serasa sedang diputar-putar, sehingga aku berjalan di dalam sebuah labirin kegelapan yang tak berujung.

Seketika, aku mendengar suara jeritan teman-temanku, yang diikuti oleh suara raungan binatang buas yang ganjil dan mengerikan. Mendengar suara tersebut, hatiku mulai bercampur aduk; antara bahagia karena mendengar suara temanku, tapi juga rasa takut yang sangat menyengat. Lantas aku langsung bergegas lari; berharap aku bisa menyelamatkan diriku, atau - kalau memungkinkan - aku dapat menyelamatkan para temanku; meskipun aku tidak tahu arah tujuanku berlari, karena semua pandanganku telah terganggu oleh kegelapan yang menyesatkan. Sampai pada akhirnya aku terjatuh, akibat tersandung sebuah batang pohon yang lunak dan belecak; tapi setelah kulihat dengan jelas, benda itu adalah sebuah potongan kaki manusia, dengan darah segar yang masih mengalir keluar, sehingga memberi kesan masih baru. Aku hanya bisa melihatnya dengan tubuh yang membeku. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara dengkuran binatang dengan diiringi oleh suara patahan tulang. Suara itu terdengar jelas, seperti datang dari arah depanku. Alhasil, aku bergidik ngeri; sekujur tubuhku mulai dibasahi oleh peluh dingin, sembari menggeligis ketakutan. Keadaan semakin memburuk, setelah mataku berhasil menangkap - secara samar - sebuah bayangan hitam besar yang bergerak di dalam kegelapan. Sosok itu berada di depanku, dengan jarak kurang lebih 30 meter dari tempatku berada. Perkiraanku, makhluk itu memiliki besar seperti gajah; tapi aku masih kurang yakin dengan bentuk detailnya.

Arkian, aku mulai menyadari bahwa makhluk itu sedang mengunyah sesuatu. Seperti sebuah rumput; tidak, bukan rumput; tapi sebuah daging. Apakah dia sedang memakan daging binatang? Tapi aku tidak melihat adanya binatang yang berlalu lalang di tempat ini. Setelah kuperjelas lagi; itu adalah daging manusia! Lebih tepatnya, daging anak kecil seusiaku. Seketika nafasku menjadi sesak, serta rasa sakit di dadaku mulai menusuk; sedangkan mataku terbelalak lebar menatap sosok itu. Keadaan semakin mengerikan; sewaktu aku menyadari bahwa manusia yang sedang dimakan makhluk itu mengenakan sebuah kaos yang telah ternodai oleh darah, dan dari kaos itulah aku dapat mengenalinya, bahwa dia adalah temanku Yoda.

Tidak lama kemudian, aku mulai melihat dua sosok makhluk lainnya; berada tidak jauh dari sosok yang pertama kulihat. Mereka juga sedang mengunyah daging manusia yang ternyata itu adalah tubuh dari teman-temanku. Aku menatapnya - sembari bersembunyi di balik pohon - dengan menahan tangis kengerian. Aku berusaha menguatkan diriku untuk bangkit dan pergi; tapi melihat darah dan sisa potongan daging yang berceceran dimana-mana, telah melumpuhkan persendianku hingga menyatu ke tanah. Bahkan rasa pusing, mual, dan sakit mulai menyiksaku selama menyaksikan pertunjukan horor tersebut.

"Jaroott! Toloooonggg!"

Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan dari arah kiriku; berjarak sekitar - kurang lebih - 10 meter dari tempatku berada. Saat aku menoleh ke arah datangnya suara jeritan tersebut; aku mendapati Gatot yang separuh tubuhnya sedang dikunyah oleh makhluk itu. Dia meronta-ronta seperti seekor kera yang tak berdaya, atau seekor anjing sekarat yang sedang menunggu ajalnya.

Aku melihat wajah Gatot; dia meratap pertolongan kepadaku, dengan wajah yang rusak, berlumuran darah, dan memelas ketakutan. Aku belum sempat mengucapkan sepatah kata-pun kepadanya; tapi makhluk itu langsung menyeret sisa tubuh Gatot ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya hidup-hidup. Aku hanya bisa menyaksikan dengan penuh kengerian; bagaimana makhluk itu mengunyah tubuh Gatot, serta meratakan tulang-tulangnya; sekaligus menyisakan darah, sedikit gumpalan daging, dan potongan tubuh kecil yang keluar dari mulutnya.

Saat itu juga, aku dapat menangkap wujud makhluk itu lebih jelas daripada sebelumnya. Demi Tuhan; aku tidak tahu makhluk macam apa itu! Dia seperti seekor kambing hitam raksasa, dengan wujud seperti lukisan surealisme yang mengerikan. Tubuhnya dipenuhi oleh seribu kepala kuda hitam dan tanduk panjang seperti tentakel yang - secara sekilas - menyerupai batang pohon. Mereka memiliki warna kulit yang gelap, sehingga dapat menyaru dengan lingkungan sekitar, terutama pohon. Semua mata yang di tubuh mereka sangat menyeramkan, bagaikan sebuah mata iblis jahanam yang membawa pesan terkutuk bagi siapa saja yang melihatnya. Dia memiliki empat kaki besar - sekilas mirip dengan akar pohon - dengan bentuk seperti kaki kambing yang berukuran besar. Saat itu jugalah aku mulai sadar, bahwa makhluk itu adalah si kambing hitam penghuni hutan Alas Peteng yang sering diceritakan oleh sesepuh desa; makhluk itu adalah Wedus Peteng.

Aku menyaksikan makhluk itu dengan penuh ketakutan yang telah melewati batas keseimbangan mentalku. Tubuhku mulai lumpuh dan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku ingin berlari, tapi persendianku seperti telah hancur. Aku tidak bisa berkutip apa-apa, selain meratap ketakutan; hingga aku secara tidak sadar telah membasahi celanaku. Arkian, Wedus Peteng - yang baru saja menelan tubuh Gatot - mulai menyadari kehadiranku. Lantas dia mulai mendengkur seperti kambing dan meraung seperti predator, kalakian berlari ke arahku. Oh Tuhan! Dia mulai mendekatiku! Aku harus pergi! Terkutuklah tubuh sialan ini, yang lemas dan tak berdaya! Aku paksakan tubuhku untuk berlari. Namun nahas, makhluk itu berhasil tiba di tempatku berada dan menangkap kakiku dengan salah satu tentakelnya. Kemudian dia menarikku ke udara, membuat tubuhku tergantung terbalik, lalu membawaku ke hadapannya. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa memohon perlindungan Tuhan. Saat itulah aku berhadapan langsung dengan makhluk mengerikan dengan jarak dekat. Aku tidak dapat mengenali wajah dari makhluk itu, karena bentuknya yang niskala; hanya dapat kuketahui melalui sebuah mulut yang paling besar daripada mulut-mulut lainnya, dengan sebuah hidung kambing di bagian atas mulutnya, serta beberapa pasang mata besar berwarna merah api yang mengerikan. Menatap matanya dalam kurang dari satu menit, sudah terasa seperti satu jam yang penuh dengan penderitaan dan penyiksaan. Kemudian Wedus Peteng itu mulai mengendus tubuhku, seperti sedang mencium aroma makanan sebelum menyantapnya. Aku hanya bisa menangis bayi dan berdoa untuk nyawaku yang ada di ujung tanduk.

Arkian, Wedus Peteng terlihat tidak tertarik dengan aroma badanku. Aku tidak mengerti mengapa. Lalu dia mendekati matanya yang besar dan merah itu ke hadapanku. Di saat itulah, tatapan kami saling bertemu dan kepalaku terasa panas seperti sedang dibakar, diikuti dengan rasa pusing yang menyakitkan. Kalakian, aku merasa seperti tubuhku sedang dihisap ke dalam matanya. Setelah itu aku mulai melihat panorama menyeramkan, seperti sebuah neraka dari dimensi lain. Terlihat sebuah bangkai bumi yang telah menjadi kuburan alam semesta, meninggalkan puing-puing bangunan yang diselimuti oleh cahaya ganjil yang menyakitkan. Di sana juga terdapat berbagai macam perbudakan manusia oleh makhluk-makhluk aneh yang kuduga bukan berasal dari bumi ini; para manusia itu telah disiksa, diperkosa, dan disantap oleh para makhluk itu. Di sana aku telah melihat; para makhluk itu mulai menari aneh seperti kera; mengelilingi sebuah batu persembahan yang dipenuhi oleh mayat manusia yang tidak utuh, serta didesain menyerupai sebuah sesajen yang menyeramkan. Kemudian beberapa makhluk lainnya mulai meniupkan seruling dari pipa tulang menjijikan dan melemparkan nyanyian dengan bahasa yang sulit dimengerti. Kalakian, dari langit di atas batu persembahan itulah, muncul sesosok raksasa yang memiliki rupa abstrak dan tidak menentu, sehingga sangat sulit dideskripsikan dengan kata dan akal sehat; sebuah wujud yang tidak pernah kujumpai di bumi ini. Aku hanya bisa menatap raksasa itu dengan ketakutan yang luar biasa, dan menjerit ngeri tak keruan. Lalu, raksasa itu mulai memuntahkan sebuah cahaya dahsyat dengan warna-warna aneh, sehingga membakar seluruh area di sekelilingku; termasuk tubuhku dan melemparnya keluar ke dalam kegelapan yang hening dan dingin.

Setelah aku berhasil kembali ke dunia nyataku; kedua orang tuaku bersama dengan sesepuh desa dan para warga lainnya - yang sedang pawai mencari keberadaanku dan para temanku - telah mendapatiku sedang berjongkok dengan wajah pucat, sembari mengigau kesetanan dengan tubuh berlumuran darah di tepi Alas Peteng. Wedus Peteng telah membiarkanku hidup, untuk bersaksi atas eksistensinya yang nyata. Akan tetapi, terdapat harga mahal yang harus kubayar; di mana kewarasanku telah mati, dan menyisakan sebuah tubuh yang penuh luka psikis yang tidak bisa dipulihkan kembali.

Para orang tua dari teman-temanku yang tidak terima dengan hilangnya anak mereka. Lantas mereka melampiaskan kekecewaannya kepadaku, dengan menuduhku yang telah melakukan hal mengerikan terhadap semua temanku di Alas Peteng. Tuduhan itu semakin diperkuat dengan adanya darah yang - bukan milikku - berlumuran di sekujur tubuhku, sekaligus aku telah menjadi satu-satunya orang yang selamat. Akan tetapi, kedua orang tuaku bersama beberapa warga lainnya, berusaha menenangkan mereka dan membelaku.

Berbagai macam penyembuhan telah dilalui oleh kedua orang tuaku. Dari memanggil orang pintar, hingga memanggil pemuka agama. Sampai mengadakan upacara adat setempat, hingga memberi sesajen dan pengorbanan hewan ternak telah dilakukan. Tetapi semuanya tidak ada yang membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu telah berlalu; kedua orang tuaku akhirnya memutuskan untuk pergi ke kota dan menetap disana. Mereka telah menyerah untuk mengobatiku, sehingga memutuskan untuk mengurungku di sebuah rumah sakit jiwa; tempat aku menghabiskan sisa hidupku, dengan mengigau dan berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Para dokter telah membatasi komunikasiku dengan orang-orang sekitar. Kini aku harus terisolasi di dalam ruangan; di mana setiap harinya aku terus dihantui oleh bayangan hitam mengerikan. Dia tidak pernah membiarkanku tidur dan menyiksaku setiap waktu; meraung dan mendengkur dengan nada yang horor, serta diiringi oleh rentetan jerit pilu para temanku yang tidak selamat. Tatapan terkutuk itu; aku tidak pernah bisa melupakannya! Aku tidak akan pernah bisa melupakan si kambing hitam penghuni Alas Peteng; Wedus Peteng! 

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB