x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 10 November 2021 11:03 WIB

Kiat Mengelak ala Pejabat dan Distorsi Informasi

Dalam menanggapi isu penting yang menjadi perhatian masyarakat, ada kecenderungan para pejabat publik maupun elite politik berusaha menghindari sorotan masyarakat luas, bahkan mengelak dari tanggung jawab sebagai pejabat publik untuk memberi informasi yang akurat dan jujur. Dengan mengelak, informasi akan terdistorsi sehingga masyarakat tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tidak setiap isu penting yang menjadi pusat perhatian masyarakat akan berlanjut. Banyak isu, khususnya terkait pejabat penting, kerap berlalu bagai terbawa angin. Tak tampak kelanjutannya, juga tak tampak jejak-jejaknya. Contohnya, ketika Pandora Papers dipublikasi dan terungkap bahwa ada beberapa pejabat publik yang menyimpan dana di perusahaan cangkang di negeri surga pajak, tidak ada tindak lanjut apapun. Hasil investigasi berbulan-bulan, yang antara lain Tempo ikut di dalamnya, sejauh ini hanya informasi itu yang diketahui masyarakat.

Begitu pula dalam isu bisnis PCR yang membawa serta nama-nama menteri yang terlibat dalam penanganan pandemi. Tidak ada respon berarti dari pemerintah maupun Presiden selaku atasan menteri. Hanya ada sedikit protes dari masyarakat serta relawan Jokowi, tapi selebihnya sunyi. Hanya ada sedikit respon dari Kementerian Kesehatan, selebihnya sepi. Mungkin karena itu, pembicaraan di tengah masyarakat pun perlahan surut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika seorang calon pejabat penting mengungkapkan hartanya yang berasal dari hibah tanpa akta, tak ada pimpinan dan anggota DPR yang mempertanyakan. Para politisi yang mengaku wakil rakyat ini berkilah bahwa soal harta sudah ada institusi lain yang mengurus. Masyarakat luas hanya bisa menyaksikan bagaimana kaum elite memainkan peran masing-masing tanpa masyarakat mampu berbuat apa-apa.

Dalam kasus-kasus tadi, konflik kepentingan pejabat publik dianggap hal lumrah. Barangkali, karena sesama pejabat tinggi sudah sama-sama tahu apa yang lumrah mereka lakukan di lingkungan komunitas mereka. Para pejabat tinggi bersikap permisif terhadap hal-hal seperti itu, sebab bagi komunitas mereka hal semacam itu dianggap sudah jamak, bukan sesuatu yang aneh.

Dari berbagai kasus itu, juga sejumlah kasus lain, rakyat diberi teladan yang kurang baik perihal bagaimana hidup bernegara yang semestinya. Para politisi di pemerintahan maupun parlemen, serta pejabat di institusi lainnya, semakin permisif terhadap hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan sebagai pengabdi negara. Salah satu sebab mengapa hal ini terjadi ialah lemahnya masyarakat di hadapan elite kekuasaan. Para politisi di DPR lebih berperan sebagai kepanjangan lidah elite kekuasaan ketimbang mewakili rakyat walaupun mereka memperoleh mandat politik dari rakyat.

Apa yang patut dicermati kemudian ialah kecenderungan para pejabat publik maupun elite politik dalam menanggapi isu penting yang menjadi perhatian masyarakat. Terlihat adanya pola-pola tertentu yang mereka gunakan untuk menghindari sorotan masyarakat luas, bahkan mengelak dari tanggung jawab sebagai pejabat publik.

Kiat pertama, bila ada yang bertanya, mereka cenderung asal menjawab atau tertawa sekedarnya tanpa mengucapkan kalimat apapun. Mereka bukan tidak tahu bahwa apa yang dibicarakan masyarakat tersebut penting, tapi mereka mementahkannya dengan merespon asal-asalan. Tujuannya bukan meremehkan, melainkan untuk menghindar agar pertanyaan itu tidak berlanjut. Para jurnalis, sebagai salah satu pintu informasi masyarakat yang bertugas menemukan jawaban atas persoalan masyarakat, biasanya juga enggan mengejar lebih jauh untuk memperoleh jawaban yang lebih substansial.

Kiat kedua, tidak menanggapi isu yang beredar walaupun masyarakat meminta agar isu itu dijawab sebagai bagian dari tanggung jawab pejabat publik untuk memberi informasi yang akurat dan jelas kepada masyarakat. Pejabat memilih untuk menutup telinga dan mulut alias pura-pura tidak mendengar dan tidak memberikan respon. Biasanya, kemudian muncul tanggapan dari staf atau bawahan dengan kualitas tanggapan yang tidak memadai untuk urusan sepenting itu, misalnya melenceng dari pokok persoalan.

Kiat ketiga, mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Pengalihan isu ini bisa saja hanya sekedar taktis saat menghadapi keadaan terdesak, misalnya dalam suatu wawancara atau diskusi, tapi bisa pula direncanakan agar perhatian masyarakat segera beralih ke topik lain. Pejabat mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang tidak terkait sama sekali dengan isu yang sedang jadi wacana publik. Warga yang tidak menyadari trik seperti ini akan mudah terbawa arus ke pembicaraan topik lain dan topik awal yang lebih penting pun terlupakan.

Kiat keempat, pejabat dan politisi semakin kerap menggunakan frasa ‘sudah ada yang mengurus’ sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab menjelaskan suatu isu. Pejabat ybs sebenarnya tahu bahwa ada hal penting yang masih berkaitan dengan otoritasnya, namun frasa itu dijadikan penyelamat atau jurus mengelak dari tanggung jawab. Pejabat ybs berusaha melemparkan bola ke pihak lain yang ia tahu juga akan mengelak. Respon seperti ini cenderung menjadi pola yang ditiru oleh pejabat lain.

Semua itu bukan sekedar wujud ketidakmampuan berkomunikasi, melainkan bukti kurangnya iktikad baik pejabat publik dalam menanggapi isu-isu yang tengah menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Pejabat publik seharusnya tidak mengelak dari tanggung jawab memberi respon atas persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh masyarakat. Tujuan penting pejabat berkilah, menghindar, dan mengelak dari tanggung jawab pengungkapan ini ialah agar informasi tetap terdistorsi sehingga masyarakat tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler