
ilustr: Sinode GKJ
Rabu, 24 November 2021 12:26 WIB
Sikap Kesatria yang Dilupakan Pemimpin
Bagi pemimpin kesatria, menerima amanah jabatan bukanlah perkara memegang kekuasaan semata, melainkan apakah amanah jabatan itu merupakan wujud kepercayaan dan kehormatan sejati atau bukan. Sukar baginya untuk menerima kepercayaan dan kehormatan yang diselimuti kepura-puraan. Kekesatriaan bukan nilai yang dapat ditawar-tawar.
Dibaca : 1.964 kali
Satu unsur yang kerap dilupakan dalam kepemimpinan ialah kekesatriaan—sikap kesatria dalam berpikir dan mengambil langkah maupun bertindak. Dalam kepemimpinan, kesatria mencerminkan karakter seorang pemimpin, misalnya kejujuran, keberanian mengakui kesalahan dan memperbaikinya, berlaku adil kepada siapapun, tidak manipulatif terhadap orang lain, termasuk dalam menapaki jenjang karier kepemimpinan.
Pemimpin kesatria percaya bahwa kenaikan jenjang kepemimpinannya lebih disebabkan oleh jati dirinya: kualitas karakter, kompetensi, integritas, dan lain-lain. Pemimpin ini menyadari bahwa jati dirinyalah yang menjadi alasan pokok mengapa ia dipilih untuk menempati jabatan tertentu, bukan karena kedekatan personal, koneksi kekerabatan, tekanan pengaruh, rekomendasi orang berkuasa, ataupun rupa-rupa nepotisme lainnya.
Bagi pemimpin kesatria, kenaikan jenjang kepemimpinan yang bertumpu pada diri sendiri akan lebih terhormat. Bahkan, seandainya pun ia tidak terpilih karena ‘dikalahkan’ oleh faktor-faktor dominan kekerabatan, relasi, tekanan pengaruh, ia tetap merasa terhormat. Ia tidak perlu mengorbankan sikap kesatrianya hanya untuk ditukar dengan jabatan. Ia tahu, jabatan kepemimpinan yang seperti itu kehilangan bobot kesejatiannya—tidak otentik.
Kekesatriaan bukanlah sikap yang muncul secara instan, melainkan hasil pemupukan serta penggemblengan oleh pengalaman berpuluh tahun. Pemimpin kesatria ditempa oleh pengalaman pahit yang menguji kejujurannya, ketulusannya dalam berkorban, keadilannya dalam memutuskan perkara, hingga keberaniannya menghadapi tekanan dan melindungi yang lemah.
Namun, semakin tinggi jabatan yang akan diemban, semakin besar godaan yang harus diatasi—godaan terbesar ialah hasrat berkuasa dan memiliki wewenang. Bila peluang ada, akankah ia menggunakan segala cara agar dapat meraih jabatan kepemimpinan itu?
Seorang pemimpin kesatria akan menolak pengangkatan dirinya untuk menempati jabatan tertentu apabila pengangkatan tersebut didasarkan atas budi baik pihak lain melalui tekanan politik, ekonomi, atau kartu As permainan-kuasa yang membuat pengambil keputusan pengangkatannya terpaksa setuju. Pemimpin kesatria ingin dipilih karena ia memang layak memegang jabatan kepemimpinan itu. Pemimpin kesatria menolak kepura-puraan.
Bagi pemimpin kesatria, menerima amanah jabatan bukanlah perkara memegang kekuasaan semata, melainkan apakah amanah jabatan itu merupakan wujud kepercayaan dan kehormatan sejati atau bukan. Sukar baginya untuk menerima kepercayaan dan kehormatan yang diselimuti kepura-puraan. Kekesatriaan bukan nilai yang dapat ditawar-tawar.
Dalam standar nilai yang ia yakini, cara seperti itu—termasuk jalan pintas, tekanan, nepotisme—jelas mengingkari kompetisi yang jujur dan adil, sebab faktor-faktor lain kemudian lebih berpengaruh dibandingkan dengan kualitas kepemimpinan yang saling bersaing. Dalam keyakinannya, tekanan seperti itu mengingkari sikap kesatria yang semestinya dijunjung tinggi oleh pemimpin.
Sayangnya, hasrat kuasa mampu menaklukkan kekesatriaan yang sejati. Kuasa itu menyilaukan dan mempesona, sehingga mampu memaksa pemimpin untuk melupakan nilai-nilai kekesatriaan yang pernah ia pelajari. Hanya ketangguhan hati yang sanggup menahan daya pukau kekuasaan yang melekat pada jabatan kepemimpinan tertentu. Hanya hati yang tangguh yang tidak tergoda oleh silaunya pesona kuasa.
Kesatria sejati akan memandang tugas lebih penting ketimbang posisi apapun, sebab pengabdian bukan terletak pada jabatan, melainkan pada kejujuran dalam bertugas. Bagi pemimpin yang mudah goyah oleh pesona jabatan, kejujuran dalam menapaki jenjang karir bukan perkara penting.
Ada pemimpin yang enggan menempati posisi yang ditawarkan, tapi bukan karena ia merasa tidak mampu untuk mengemban amanah itu, melainkan karena ia merasa bahwa bukan di situ tempatnya. Di sisi lain, banyak orang menginginkan jabatan, apapun jabatannya, asalkan menjabat. Bagi mereka ini, sikap kesatria bukan hal yang penting untuk dipikirkan. Inilah yang membuat kompetisi kepemimpinan tidak berjalan secara fair dan menghasilkan kepemimpinan yang tidak otentik. >>
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
2 hari lalu

Adian Napitupulu Tanggapi Fahri Hamzah: Saya Tak Pernah Usil Mengkritik Saat Dia Jadi Anggota DPR
Dibaca : 170 kali
1 hari lalu

Mempertegas Gerakan Literasi dalam Kurikulum Merdeka
Dibaca : 278 kali
3 hari lalu

Menggeliat Usai Berlibur, Memulihkan yang Hilang dalam Pembelajaran
Dibaca : 282 kali
4 hari lalu

Pembunuhan Wartawati Shireen Abu Akleh di Kota Jenin
Dibaca : 327 kali
4 hari lalu

Demokrasi, Kualitas Institusi dan Kualitas Pemerintahan
Dibaca : 323 kali
Senin, 9 Mei 2022 14:36 WIB

Habis Hapsun, (Mungkinkah) Terbit Sensyik dan Selarang?
Dibaca : 358 kali
Sabtu, 7 Mei 2022 18:56 WIB

Melatih Kreativitas Siswa dengan Mind-Mapping
Dibaca : 372 kali
Artikel ini membahas tentang metode belajar mindmapping serta praktik dan manfaatnya bagi siswa
4 hari lalu

Srategi Merencanakan Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Dibaca : 406 kali
5 hari lalu

Misi Menghempaskan Tiga Lawan Tersisa dengan Skor Besar
Dibaca : 368 kali
3 hari lalu
