x

Ilustrasi kegiatan tes PCR. Sumber foto: Merdeka.com

Iklan

Septi Yadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Januari 2021

Jumat, 12 November 2021 05:59 WIB

Bukan BUMN, Penyelenggaraan Tes PCR Didominasi Swasta 80 Persen

Menyusul hebohnya skandal bisnis PCR yang libatkan pejabat negara, Komisi VI DPR RI kemudian menggelar rapat untuk dengar pendapat dengan beberapa petinggi perusahaan-perusahaan BUMN kesehatan. Fakta terungkap bahwa ternyata penyelenggaraan tes Covid-19 didominasi oleh pihak swasta bukan BUMN.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Permainan bisnis PCR di kalangan pejabat lingkar istana sedang marak. Hal ini menjadi perhatian Komisi VI DPR RI, sehingga menggelar rapat dengar pendapat dengan beberapa petinggi perusahaan-perusahaan BUMN kesehatan.

Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid kemudian mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar segera menyelidiki bisnis PCR. Dasarnya adalah acuan harga, sehingga hal  ini ditegaskan Nusron Wahid. 

"Atas nama akuntabilitas dan transparansi, kami minta dirut holding menyampaikan harga pokok produksi yang sebenarnya. Apa benar yang disampaikan oleh Uda Andre (Andre Rosiade) tadi bahwa harga PCR bisa di bawah Rp200 ribu? Kalau benar, kenapa bisa mahal? Coba jelaskan versi BUMN Farmasi," kata Nusron dalam RDPU Komisi VI DPR dengan BUMN Farmasi, Selasa (9/11/2021).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dugaan yang dikeluarkan oleh Nusron atas harga PCR Indonesia yang tidak wajar dan tidak ekonomis yakni karena adanya bisnis yang tidak sehat. Hal tersebut bisa berupa kartel atau monopoli.

Oleh karena itu, Nusron meminta kepada pimpinan Komisi VI agendakan rapat dengan KPPU untuk segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Hal itu berkaitan dengan adanya dugaan kartel, monopoli, atau bisnis usaha yang tidak sehat, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Usaha yang Tidak Sehat dan Monopoli.

Dalam RPDU, BUMN farmasi menjadi incaran Nusron tentang hal persentase BUMN holding yang melayani PCR. Terungkap bahwa holding BUMN farmasi hanya melayani 20-22 persen spesimen dari 48 juta spesimen. Selebihnya dilakukan oleh pihak swasta. 

"Jadi yang 80 persen swasta, ya? Artinya dominasi permainan di swasta ya," tanya Nusron kepada BUMN farmasi.

Senada dengan Nusron Wahid, saya juga bertanya-tanya mengapa bisa pihak swasta yang mendominasi penyelenggaraan tes Covid-19? Bukankah Covid-19 adalah permasalahan nasional bahkan wabah dunia (pandemi). Sudah seharusnya negara menjadi kontrol pusat dalam hal ini, bukan?

Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Gerindra Andre Rosiade lebih lanjut mencurigai beberapa pihak yang melakukan bisnis tipu muslihat penerapan tarif tes PCR yang berbeda-beda. 

Intrik bisnis PCR pun dijelaskan Andre, menurutnya, saat ini dalam waktu 1 jam mesin-mesin PCR sudah bisa menangani banyak spesimen. Diketahui terdapat mesin PCR yang bisa digunakan untuk 96 spesimen per 1 jam, ada yang 48 spesimen per 1 jam. Sementara, untuk mesin ekstraksi ada yang 16 spesimen per 20 menit, ada yang 32 spesimen per 20 menit, ada yang 48 spesimen per 20 menit dan yang 96 spesimen per 20 menit. 

Dengan demikian, lab-lab seharusnya tidak perlu lagi mengeluarkan tarif yang berbeda-beda karena alasan waktu keluar hasil tes PCR. Penerapan postur biaya seperti itu dinilai lucu oleh Politikus Gerindra tersebut. 

Menurut Andre, penerapan tarif yang berbeda sesuai dengan waktu keluarnya hasil PCR itu tidak signifikan. Maka dari itu dirinya menduga ada pihak yang terlibat dalam tipu-tipu ongkos PCR.

Andre mengaskan lebih lanjut bahwa sebenarnya waktu hasil keluar tes PCR tidak penting dan tidak signifikan. Hal itu dikarenakan mesinnya bekerja dengan jumlah spesimen. Sehingga ia menduga adanya ditipu-tipu dalam ongkos bisnis ini. 

Lalu, jika selama ini penyelenggaraan tes usap RT-PCR ini dibisniskan bahkan oleh pejabat negara dan berlangsung selama satu tahun lebih lamanya sebelum harganya diturunkan oleh Presiden Jokowi, bukankah ini artinya negara sengaja memeras rakyatnya di tengah kesusahan pandemi?

Ikuti tulisan menarik Septi Yadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler