Istana Radiena, Rumah Ekram

Selasa, 16 November 2021 17:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang lelaki bernama Ekram dengan segala kesibukan yang terjadi di rumahnya sesaat sebelum Ekram berangkat sekolah bersama adiknya, Felara. Cerita berlanjut dengan kegiatan Ekram di Istana Radiena, rumah idamannya. Apa yang terjadi dengan rumah Ekram?

Istana Radiena, Rumah Ekram

 

Beratapkan dan berdinding gedek, rumah kontrakan kecil, di Menteng Atas, tempat Ekram menetap bersama ayah, ibu dan adik perempuannya, Felara. Kamarnya hanya dua dan Ekram menempati kamar depan bersama adiknya. Himpitan tiga rumah tingkat di kanan, kiri dan depan rumah menciptakan suasana suram. Saat matahari muncul dari arah depan, tidak membuat rumah menjadi terang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesibukan dan keriuhan rumah kontrakan gedek itu selalu sama setiap pagi di hari kerja dan sekolah. Ibu selalu bangun paling pagi, sebelum ayam berkokok, menyiapkan sarapan dan bekal anak sekolah. Ibu meletakkan semua di meja makan lalu pergi ke kamar mandi di belakang rumah untuk bersiap kerja. Saat ibu menyiapkan sarapan, ayah menimba air dari sumur dan mengisi semua ember sebagai persiapan mandi seluruh anggota keluarga.

“Ekram, bangunkan adikmu. Kalian harus siap-siap sekolah, jangan lupa sarapan dan minum susu di meja makan dan bawa tempat kue kalian,” suara ibu berteriak sambil terus merapikan dandanannya untuk pergi ke kantornya yang mulai jam 7 pagi.

Sementara ayah merokok dan menikmati kopi paginya di teras sambil membaca koran Kepo. Kadang ayah membersihkan vespanya sebelum menyiapkan diri untuk rutinitasnya. Ibu bekerja penuh waktu sebagai sekretaris muda di perusahaan swasta dan ayah berkeliling menjual buku ensiklopedia.

Ekram membangunkan adiknya untuk bersiap ke sekolah. Dia menempati bangku Sekolah Dasar kelas 4 sedangkan Felara kelas 2 di sekolah negeri sepuluh menit dari rumah mereka. Felara sulit sekali bangun pagi sehingga Ekram hampir selalu menyoleknya. Kedua bersaudara itu cukup mandiri untuk umur mereka. Setiap hari sekolah, mereka menyiapkan diri mereka masing-masing, ibu jarang sekali membantu.

Saat keduanya keluar rumah untuk berangkat, satu hal yang berulang dari Felara yang membuat Ekram kesal.

“Bu, bedak adek cemong[1] lagi. Ekram malu jalan kalau muka adek seperti itu.” Terburu-buru mempersiapkan diri membuat bedak Felara tidak merata di wajahnya dan seperti biasa ibu akan merapikannya.

Menggandeng Felara, Ekram menuju ke sekolah. Pergi ke tempat itu merupakan kesukaan Ekram karena itu artinya dia bisa meninggalkan rumahnya yang sumpek dan suram. Dia tidak nyaman dengan tempat tinggalnya yang berkesan kumuh diantara himpitan rumah besar di sekitarnya. Keluar dari rumah merupakan kesukaannya.

Sesekali dia merasa iri dengan sekitarnya dan bertanya dalam hati, “Mengapa rumah aku tidak seperti mereka ya?” Bukan dia tidak bersyukur tetapi Ekram memimpikan rumah yang nyaman. Ekram ingin suasana yang membawa kehangatan dan keceriaan, tidak hanya untuk dirinya tetapi untuk orang lain.

***

Ekram berdiri di halaman rumahnya yang dibangun di kawasan Permata Hijau pada area lebih dari dua hektar. Dia memandangi rumah hasil karyanya dengan bangga. Dia, berusia 32 tahun, seorang arsitek yang cukup berhasil. Dia belum beristri karena kesibukannya mengejar karier dan membangun rumah idamannya.

Ekram memberi nama rumanhya “Istana Radiena” yang mengartikan matahari. Baginya rumah itu menjadi cahaya terang untuk dia dan siapa saja yang datang. Istananya merupakan tempat orang mencari kehangatan karena memberikan kebahagiaan serta membagikan tawa dan ceria.

Di samping kanan rumahnya, Ekram mendirikan pavilion sederhana, tempat ayah dan ibu. Teras kecil di depan rumah ayah dan ibu sangat nyaman sehingga kedua orang tuanya sering menghabiskan waktu di situ. Mereka menikmati pemandangan di depan mereka dan Ekram bisa melihat kebahagian di wajahnya. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam bercakap-cakap tentang banyak hal.

“Selamat pagi Pak, Bu! Bagaimana tidur tadi malam,” sapa Ekram pada kedua orang tuanya.

“Nyaman, Nak! Bagaimana kamu?” ibu menjawab dengan wajah yang cerah dan penuh kebahagiaan.

“Ekram sulit tidur, Bu. Tadi malam diskusi dengan Galih untuk menyiapkan kunjungan anak-anak panti,” dia menceritakan kesibukannya malam tadi pada kedua orang tuanya.

“Jaga kesehatan, Kram. Jangan terlalu paksa diri,” ayah menasehatinya untuk lebih memperhatikan diri.

Sekitar rumah Ekram, selain dipenuhi dengan tanaman yang indah dan pohon rimbun tersedia lapangan basket, lapangan voley, area bulu tangkis di dua tempat dan dua kolam renang, satu ukuran besar dan satu ukuran kecil.

Tempat itu terbuka untuk umum karena Ekram sangat menyukai tawa dan canda dari anak-anak. Galih, asisten pribadinya, yang bertanggung jawab mengatur jadwal kedatangan anak-anak. Galih membatasi kunjungan sekitar 50 orang dengan batasan waktu tertentu karena banyaknya peminat.

Ekram sangat menyukai duduk di teras rumahnya, sambil bekerja. Dia mendudukkan komputer di meja dan telpon genggam di sisinya. Dia memilih tempat itu karena dia bisa memandang tawa ceria setiap anak yang bermain. Keringat yang mengalir pada mereka, matahari menyengat di atas mereka sama sekali tidak mengganggu keceriaan dan keseruan mereka. Atau dinginnya air di kolam renang yang membuat gigi bergemeretak tidak menjadi rintangan.

“Ayo Charles, ayo Charles,” terdengar teriakan beberapa anak perempuan di lapangan basket. Charles adalah idola dari banyak anak perempuan karena kepiawaiannya dalam membawa bola basket dan memasukkannya ke ring. Ditambah Charles berperawakan tinggi dan wajahnya indo menjadikan dia sangat rupawan dan tentunya menawan hati yang melihatnya.

“Yaaay!” kembali mereka menjerit dan bertepuk tangan karena Charles berhasil memasukkan bola dengan sempurna tanpa suara. Hari itu, final perlombaan basket antar klub di Jakarta Selatan sedang berlangsung.

“Lempar bolanya Kak Yanto,” suara berbeda dari kolam renang kecil. “Jangan terlalu tinggi, aku tidak bisa loncat,” teriak seorang anak kecil yang mungkin adalah adik dari Yanto. Sementara di kolam renang besar dia melihat beberapa anak bersenda gurau dengan lempar-lemparan air.

Kehebohan lain juga terlihat di lapangan voley oleh segerombolan anak perempuan dari kampung belakang. Ekram mendengar dari Galih bahwa mereka mengadakan lomba voley bagi anak perempuan dan Ekram menyampaikan bahwa dia akan menyediakan hadiah bagi pemenangnya.

Seluruh keceriaan dan kebahagiaan yang terpampang di depan Ekram selalu membantunya untuk lebih kreatif dalam berpikir. Pekerjaannya sebagai arsitektur sangat terbantu dengan pemandangan di depan matanya. Ekram bisa menyelesaikan banyak gambar yang diminta para kliennya.

Sekali seminggu, Hari Minggu, Ekram menyediakan waktu khusus untuk anak dari panti asuhan yang dikelolanya. Galih mengatur penjemputan dan pengantaran menggunakan bis besar. Pada waktu itu, tempatnya tertutup untuk umum. Saat anak-anak panti mengunjungi tempatnya, Ekram selalu menyediakan fasilitator untuk memeriahkan acara kunjungan.

“Selamat pagi Papa Ekram,” suara centil Ria terdengar. Ekram meminta semua anak panti untuk memanggilnya “Papa”. Wajah dan gaya Ria selalu mengingatkan Ekram pada adiknya, Felara, yang sudah menikah dan menetap di area Serpong bersama suami dan satu anaknya. Ria berlari kecil menuju Ekram dan memeluknya. Memang sudah menjadi kebiasaan Ria untuk memeluk Ekram.

“Hallo Ria, apa kabar?” Ekram bertanya saat Ria memeluknya. Tak lama beberapa anak panti lain akan berlari ke Ekram dan menyalaminya. Perbedaan dengan Ria, mereka akan kembali ke area bermain sementara Ria duduk di samping Ekram.

“Kemarin di sekolah Ria ulangan matematika, Papa. Ria dapat 95 dan tertinggi di kelas,” dia mulai berceloteh dengan bahagia. Memang Ria adalah anak yang tercerdas di kelasnya. Ekram selalu membaca semua laporan anak-anak panti yang diterimanya.

“Luar biasa anak Papa! Ayo ikut Papa ke dalam. Papa kasih hadiah ice cream untuk kamu. Ice cream Papa rasanya sangat spesial,” Ekram menggandeng Ria ke dalam rumah dan memberikan tiga scope ice cream dengan tambahan chocolate sprinkled ke dalam mangkuk.

Ria mengambil tempat di sisi meja makan dan menikmati ice cream pemberian Ekram. Celotehnya, menghilang, tergantikan dengan tangannya yang terus mengayun memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sesekali dia menjilat bibirnya karena ice cream yang menempel. Ria menikmati hidangan yang ada di depan matanya.

“Selamat pagi, Pak Ekram!” suara Suryani yang sudah berdiri di ruang makan. Ekram menyambutnya dengan anggukan kepala dan muka tersenyum.

“Maaf saya kemari mau memanggil Ria. Ternyata dia sedang asyik dengan ice cream, ya Pak,” Mbak Suryani memandang Ria dengan senyum lebar di bibirnya.

“Iya, saya beri dia hadiah karena mendapat nilai matematika tertinggi di kelas,” Ekram menjelaskan sambil terus tersenyum melihat Ria yang mengacuhkan Suryani dan terus asyik dengan makanan di depan matanya.

“Kalau sudah selesai, bergabung dengan kawan-kawan ya Ria,” undangannya yang dijawab dengan anggukan oleh Ria.

“Permisi Pak Ekram.” Mbak Suryani melangkah keluar dan pandangan mata Ekram mengikuti.

Suryani adalah salah satu pengajar dan pengasuh di panti asuhan. Dia berwajah manis dengan kulit sawo matang, rambutnya ikal yang hampir selalu dikepang. Dia penanggung jawab dari setiap kegiatan yang dilaksanakan di tempat Ekram.

***

Gesekan kayu tempat tidur ayah dan ibu mulai berbunyi menandakan pagi sudah hampir merekah. Suara ibu menyiapkan sarapan mulai terdengar seraya dengan dentingan piring dan gelas yang diletakkan di meja makan. Dari belakang, ayunan tali mengambil air di sumur yang dilakukan ayah mengalun pelan dan siraman air ke dalam ember terdengar sayup-sayup. Ayah dan ibu mulai melakukan rutinitas hari kerja dan sekolah.

Tak lama berselang, teriakan ibu, “Ekram, bangunkan adikmu. Kalian harus siap-siap sekolah, jangan lupa sarapan dan minum susu di meja makan dan bawa tempat kue kalian.”

Ekram mengangkat badannya dari tempat tidur dan membangunkan Felara. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Saatnya mereka bersiap-siap sekolah, menikmati hidangan pagi ibu dan meminum susu yang dihidangkan di meja. Serta terakhir sebelum Ekram menggandeng adiknya untuk melangkahkan kaki menuju sekolah, Ekram berteriak memanggil ibunya karena bedak adiknya yang kemana-mana. Ibu merapikan bedak Felara.

Namun di luar semua rutinitas pagi itu, Ekram tersenyum. Matanya memancarkan kecerahan hatinya. Dia membayangkan dan mengingat kembali semua khalayan yang dia pkirkan saat ayah dan ibu melakukan rutinitas mereka. Khalayan yang baru saja dia simpan sementara karena saat untuk pergi ke sekolah.

Mengkhayal itu gratis dan membuat bahagia bagi yang melakukannya. Mengapa tidak,” suara hatinya sambil terus tersenyum bahagia.

Dia berpikir, “Besok pagi aku akan melanjutkan khayalan aku.”

Ekram menggandeng adiknya dan melangkah ke sekolah. Ekram merencanakan untuk melanjutkan khalayannya esok hari saat ayah dan ibu melakukan rutinitas pagi mereka, saat sebelum dia membangunkan adiknya.

***

 

[1] Cemong: tidak rapih

Bagikan Artikel Ini
img-content
Regina Nikijuluw

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Ketika Roh Meninggalkan Raga

Minggu, 25 Februari 2024 17:51 WIB
img-content

Aku Memilih Sendiri (Bagian 3)

Rabu, 8 Juni 2022 14:31 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua