x

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Jumat, 19 November 2021 11:10 WIB

Seleksi Anggota KPU-Bawaslu dan Bayang-bayang Politik Uang pada Pemilu 2024

Penyelenggaraan pemilu tahun 2024 akan sangat kompleks. Karena masih dalam nuansa pandemi plus bayang-bayang persoalan klasik politik uang yang dampaknya luar biasa destruktif. Juga ada kecemasna atas politik identitas dan SARA.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN, Ketua KIPP Pasaman 2016-2019

Membaca lagi berita-berita seputar pemilu dan politiknya. Perhatian Saya tertarik pada berita penjaringan dan seleksi anggota KPU dan Bawaslu baru. Karena dua institusi ini memiliki peran sentral dan strategis dalam penyelenggaraan pemilu. Lantas apa yang diharapkan dari calon anggota KPU dan Bawaslu baru yang mendaftar?

Berbicara soal seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu tentu dimulai dari pembentukan Tim Seleksi sebagaimana diamanahkan UU No. 7  Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang konon dikritik oleh LSM-LSM pemerhati pemilu, karena Timsel dari unsur pemerintah kelebihan. Okelah! Itu menjadi catatan khusus tersendiri dan menjadi penilaian jika nanti mereka calon penyelenggara pemilu terpilih. Siapa-siapa saja? Rekam jejak dan latar belakangnya pasti ketahuan jika ada yang tidak beres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian yang pasti soal penguasaan teknis pemilu dan seputarnya tentu harus menjadi faktor utama yang dimiliki calon anggota KPU dan Bawaslu, di samping memiliki kredibilitas, integritas, kompentensi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu sudah umum. Namun boleh juga kiranya jika Timsel mempublikasikan karya-karya tulis mereka calon angota KPU dan Baswaslu tersebut dan mengajak publik mengujinya. Konsep apa yang mereka bawa?

Beberapa hal yang mesti dikedepankan lagi bahwa penyelenggaraan pemilu tahun 2024 sangat kompleks, masih dalam nuansa pandemi, persoalan klasik tentang politik uang yang dampaknya luar biasa destruktif. Lalu ada persoalan politik identitas dan SARA, jaminan perlindungan penyelenggara pemilu di tingkat bawah, dan efektivitas penegakkan hukum pemilu. Saatnya, memperluas dan mempertegas dimensi-dimensi partisipasi publik, meminimalisir relasi konfliktual antar penyelenggara pemilu, mengisi celah-celah regulasi yang terkadang tidak diatur Undang-Undang, dan masih banyak lagi.

Di sini akan dibahas sekilas tentang politik uang dan partisipasi publik saja sebagai sedikit gambaran. Persoalan politik uang dalam pemilu, misalnya, menjadi penting sebagai variabel materi seleksi, karena dampaknya yang sangat panjang dan destruktif baik secara sosial, budaya, maupun  terhadap pemerintahan bersih dan berintegritas yang akan terbangun. 

Bahwa upaya untuk menghadapi politik uang di pemilu yang terpenting adalah persoalan hulu, yakni perbaikan regulasi, banyak celah yang kerap di manfaatkan untuk mendapatkan donor gelap, baik masa pencalonan, dalam tim kampanye, dan masa kampanye, pengawasan yang ketat terhadap belanja politiknya. 

Mereka harus memiliki metodologi campaign finance disclosure atau pengungkapan dana kampanye. Tidak cukup dengan sosialisasi, pendidikan politik pemilih, himbauan dan pemberian sanksi di lapangan. Jika masalah yang hulu belum sepakat dan selesai, maka di hilir jangan berharap akan kelar. Pola yang akan terus berulang atau recurrent pattern. Politik uang terus merajalela!

Selanjutnya dikarenakan penyelenggaraan pemilu masih dalam nuansa pandemi, secara fisik dibatasi, sehingga ruang-ruang publik akan banyak digantikan dengan ruang virtual. Mobilsasi isu baik yang konstruktif dan destruktif akan membajiri ruang digital informatif, seperti medsos. 

Bahwa gagasan dan implementasi pengawasan medsos harus memiliki kehati-hatian, untuk tidak bertentangan dengan perluasan partisipasi publik. Harus dihindari kecenderungan perspektif resmi (official perspective) dan "klasifikasi-klasifikasi resmi" yang menimbulkan keteraturan administrasi yang kaku, menghindari timbulnya "moralitas kekangan", dan kerap kali dapat menimbulkan "class justice" dengan kecenderungan kuat ke arah kriminalisasi tindakan satu golongan masyarakat yang dipandang "mengganggu".

Sebaliknya partisipasi publik harus dipertegas dan diperluas melalui sarana perangkat hukum teknis, sehingga memiliki dimensi-dimensi partisipasi yang berkualitas dan berkarakter, baik dimensi hak asasi manusia, keadilan ekologis atau lingkungan hidup, teknologi, dan lainnya.

Partisipasi publik harus ditunggangi oleh optimisme dan harapan, bangkit dari keterpurukan, keputusasaan, ketidakberdayaan setelah dihantam pandemi yang meluluhlantahkan hampir semua sektor kehidupan. Optimisme tersebut sedapat mungkin dijadikan moto dan spirit penyelenggaraan pemilu 2024.

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu