x

Ilustrasi pembatasan kebebasan berpendapat yang turut jadi faktor pemnghambat laju ekonomi Indonesia. Sumber foto: Vice/Hennessy via https://www.matamatapolitik.com\xd

Iklan

Sri Kandhi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2020

Jumat, 8 Oktober 2021 12:51 WIB

Jurang Kesenjangan antara Pejabat dengan Warga Itu Nyata Adanya

Banyak survei yang menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan antara masyarakat dengan para petinggi negara. Warga juga takut untuk mengeluarkan pendapat karena merasa bakal dipidana. Kesenjangan pejabat dan warga biasa ini bisa saja menjadi salah satu faktor penghambat laju perekenomian Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada April lalu terjadi kehebohan, karena sejumlah pengusaha lokal dizalimi oleh lembaga BUMN terkait keterlambatan pembayaran jasa. Sebelum akhirnya viral di dunia maya, pengusaha-pengusaha ini enggan bersuara. “Takut tidak mendapat pekerjaan lagi,” begitu alasannya.

“Takutnya” para rakyat kecil bersuara ternyata bukan tanpa alasan. Hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia di tahun 2020 lalu menarik perhatian. Ditemukan fakta bahwa sekitar 47.7% responden makin takut menyampaikan uneg-unegnya. Sedangkan 57.7% lainnya sepakat alasan masyarakat takut berpendapat karena takut ditangkap aparat secara semena-mena. Terlebih jika pendapat atau kritik dilontarkan untuk pemerintah. 

Tidak hanya survei Indikator Politik Indonesia, penelitian juga pernah dilakukan Litbang Kompas bersama Komnas HAM untuk mengetahui bagaimana masyarakat memandang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hasilnya, 26% dari 1.200 orang takut menyatakan kritik kepada pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di era Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tepatnya pada peringatan 1 tahun sejak menjabat, Litbang Kompas juga mengungkapkan melalui jajak pendapat. Temuannya, sebanyak 33,5% persen warga menyatakan masih terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat. menurut mereka ini merupakan permasalahan di bidang politik yang harus segera diatasi. 

Bayang-bayang akan diawasi oleh tukang bakso “ber walkie- talkie” lalu dijemput oleh mobil hitam mengantui warga ketika mereka akan menyampaikan pendapat tentang aparat dan para elite Pemerintah Indonesia. Mengapa bisa timbul ketakutan seperti itu? Karena rakyat kecil sudah melihat sendiri betapa bedanya perlakuan hukum ke rakyat biasa dan pejabat--bahkan yang jelas-jelas berkorupsi. Mereka tahu, tidak akan pernah menang.

Contoh, kasus pencurian sandal jepit kepunyaan anggota Brimob Polda Sulteng yang membuat seorang pelajar SMK di Sulawesi Tengah terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara. Ancaman hukuman itu jauh lebih besar ketimbang hukuman untuk koruptor yang berdasarkan, data Indonesia Corruption Watch (ICW), hanya di bawah dua tahun.

Keadaan seperti ini salah. Seharusnya semua orang sama derajatnya di mata hukum. Tidak ada kisahnya pejabat harus lebih dihormati rakyat kecil.

Indonesia sudah jelas-jelas menjunjung kebebasan berpendapat yang tertuang di UUD 1945 Pasal 28 E dan F serta di Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam pasal 14, 23, 24, dan 25.

Jika pejabat di negara inti anti-kritik dan merasa paling berkuasa, maka hakikatnya Tanah Air tidak akan maju kemana-mana. Aspirasi-aspirasi hingga keluhan dari masyarakat perlu didengar jika terus menggaungkan bahwa segala yang dilakukan pejabat untuk kesejahteraan rakyat.

Termasuk ke rakyat yang ingin memulai usaha, belum apa-apa mereka sudah dipersulit dalam mengakses pelayanan publik untuk segala kegiatan berbisnis termasuk pengurusan izin usaha.  Ombudsman RI pernah mengungkapkan alasan banyak pengusaha yang tidak melaporkan hal ini karena jika melapor malah menambah permasalahan lainnya. 

Padahal pengusaha tidak seharusnya dipersulit seperti ini dan merasa takut untuk melaporkan. Hak-hak atas pelaku usaha yang sebagaimana telah diatur di UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yaitu hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum dan mendapatkan perindungan hukum.

Tetapi yang terjadi di lapangan tidak seindah yang tertera di undang-undang. Bagi sejumlah pengusaha yang tidak ikut menyerah, mereka mengurus segala perizinan demi kegiatan berbisnisnya agar lancar. Ada pula yang mengambil jalan pintas dengan merogoh sejumlah kocek untuk menyuap petinggi negara.

Bukankah ketidakbecusan pejabat publik seperti ini menghambat lajunya perekonomian Indonesia? Ditambah pengusaha dan insan perekonomian kecil lainnya juga tidak bisa berpendapat mengeluhkan pelayanan publik, atau apapun di media sosial karena takut tercyduk.

Mungkin sesungguhnya alasan Indonesia pernah berada di jurang resesi dengan perekonomiannya berada di minus 0,74% pada kuartal I 2021, karena tidak leluasanya gerak pengusaha-pengusaha di tengah-tengah segala kesulitan birokrasi pemerintah.

Ikuti tulisan menarik Sri Kandhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler