x

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Selasa, 17 Agustus 2021 13:26 WIB

Aroma Pilpres 2024

Kita tentu berharap akan mendapatkan pemimpin terbaik pada 2024 nanti. Tapi, juga perlu menyiapkan diri untuk mendapatkan pemimpin dengan kualitas medioker saja. Karena itu, pekerjaan rumah kita yang utama adalah penguatan kelembagaan demokrasi. Kita perlu, umpamanya, memastikan check and balances berjalan, demokratisasi internal di parpol terlembagakan dan juga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN, KIPP Daerah kabupaten Pasaman

Pemilihan presiden (pilpres) baru akan dihelat serentak dengan pemilihan umum legislatif pada 28 Februari 2024. Artinya, masih sekitar tiga tahun lagi pergelaran demokrasi itu berlangsung, tetapi ia sudah mengerat energi. Fokus bangsa yang semestinya tercurah pada penanganan pandemi covid-19 pun mau tak mau terbelah. Aroma pilpres mulai menguat, baik di jagat media sosial maupun di dunia nyata. Di medsos, rivalitas antarmasyarakat mulai terasa seiring dengan munculnya figur-figur calon presiden. Pendukung tokoh yang satu terlibat perseteruan sengit dengan suporter tokoh yang lain.

Padahal, kepastian siapa yang bakal menjadi capres masih jauh, sangat jauh. Di dunia nyata, aroma pilpres juga mulai terasa. Ia tak hanya ditunjukkan oleh sekelompok relawan yang terang-terangan membentuk gerakan untuk mendukung tokoh tertentu, tapi juga diperlihatkan beberapa pejabat dan kepala daerah yang dinilai potensial menjadi capres. Tentu, mereka tidak bermanuver secara terang-terangan. Mereka bergerak samar-samar. Tidak cuma melalui beragam kegiatan politik dengan insan politik, mereka juga tebar pesona di dunia maya. Salahkah tindakan mereka? Tentu tidak. Berpolitik ialah hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang. Memberikan dukungan politik seperti yang dilakukan pendukung sama benarnya dengan upaya calon mencari dukungan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelirukah tindakan mereka? Yang pasti tak elok, juga tidak tepat. Orang bijak biasa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Saat ini negara masih supersibuk berperang melawan wabah korona yang butuh 1.000% tenaga dan pikiran. Karena itu, tidaklah bijak jika kita sudah sibuk mengurusi pilpres. Lebih tidak bijak lagi jika perilaku itu dilakukan oleh pejabat publik, termasuk kepala daerah. Energi mereka seluruhnya dibutuhkan masyarakat untuk menangani pandemi. Ia tidak boleh dibagi-bagi, apalagi demi hasrat pribadi untuk terjun ke pilpres nanti. Kita wajib mengingatkan bahwa ekspansi korona masih mengerikan. Ada sinyal kuat bahwa penularan yang sempat melandai akan terus meninggi.

Kekhawatiran bahwa wabah korona bakal menggila lagi pascalibur Lebaran pun semakin nyata. Di sejumlah daerah di Jawa Tengah, terutama di Kudus, kasus positif covid-19 kian tak terkendali. Ketersediaan tempat tidur di tujuh rumah sakit di sana semakin menipis, nyaris penuh. Dikhawatirkan, daerah-daerah sekitar Kudus akan mengalami hal serupa jika tidak ada upaya luar biasa untuk mencegahnya. Situasi itu jelas tak bisa dihadapi dengan separo energi. Kejadian ini ialah penegasan bahwa kepala daerah minim antisipasi.

Bukankah sudah jauh-jauh hari ada peringatan bahwa libur Lebaran akan mendongkrak penularan covid-19? Kecepatan dan kesigapan perlu pula dipertanyakan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun semestinya turun tangan tanpa perlu menunggu permintaan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk membantu Kudus. Bukankah sudah beberapa pekan pandemi mencengkeram Kudus? Tidak hanya di Jawa Tengah, situasi di Jawa Barat dan DKI Jakarta juga pantang dihadapi dengan tiga perempat, setengah, apalagi seperempat kemauan dan kemampuan. Ketiga daerah belakangan konsisten masuk tiga besar sebagai penyumbang terbesar kasus positif covid-19. Mengatasi pandemi dengan energi maksimal saja belum tentu dapat membuahkan hasil optimal dalam waktu cepat, apalagi jika energi itu dibelah-belah. Kepada para pejabat dan kepala daerah, tahan dulu ambisi dan kepentingan pribadi apa pun. Curahkan sepenuhnya segenap daya dan upaya untuk membebaskan rakyat dari penderitaan akibat korona.

Di satu sisi, pemunculan nama-nama ketua umum (ketum) parpol itu merupakan hal lumrah. Normatifnya, setiap parpol niscaya memajukan kader terbaiknya. Dan, asumsi yang digunakan: posisi ketum adalah penghargaan yang diberikan kepada kader terbaik partai.

Kecenderungan seperti ini lebih terasa lagi terjadi di parpol yang bertipe partai figur. Pemunculan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Prabowo Subianto, contohnya. Partai Demokrat dan Partai Gerindra merupakan contoh partai figur yang personal, personalistik dan juga personalis.

Partai personal adalah partai yang bertumpu pada karisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik (Calisse, 2015). Mirip dengan itu, partai personalistik adalah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya (Gunther dan Diamond, 2003). Partai personalis adalah yang ditandai pemusatan pada pemimpin partai, sekaligus dengan kapasitas organisasi kepartaian yang minimum atau dilemahkan (Kostadinova dan Levitt, 2014).

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu