x

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Selasa, 16 November 2021 17:07 WIB

Merah


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kala itu di Salamanca, Spanyol. Tahun di Kalender telah menunjukan tahun 1937.  19 Tahun setelah berakhirnya The Great War dan sekarang Spanyol negaraku sudah dilanda perang. Aku masih beruntung bisa duduk di sini, di Café yang menyajikan berbagai minuman dan juga makanan. Tapi, jangan Tanya aku akan makan banyak di Café. Semenjak berakhirnya The Great War harga-harga pokok semakin naik begitu pula dengan harga di Café ini. Saat aku masih menjadi seorang Mahasiswa di sini, aku biasa memakan 3 Potong roti dan segelas kopi. Sekarang? Jangan ditanya, aku hanya bisa membeli sebuah Kopi.

Por favor, señor,” Ucap pelayan sambil memberikan segelas kopi lalu meletakannya di Meja.

Muchas gracias,” Balasku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Aku lalu meminum kopi yang baru saja dihantar oleh pelayan itu, rasanya pahit tapi aku menikmatinya. Sekarang, aku hanya harus menunggu temanku. Ia bernama Benicio tapi aku lebih suka menyebutnya Beni, ia adalah temanku di Universitas Salamanca dan sekarang aku akan bersantai bersamanya.

Tak lama kemudian, ia muncul dari belakangku. Ia mengenakan pakaian kemeja dengan dasi berwarna biru sementara itu di tangan sebelah kanan, ia terlihat sedang memegang jas berwarna hitam. Sangat elegan bagi Pria seperti dia. Beni lalu duduk di hadapanku sambil memberikan jasnya kepada pelayan yang sudah berada di sampingnya.

“Kopi satu, tolong,” Ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk di tangan kanannya, pelayan itu lalu mengganguk sebagai tanda bahwa ia menerima pesanan. Setelah itu, ia melirik ke arahku dengan senyuman yang tipis.

“Hey, ada apa denganmu Felipe? Kenapa wajahmu sangat datar?”

“Tidak ada apa-apa Amigo,” Ucapku sambil kembali meminum kopi yang masih hangat.

“Kau berbohong! Aku bisa melihat dari wajahmu.”

“Ya, kalo begitu tebak saja.”

 

Setelah itu, suasana hening. Hanya ada suara pelayan yang melakukan tugasnya membuat kopi lalu menyajikannya kepada pelanggan yang sedang menunggu di meja yang hanya bisa dihitung dengan jari. Aku lalu meminum kembali kopi yang sekali lagi masih hangat lalu memulai percakapan dengan Beni. Baiklah, ini adalah saatnya.

“Omong-omong Beni,” Ucapku dengan nada datar.

“Ya, ada apa?”

“Bagaimana keadaan Berlin? Apakah seperti yang diucapkan oleh Professor?” Tanyaku kepada Beni dengan tatapan yang serius.

“Ya, begitulah Amigo. Seperti yang diucapkan oleh Professor tapi sekarang dengan variasi yang amat banyak, mendengar pertanyaanmu ini aku merindukan Kota Berlin,” Terangnya sambil melihat ke langit-langit atap.

Señor, silahkan kopinya,” Kata seorang pelayan memotong pembicaraan kami.

Muchas gracias.”

 

Beni lalu meminum kopi yang baru saja pelayan itu berikan kepadanya. Kopi hangat itu lalu langsung membanjiri kerongkongan miliknya setelah itu Beni melirik sebuah surat kabar yang ada di samping meja. Beni lalu mengambil surat kabar itu lalu membacanya dengan seksama dari bagian atas, ia membaca sebuah berita utama dalam surat kabar tersebut dengan judul “Arriba España! Jerman dan Italia bersatu melawan Gerombolan Merah di Spanyol!”.

 

Aku yang melihatnya membaca sebuah surat kabar milik Kubu Nasionalis lalu membuat ekspresi tidak bersahabat. Tapi, temanku yang bernama Beni ini sungguh berbeda! Ia melihatnya dengan penuh suka cita dan bersemangat, ia bahkan sampai membuka halaman selanjutnya untuk membaca lanjutan dari berita tersebut.

“Itu adalah Koran Fasis. Jangan dibaca, itu Propaganda,” Ujarku sambil meminum kopi.

“Propaganda? Felipe, kau pasti bercanda. Ya ‘kan?”

“Tidak, aku serius Beni,” Balasku sambil melakukan kontak mata secara langsung dengan Beni, ia lalu menyandarkan punggunya ke kursi dan menempelkan tangannya ke dahi.

“Felipe, kau tahu kita ini dimana?”

“Salamanca, tempat diriku meraih ilmu dan di sinilah kita berada.”

“Tepat sekali dan coba tebak, siapa yang memiliki otoritas disini?”

“Orang Nasionalis?”

“Nah, itu kau tahu. Felipe, temanku dan juga sahabat terbaikku. Ikutlah bersamaku dengan orang-orang Jerman dan Italia. Mereka adalah sekutu kita saat ini dan lihatlah betapa megahnya Ibukota mereka. Berlin dengan Kemuliaannya dan juga Roma dengan Keindahannya. Ayo Felipe, janganlah kau bergabung dengan Ideologi Utopia itu. Mereka hanya membuat omong kosong,” Ucap Felipe dengan nada yang menyakinkan, kedua bola matanya bersinar seolah apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Tapi, di mataku itu adalah sebuah omong kosong saja. Kami saat ini saling bertolak belakang dan menyanggah apa yang di klaim satu sama lain.

 

Nasionalis dan juga Republik sekarang bertemu di dalam sebuah Café, aku adalah orang yang mendukung Republik secara Implisit sementara itu Felipe yang aku yakin, ia terkena paham Fasisme setelah menyelesaikan studinya di Jerman lebih tepatnya di Munchen yang menjadi basis dari partai NSDAP. Beni lebih memilih bergabung dengan Kubu Nasionalis yang dipimpin oleh Fransisco Franco, ia adalah pemimpin dari Junta Militer dan Kubu Nasionalis.

“Lalu, bagaimana dengan situasi di Jerman? Kudengar ada orang-orang yang di bunuh oleh Si Hitam,” Tanyaku dengan nada yang agak menyanggah.

“Begitu pula dengan Si Merah. Kudengar mereka semua melakukan sesuatu yang luar biasa di Ukraina, apakah Spanyol sebagai tanah airku akan menjadi Ukraina kedua oleh orang-orang Republik?”

"Beni dengarlah aku. Orang-orang Jerman dan Italia sedang memasuki jurang peradaban, aku tidak ingin kita sebagai Orang Spanyol memasuki jurang yang sama."

"Justru Komunisme-lah yang berbahaya, aku tidak ingin anak-anakku mati oleh kelaparan. Bahkan, Orang-orang yang menjadi figur utama dalam peristiwa yang mereka sebut Revolusi ini justru akan melahirkan Borjuisme baru yang akan menindas kembali orang-orang yang awalnya Loyal," Ucap Felipe. "Menurutku kita harus bersekutu dengan orang-orang Jerman dan Italia untuk menghancurkan Kaum Komunis," Terangnya sambil meminum kembali kopinya

"Beni, aku tidak sedang membicarakan tentang Borjuisme."

"Tapi, apakah itu yang dicita-citakan oleh Gerombolan Merah? Maksudku, kau ingin tidak ada yang namanya Si Kaya dan Si Miskin. Begitu ‘kan?” Ujarnya.

 

Beni menlanjutkan untuk meminum kopinya dengan tatapan sinis. Namun, saat ia meminum kopinya. Aku secara sengaja memukul mukanya menggunakan buku tebal yang ada di kantongku. Pukulan itu tepat mengenai kepala Beni, gelas yang ia pakai untuk meminum kopi lalu terlempar dan jatuh ke lantai. Gelas yang berisi air bewarna coklat keputih-putihan lalu tumbah dengan serpihan-serpihan kaca.

 

Para pelayan dengan cekatan mengambil lap dan pel untuk membersihkan kekacauan tersebut. Tapi, Aku dan Beni saling bertatapan menggunakan kedua bola mata kami. Tatapan ini bukanlah tatapan pertemanan melainkan tatapan permusuhan seolah-olah kami bertemu dengan musuh di medan perang. Beni lalu mengambil surat kabar yang ia baca tadi lalu menggulung-gulungkan surat kabar tersebut lalu memukul-mukul benda tersebut secara perlahan-lahan.

“Felipe temanku, ini adalah peringatan terakhir. Kau akan ikut dengan Si Hitam dan akan menemukan kejayaan atau kau akan ikut dengan Si Merah dan menemukan kematian, mana yang akan kau pilih Felipe?”

“Ketahuilah sampai detik ini dan detik selanjutnya, aku akan tetap setia dengan Republik.”

 

Aku lalu dengan segara meninggalkan Café yang sudah dicemari oleh Kaum Nasionalis bernama Beni itu, memang dulu saat kami masih di Spanyol ia adalah orang yang sangat dekat denganku. Namun, itu semua berubah saat ia meraih kesempatan untuk belajar di salah satu Universitas di Jerman dan sejak itu pula, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh dengannya.

 

Beni mulai aktif dengan anggota-anggota Partai NSDAP, menulis di kantor berita yang berafliasi dengan Sang Führer, dan melakukan kontak dengan kaum-kaum Nasionalis sebelum terjadinya Perang Sipil. Sekarang, perang sipil itu telah dimulai. Hal yang pertama yang aku rasakan adalah diberlakukannya Jam Malam dan ditangkapnya orang-orang Merah. Setelah itu, aku mendengar perihal Legium-legium asing yang datang dari Jerman, Italia, dan Brigade Internasional yang dihimpun oleh Organisasi Komunis Internasional atau Komintern. Tak heran orang-orang dari Kubu Nasionalis menyebut mereka sebagai Gerombolan Merah.

Tapi sudahlah, aku ingin segera pulang setelah peristiwa di Café, aku masih ada urusan di rumah. Aku harus mengerjakan proyek jurnal ilmiahku dan juga mengerjakan Novel yang aku garap 3 Bulan yang lalu. Aku berjalan melalui jalan-jalan yang ada di Salamanca yang tengah sepi. Aku melewati gang-gang yang sempit dan juga jalan yang lebar.

 

Masih tidak ada orang yang ada di sekitarku, sebelum perang Kota Salamanca adalah kota yang cukup ramai namun saat berlangsungnya perang situasi kota ini sangatlah sepi layaknya Kota Mati yang sudah ditinggalkan oleh penduduknya. Hanya ada beberapa pengawal yang beberapa kali aku berpaspasan denganku, mereka memakai seragam bewarna coklat mereka sembari membawa senapan di bahu. Tapi, Saat aku semakin jauh dengan Café yang menjadi pertemuanku dengan Beni, aku merasakan hal-hal yang ini. Aku merasa seperti dibuntuti oleh seseorang.

 

Pertama-tama aku mencoba untuk melewati rute yang berkelok-kelok. Tapi, saat aku mencoba hal tersebut rasanya kecurigaanku semakin nyata. Aku melihat bayangan berwarna hitam di belakangku dan saat aku berjalan di lorong yang benar-benar sepi, dua orang Pasukan Militer dari Kubu Nasionalis dengan persenjataan lengkap menghadangku saat akan pergi ke rumah. Pasukan dari Kubu Nasionalis itu dengan seramnya bahkan sampai menodongkan senjatanya kepada diriku, aku lalu dengan segera mengangkat kedua tanganku.

“Wah-wah. Lihatlah, ada babi merah di sini,” Ucap seseorang yang suaranya tak asing lagi di telingaku, aku lalu berbalik dan alangkah terkejutnya aku melihat Beni dengan memakai seragam yang identik sekali dengan kubu Nationalist.

“Beni, apa-apaan kau ini,” Ujarku dengan terkejut.

“Maap Felipe, tugas adalah tugas. Kau telah masuk dalam kubu yang salah.”

“Salah? Apa maksudmu? Aku bahkan tidak terang-terangan dan mengakui bahwa aku adalah seorang Republik.”

“Sayangnya, sikapmu yang seperti itu justru telah membawamu dalam kondisi yang seperti ini.” Ucapnya, ia lalu menutupi kepalanya dengan topi yang bewarna hijau. “¡Camarada, dispara!.”

Suara tembakan lalu terdengar di Kota Salamanca, suara tembakan yang menewaskan diriku yang menolak untuk mengikuti Nasionalis Spanyol. Aku akhirnya jatuh dengan bersimbahkan darah dan setelah itu penglihatanku semakin kabur dan aku sadar bahwasanya ini adalah akhir dari seseorang yang bernama Felipe.

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB