x

uang rakyat

Iklan

Saladdin

Penulis
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 13 November 2021 13:11 WIB

Korupsi Warisan: Sistem atau Godaan?

Menjelaskan tentang Perilaku Kejahatan Tindak Pidana Korupsi yang masif dilakukan oleh oknum Pejabat Publik yang berlatar belakang dekat secara garis keluarga atau biasa yang disebut sebagai "Dinasti Politik", terdapat satir - satir politik yang memanjakan pembaca didalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

JAKARTA-- Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”(“kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut sudah tentu korup”) begitulah penggalan kalimat ucapan yang terkenal dari Lord John Dalberg-Acton pada tahun 1887, ironinya hingga saat ini kalimat tersebut masih relevan. Politik dan Kekuasaan hari ini selalu tidak pernah jauh dari kata korupsi layaknya pohon dan buahnya.

 

Berbicara tentang pohon dan buahnya, apakah anda pernah mendengar tentang pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” yang memiliki arti sifat anak tidak jauh berbeda dengan Ayah atau Ibunya. Hal yang menurun dari leluhurnya pasti akan ada kemiripannya dengan orangtuanya. Ini mungkin sedikit stereotip, karena banyak juga orang yang tidak memiliki sifat yang mirip dengan orangtuanya, secara genetis? Sudah pasti namun secara sifat? Tidak ada yang tahu pasti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kenapa membahas pepatah tersebut? Karena beberapa pejabat publik di Indonesia juga tidak jauh dari pohonnya, contoh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang diselenggarakan secara serentak pada 9 Desember lalu banyak diikuti calon dengan latar dinasti politik. Nagara Institute mencatat, ada 124 calon kepala daerah yang merupakan anak, istri, suami, saudara, atau kerabat dari para pejabat inkumben di pemerintahan pusat atau daerah.

 

Dinasti Politik sendiri bukan sebuah barang baru di Indonesia, Dinasti ini sudah muncul dan mengakar di ranah perpolitikan Indonesia sejak era Orde Lama atau bahkan era Kolonial Hindia Belanda dulu. Dinasti Politik sendiri menjadi salah satu penyumbang tersangka Kasus Korupsi terbanyak sejak era reformasi, contohnya baru-baru ini, tepatnya pada bulan Maret tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bandung Barat nonaktif Aa Umbara Sutisna dan anaknya, Andri Wibawa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang darurat Covid-19.

 

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung telah menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada terdakwa Bupati Bandung Barat nonaktif Aa Umbara pada hari Kamis,(4/11) setelah terbukti melakukan korupsi kasus pengadaan barang dalam bantuan sosial (bansos) Covid-19 tahun 2020.

 

Hakim menilai Aa Umbara terbukti bersalah melakukan korupsi sesuai dengan Pasal 12 huruf i dan Pasal 12 huruf B UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Mengutip dari Kompas.com (link: https://nasional.kompas.com/read/2021/04/01/19560801/selain-bupati-bandung-barat-dan-anaknya-ini-deretan-bapak-anak-yang-terjerat?page=all.) yang dirilis 1 April 2021 , setidaknya ada tiga kasus korupsi lain yang ditangani KPK dengan tersangka yang berstatus ayah dan anak dalam satu kasus.

  1. Korupsi pengadaan Al Quran Zulkarnaen Djabar dan anaknya,

 

Pada 2013 KPK menetapkan mantan anggota Komisi VIII DPR, Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetya, sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengadaan Al Quran dan laboratorium Kementerian Agama. Keduanya pun divonis bersalah. Menurut hakim, total uang (ilegal) yang diperoleh Zulkarnaen dan Dendy mencapai Rp 14,3 miliar.

 

  1. Kasus suap DAK Amin Santono dan anak,

 

Kasus korupsi yang melibatkan ayah dan anak sekaligus kembali terjadi dalam kasus pengurusan dana alokasi khusus (DAK) yang menjerat mantan anggota Komisi XI DPR, Amin Santono dan anaknya, Eka Kamaludin. Majelis hakim menyatakan, Amin terbukti menerima uang Rp 3,3 miliar dari Taufik Rahman selaku Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah dan Ahmad Ghiast selaku Direktur CV Iwan Binangkit sebagai penyedia barang/jasa di Kabupaten Sumedang.

 

Dalam praktik kotor tersebut, Amin meminta Eka untuk mengajukan proposal penambahan anggaran beberapa kabupaten guna membiayai bidang pekerjaan prioritas. Lalu, proposal itu diserahkan kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Badan Anggaran DPR, dan Komisi XI DPR. Amin juga mempertemukan Eka dengan Yaya Purnomo (staf Kementerian Keuangan) yang membantu meloloskan proposal anggaran tersebut.

 

  1. Kasus Wali Kota Kendari dan sang ayah,

 

Praktik korupsi yang melibatkan ayah dan anak juga terjadi di daerah, salah satunya saat mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun yang juga adalah mantan Wali Kota Kendara dua periode (2007-2017), sama-sama divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Adriatma dan Asrun dinyatakan terbukti menerima uang Rp 2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah.

 

Ini belum termasuk dengan Kasus Ayah-Anak berbeda kasus, Ibu-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik dan kerabat lainnya yang termasuk ke dalam Politik Dinasti, ternyata dalam hal jabatan dan korupsi, pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” yang dibicarakan sebelumnya, sangatlah nyata. Ibarat, Korupsi ini adalah sebuah warisan dari keluarga/kerabat dekatnya, ironi.

Apa sebab Politik Dinasti yang inkompeten masih merajalela? Menurut Titin Purwaningsih, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam acara Buka Data Narasi Newsroom (link : https://www.youtube.com/watch?v=vqXr01uUrVk) hal ini disebabkan aspek kaderisasi dalam partai politik tidak berjalan,

 

“.......aspek kaderisasi yang dijalankan oleh partai politik itu tidak berjalan, ya, mestinya ada kaderisasi yang dilakukan secara terus menerus sehingga kemudian yang muncul bukanlah calon-calon karbitan....” ucap Titin

 

Setiap 5 (lima) tahun kita memilih pejabat publik yang baru, namun yang inkompeten terus merajalela, masyarakat terus memilih dengan alasan bualan atau bayaran, dan setiap periode tersebut masih saja ada yang melakukan tindak pidana korupsi.

 

Pertanyaan terbesarnya dalam praktek korupsi warisan ini adalah apakah ini sebuah “sistem” yang terstruktur, sistematis, dan masif, apakah pihak swasta harus untuk melaksanakan cara kotor kepada “pelayan rakyat” untuk memuluskan kepentingannya? apakah pejabat publik harus menerima uang kotor karena ada sistem yang telah berjalan selama puluhan tahun dan tidak bisa dihindarinya?

 

Ataukah ini sebatas godaan setan yang keji untuk menambah pundi - pundi kekayaan pribadi, menggantikan uang yang hilang akibat kampanye? Godaan setan untuk menjunjung tinggi frasa “Harta yang paling berharga adalah keluarga” dalam hal yang buruk? Yang jelas untuk yang satu ini bukan hanya peran setan yang besar. Bagaimana menurut anda?

Ikuti tulisan menarik Saladdin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu