x

bunga

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 24 November 2021 19:35 WIB

Jika Dinding Kamar Bisa Bicara

Kisah dua insan yang terlibat cinta terlarang dan berakhir tragis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Jika dinding kamar ini bisa berbicara, banyak hal yang bisa diceritakannya. Terutama tentang kehidupan kami, aku dan Lia. Empat tahun kami hidup bersama, tinggal di kamar kos seluas empat kali tiga meter. Hanya ada sebuah kasur di lantai, meja kecil, lemari baju, dan sebuah keranjang sampah di sudut dekat pintu.

            Sangat sempit memang, tapi bagiku kamar ini sudah cukup luas, apalagi bila ada Lia. Kami bisa membuat kamar sempit ini seluas lapangan sepak bola. Luas sempit itu tergantung pada perasaan. Ada orang tinggal di rumah besar dan mewah, namun merasa kesempitan karena tak punya teman. Sebaliknya, seorang gelandangan tinggal di gubuk kecil serasa hidup di surga karena banyak teman.

            Kami biasa melakukan kegiatan apa saja di kamar ini. Makan, minum, tidur, bercinta, belajar, bertengkar. Kamar ini menjadi saksi bisu hari-hariku bersama Lia. Empat tahun. Bukan waktu pendek untuk sebuah hubungan. Aku mengenal Lia sangat mendalam, bahkan lebih mendalam dari keluarganya. Aku hapal berapa banyak tahi lalat di tubuhnya. Aku tahu tentang pikirannya, isi hatinya, keinginannya, dan apa saja kebiasaannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Lia memang gadis yang unik dan complicated, sekaligus sulit diduga. Dia tidak mau terbuka pada semua orang. Di lingkungan kampus bisa dihitung dengan jari tangan berapa banyak temannya, bila dipersempit sebagai teman dekat hanya ada dua, lebih dipersempit lagi sebagai sobat kental hanya ada aku satu-satunya. Aku adalah teman dekat sekaligus pacar. Kepadaku Lia biasa mengungkapkan segala uneg-unegnya. Senang, sedih, bahagia, atau duka dicurahkannya kepadaku. Diriku tak ubahnya keranjang sampah.

            Begitu dekatnya hubungan kami, seakan tak bisa dipisahkan lagi. Kami terjebak dalam hubungan cinta platonis, saling melekat dan membutuhkan satu sama lain. Tak terbayangkan bila kami harus berpisah lama, dalam jarak maupun waktu. Aku selalu tahu ke mana dia pergi, begitu pun sebaliknya. Bukan saja karena kami bawa HP, tapi di dalam diri kami seperti ada radar yang saling terhubung.

            Walau kami telah berikrar sebagai pasangan soulmate, tapi kami masih belum berani mengabarkan hal ini kepada umum. Biarlah kami tetap seperti ini, tinggal bersama tanpa ikatan resmi. Toh, lingkungan kami tak terlalu peduli. Kehidupan kota yang serba permisif dan cuek membuat kami merasa aman dari gunjingan. Lagi pula Lia sendiri tak menuntut lebih, asal selalu ada aku di sisinya, dia sudah merasa senang. Dia sangat takut bila aku meninggalkannya, aku sendiri tak berpikir ingin meninggalkannya.

            Pernah, ketika aku pulang kampung untuk beberapa hari, Lia tak hentinya menelepon dan mengirim pesan singkat. Dia selalu tanya apa saja yang kulakukan di kampung. Apakah orang tuaku mulai membicarakan soal pernikahan? Dia takut aku dijodohkan dengan orang lain. Tapi semua keresahan dan ketakutannya bisa kutepis dengan kata-kata menentramkan. Sejauh ini aku memang belum mengatakan kepada orang tuaku tentang hubungan kami. Kupikir belum saatnya.

            Lia memang sangat posesif. Saking posesifnya sehingga jika aku ketahuan dekat dengan orang lain –entah itu pria atau wanita— dia akan sangat marah. Sepertinya dia tak terima bila aku berhubungan dengan orang lain, sekalipun hanya sekadar ngobrol. Dia ingin memilikiku seutuhnya, tanpa penolakan. Sikapnya terkesan ingin menguasaiku, dan bagiku itu wajar saja. Hal ini justru meyakinkanku bahwa dia benar-benar mencintaiku.

            Sebenarnya aku sama posesifnya dengan Lia. Tapi aku cukup pandai menyimpan perasaan. Beda dengan Lia, jika marah dia tak segan memaki, memukul, bahkan pernah mengacungkan pisau ke arahku. Tapi dengan sentuhan dan kata-kata yang lembut aku berhasil meluluhkan hatinya. Aku cukup membelai halus rambutnya, mengecup keningnya, dan membisikkan kata-kata romantis. Selanjutnya, dia berubah seperti kucing manja yang tak bisa lepas dari pelukan.

            Kadang aku dibuat cemburu jika melihat Lia dekat dengan seorang laki-laki, meski aku tahu Lia tak bakal mengkhianatiku. Namun tidak seperti Lia, aku hanya bisa memendamnya. Aku tidak sedemonstratif Lia yang jika marah apa saja bisa melayang dari tangannya, benda-benda jadi tak berwujud lagi sebagai korban pelampiasan emosi. Sementara aku cukup menyendiri di tempat sepi untuk meredam amarah dalam dada. Jika sudah reda, aku baru pulang dan bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa.

            Belakangan aku kerap memergoki Lia dekat dengan seorang laki-laki. Teman sekampus. Orangnya cakep, gagah, dan keren. Dia pernah mengantar Lia pulang dengan mobilnya. Aku yang diam-diam mengintip dari balik jendela tak bisa menahan rasa cemburu. Begitu Lia memasuki kamar, aku tak bisa menahan pertanyaan yang menggumpal dalam dada.

            “Siapa dia?”

            “Masak kamu nggak kenal? Dodi, temen satu jurusan!”

            “Maksudku, ada hubungan apa kamu sama dia?”

            Lia tercekat sebentar, sejurus kemudian dia tertawa geli. Dia lalu mendekatiku dan menggelendot manja.

            “Kamu cemburu ya, Sayang! Ya, ampun! Gitu aja cemburu. Percayalah, aku tak akan berpaling padanya. Aku sedang mengerjakan skripsi dan Dodi bersedia membantuku mencarikan bahan-bahan,” ujarnya sambil mengelus tanganku lembut. Bibirnya mendekat ke bagian belakang kepalaku dan mulai menjilati cuping telinga. Aku merinding, tapi kutahan hasrat yang membakar.

            “Dia tampan, gagah, dan…” gumamku.

            “Tapi aku tak mencintainya!”

            “Kalau keseringan bertemu lama-lama…?”

            “Perasaanku tak akan pernah berubah! Aku tak bisa berpaling darimu!”

            “Tapi, Lia…?”

            “Percayalah, Na!”

            Aku terdiam. Sebenarnya jawaban tegas Lia itu sudah cukup meyakinkanku. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang mengusik. Menggoyahkan. Lia sepertinya bisa membaca kegundahan hatiku. Dia segera menghentikan gerakan erotisnya dan memandangku seksama.

            “Kenapa kamu jadi seperti itu, Na. Apakah kamu meragukan kesetiaanku? Apakah kamu sudah tidak percaya lagi padaku?” Tajam matanya seperti ingin menembus jantung. Kubuang pandangan, jengah.

            “Lihatlah dinding-dindig kamar ini, Na. Andai ia bisa bicara, tentu akan menegaskan ketulusan cintaku padamu!”

            Aku memandang dinding di hadapanku. Baru kusadari dinding kamar ini telah menjadi teman setia kami selama empat tahun lebih. Dinding-dinding bisu ini menjadi saksi kisah cinta kami. Namun dinding-dinding kamar ini juga telah mengurung kami dalam sebuah dunia asing, dunia yang mungkin tak bisa dipahami dan diterima banyak orang. Aku sedih, karena hanya aku dan Lia sendiri yang bisa hidup dalam dunia asing ini.

            Sulit kubayangkan keluargaku dan keluarga Lia bisa masuk ke dalamnya, ikut merasakan kebahagiaan yang kami ciptakan. Untuk merestui hubungan kami saja, mereka harus berpikir sejuta kali. Kami menjalin hubungan cinta yang bagi mereka mungkin sangat tabu dan terlarang. Tapi bagi kami cinta ini tulus murni. Tumbuh dari lubuk hati yang dalam. Kami tak peduli bagaimana pandangan orang. Karena hidup kami adalah kami yang menjalani.

            Namun keyakinanku sedikit demi sedikit mulai terkikis. Aku jadi berpikir, mau dibawa ke mana hubungan kami ini. Apakah akan terus begini selamanya? Tidakkah sebaiknya kami keluar dari dunia asing ini dan hidup di dunia sebenarnya yang sesuai norma-norma? Kebimbangan ini semakin mendera saat kulihat Lia dekat dengan Dodi. Kupikir, pemuda itu lebih pantas untuk Lia. Dia tampan dan kaya. Keluarganya tentu lebih memilih pemuda itu dibanding aku. Tapi bagaimana dengan diriku, relakah aku mengorbankan perasaanku sendiri?

            Hari-hari kemudian pikiranku semakin dibelit dilema. Kulihat Lia kian akrab dengan Dodi. Aku berusaha menekan perasaan cemburu. Aku mencoba menyadari sesuatu bahwa antara aku dan Lia tak ada ikatan resmi. Lia bebas menjalin hubungan dengan siapa saja. Aku tak berhak melarangnya. Aku sadar cinta platonis telah mengurung kami dalam dunia picik, dunia yang sempit. Kami tak mau melihat dunia luar, dunia nyata tempat kami seharusnya bersandar.

            Diam-diam aku pulang ke kampung tanpa berpamitan pada Lia. Aku berencana berdiam beberapa lama di rumah. Aku ingin memberi kesempatan Lia lebih dekat dengan Dodi. Aku ingin menguji sejauh mana kemampuan kami berpisah. Memang terasa sesak dan menyakitkan, ketika aku harus mematikan ponselku dan berusaha menghapus bayangan Lia. Empat tahun. Bukan waktu pendek untuk mengikis banyak kenangan manis. Tapi aku harus melakukannya. Kami tak bisa selamanya terus begini.

            “Kapan kamu menikah, Na? Ibu pengen menggendong cucu,” todong Ibu setiap kali aku pulang.

            Aku diam sambil tersenyum kecut. Tegakah aku mematahkan harapan seorang wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku? Apalagi ibu sudah lama menjanda sejak ditinggal minggat suaminya sepuluh tahun silam.

***

            Ketika aku kembali, Lia sudah berdiri di depan pintu, menyambutku dengan wajah berang dan mencecarku dengan banyak tuduhan.

            “Kenapa kamu pergi tak bilang-bilang? Kenapa nomermu tidak diaktifkan? Kamu sengaja ingin meninggalkanku! Iya, kan? Kamu pasti selingkuh di belakangku? Kamu dijodohin sama orang tuamu! Dasar, anjing! Brengsek! Kadal busuk!” sumpah serapah meluncur dari bibirnya yang indah.

            “Dengarkan aku dulu, Lia. Kita mesti introspeksi diri. Kita…?” Belum selesai aku bicara Lia sudah memotong.

            “Jadi benar? Kamu sudah mengkhianati aku? Teganya kamu, Na! Kamu pura-pura menuduh aku selingkuh sama Dodi, padahal kamu sendiri yang ingin menutupi perselingkuhanmu! Kamu jahat! Kamu kejam! Aku benci sama kamu!”

            “Sadarlah, Lia. Kita tak bisa terus selamanya begini. Kita harus melihat kenyataan, menyadari kodrat. Jalinan cinta kita tak bisa diteruskan. Kita harus mengakhirinya!”

            Lia menggeleng-geleng. Wajahnya semakin meradang garang. Tiba-tiba dia mengambil sesuatu di atas meja. Ketika berbalik, dia sudah memegang pisau dan mengayunkan ke arahku. Untung dengan sigap aku berhasil menghindar. Lia tak mau berhenti. Dia terus mengejarku.

            “Kalau memang cinta kita harus diakhiri, maka aku akan akhiri hidup kita bersama-sama. Karena aku tak rela kamu menjadi milik orang lain. Kita harus hidup bersama selamanya!” desisnya.

            “Lia, jangan!”

            Terlambat, ujung pisau merobek lambungku. Darah muncrat ke mana-mana. Aku terkesiap. Pucat. Pandanganku berubah gelap. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman aku sudah mendapati diriku di dalam kamar bercat serba putih. Sebuah kamar rumah sakit. Lambungku yang robek sudah diperban. Ibu tampak duduk di sampingku. Matanya sembab.

            “Syukurlah, Nana. Kamu selamat. Kasihan temanmu, dia langsung bunuh diri usai menikammu. Kami tak tahu, ada masalah apa yang terjadi antara kalian. Tapi orang-orang bilang kalian terlibat cinta segitiga. Kalian memperebutkan laki-laki sama, namanya Dodi. Benarkah itu?” tanya Ibu ingin tahu.

            Aku tertegun. Bagaimana bisa orang-orang mengira kami memperebutkan seorang cowok? Tapi kemudian aku bisa memahami bila opini seperti itu yang muncul. Aku dan Lia, sama-sama perempuan lajang. Tak ada yang tahu bila kami menjalin hubungan cinta terlarang. Rahasia ini hanya antara aku dan Lia. Tapi sekarang Lia sudah tiada. Jika polisi atau wartawan nanti bertanya padaku, maka aku akan berusaha menutupi kenyataan sebenarnya. Aku akan biarkan opini masyarakat yang bicara.

            Kecuali, jika dinding di kamar itu bisa bicara. (*)

Wonogiri, 24 November 2021

 

 

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler