x

Citra Satelit persebaran perumahan di sebagian kelurahan Bencongan

Iklan

Akmal Hafiudzan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Agustus 2021

Senin, 23 Agustus 2021 11:09 WIB

Mahasiswa UGM Meneliti Permasalahan Perumahan di Pinggiran Jakarta

Artikel ini membahas tentang hasil penelitian mahasiswa UGM bertema segregasi spasial di kawasan kota besar, khususnya Jabodetabek

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Permukiman yang asri, aman, dan nyaman, serta dilengkapi dengan beragam fasilitas publik yang memadai, tentu menjadi salah satu standar utama bagi masyarakat dalam memilih hunian. Namun impian ini, sepertinya sulit untuk diwujudkan di luar kertas. Sumpeknya kehidupan perkotaan di kawasan metropolitan di Indonesia, salah satunya Jakarta, membuat masyarakat harus memutar otak dalam mencari tempat tinggal yang layak huni. Jakarta masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah demi menjadi kota yang layak huni seperti penanganan terhadap banjir, polusi, kepadatan penduduk, fasilitas publik, keamanan, transportasi, dan lain sebagainya. Situasi ini berbanding terbalik dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan hunian yang layak di Jakarta setiap tahunnya.

Tuntutan masyarakat akan hunian yang layak dan aman, mendorong developer berlomba-lomba dalam mendirikan perumahan. Perkembangan pembangunan perumahan di Jakarta tidak hanya terjadi di dalam kota ini saja, melainkan merambat ke wilayah satelit Jakarta, salah satunya adalah Tangerang. Tangerang turut merasakan arus pembangunan perumahan, dikarenakan Jakarta sudah terlalu padat dan mahal untuk didirikan hunian.

Jargon ‘hunian yang aman dan nyaman’ menjadi standar umum bagi beragam iklan perumahan yang ada di beberapa sisi jalan arteri di Tangerang. Jargon ini tak sekadar kata, jika anda berada dalam lingkungan perumahan berpagar, terutama kawasan elit yang memiliki petugas kebersihan harian. Namun perspektif yang berbeda direfleksikan oleh komunitas diluar pagar. Cerita suasana pemukiman yang asri hanyalah sebatas cerita masa kecil warga lokal di warung kopi. Yang tersisa hanyalah problematika khas mayoritas kota-kota besar Indonesia: pemukiman padat penduduk, kemacetan, polusi, lingkungan yang gersang, dan sebagainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika demikian, apakah masyarakat diluar pagar tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mempunyai hunian yang layak, aman, dan asri? Apakah hidup yang diimpikan hanya dapat terjadi didalam ruang lingkup berbatas fisik?

Berangkat dari keresahan akan kompleksnya ketimpangan sosial yang terjadi seiring berkembangnya hunian berpagar, seorang mahasiswa UGM bernama Akmal Hafiudzan (Kartografi dan Penginderaan Jauh 2019) tertarik  mengangkat permasalahan komunitas berpagar, terkhusus di wilayah satelit Jakarta, yakni kelurahan Bencongan di Tangerang.

Keresahan tersebut muncul saat ia mengobrol dengan beberapa teman yang berasal dari Jabodetabek, dimana ia sering mendapati penggunaan istilah "perum", "kampung", "gang", "kluster", dan "perumahan mewah" sebagai patokan wilayah lokal. Penggunaan istilah ini dimaknai sebagai bentuk pemisahan, dimana masyarakat mulai mengidentifikasi dirinya secara terpisah dalam batas hunian tertentu. Disaat pandemi merebak, terdapat beragam pendapat yang disampaikan oleh masyarakat dengan tipe hunian yang berbeda di kelurahan Bencongan.

Sebagai warga lokal kelurahan Bencongan, Akmal menemukan tendensi dari lingkungan perumahan kluster untuk menutup diri terhadap penyebaran virus Covid-19. Mereka juga bersikap acuh tak acuh di lingkungan perkampungan padat yang dikenal sebagai "kampung kota". 

Wawancara mendalam dengan narasumber RW 03

Bersama Moch. Alief Rizky (Ilmu Sejarah 2018) dan Ruben Bima Karia Sianturi (Hubungan Internasional 2019) serta dibimbing oleh Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih, M. Si. selaku Professor 'Urban Sprawl' Fakultas Geografi UGM, Akmal Hafiudzan (Kartografi dan Penginderaan Jauh 2019) turut mengajukan tema PKM bidang Riset Sosial Humaniora untuk menelusuri lebih lanjut hubungan antara ketimpangan perekonomian dalam mendorong perkembangan kebutuhan hunian berpagar yang terwujud dalam segregasi spasial, dan bagaimana hal ini dapat berdampak dalam berbagai permasalahan sosial urban seperti stigma, friksi, atau bahkan konflik.

Setelah melakukan review literatur terkait dan observasi lapangan, wawancara kemudian dilakukan terhadap warga lokal dengan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai basis evaluasi bagi perencanaan kota di Indonesia. Selain itu juga bisa jadi bahan pertimbangan pemerintah daerah setempat untuk lebih fokus terhadap pemenuhan kebutuhan hunian yang layak. Perhatian khusus bisa diarahkan ke komunitas non-pagar kelurahan Bencongan, demi mencegah maupun meminimalisir potensi permasalahan sosial-urban di kelurahan Bencongan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemui adanya perbedaan perspektif yang berkembang antara warga di masing-masing jenis perumahan dan di luar permukiman. Jenis perumahan kluster pada wilayah kajian terbagi menjadi tiga jenis, yaitu komunitas tunggal, komunitas jamak, dan ‘Kota Mandiri’, namun sebagian besar memiliki ruang terbuka hijau yang besar dan kepadatan penduduk yang kecil.

Warga di perumahan kluster yang sebagian besar pernah tinggal di wilayah Perumnas beranggapan bahwa pemisahan perumahan dengan lingkungan luar bertujuan untuk menjaga keamanan dan menghindari prasangka buruk warga sekitar akan perbedaan kelas sosial. Upaya pendekatan yang dilakukan untuk terhubung dengan warga sekitar dilakukan dengan membangun dan menghidupkan pusat keagamaan dengan cukup layak sehingga dapat menghilangkan rasa keterpisahan satu sama lain. Meskipun begitu, adanya kesalahpahaman dengan warga ‘kampung kota’ dapat meruncing ke dalam konflik sebagaimana yang pernah terjadi antara warga Kampung Sabi RW 02 dengan suatu komunitas berpagar di dalamnya.

Pandemi Covid-19 semakin mengekspos ketiga komunitas perumahan tersebut terhadap ketimpangan sosial yang kompleks. Warga di komunitas berpagar menerapkan protokol kesehatan cukup ketat disertai pembatasan interaksi dengan warga luar komunitas berpagar atau RW lain. Hal serupa juga terjadi di wilayah perumahan nasional (perumnas) meskipun hanya berlaku pada tingkat RT tertentu dan memanfaatkan sistem portal sehingga masih memungkinkan adanya interaksi dengan warga luar.

Situasi ini kontras dengan lingkungan perkampungan yang tidak memiliki sistem penyekatan/portal serta kesadaran berprotokol kesehatan yang rendah. Akibatnya timbul stigma negatif terhadap masyarakat kampung kota. Selain dituduh sebagai 'sarang maling' akibat wilayahnya yang berlika-liku dan padat, masyarakat kampung kota juga dianggap sebagai titik rawan penyebaran Covid-19 yang tentu dapat mempertajam sentimen penghuni antar komunitas.

Melalui rangkuman situasi kontemporer antar komunitas perumahan kelurahan Bencongan, tentu kehadiran pemerintah menjadi penting. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator dalam memediasi friksi dan konflik melalui intensifikasi komunikasi antar komunitas maupun sebagai regulator dalam menerapkan regulasi yang mampu memberikan kesetaraan bagi setiap penghuni antar komunitas.

Hasil observasi lapangan tiga jenis perumahan di kelurahan Bencongan

Ikuti tulisan menarik Akmal Hafiudzan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB