x

Sumber: tempo.co

Iklan

Mahir Martin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Jumat, 26 November 2021 21:31 WIB

Merdeka Belajar: AN Pengganti UN dan Kesabaran

Penggantian UN menjadi AN hanyalah merupakan salah satu bentuk sebab yang akan mengakibatkan berjalannya konsep Merdeka Belajar yang diusung Kemdikbud Ristek dengan baik. Menurut hukum sebab-akibat, satu sebab biasanya tidak mencukupi untuk mencapai hasil yang baik, perlu adanya sebab lain yang perlu dilakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebijakan paling populer di dunia pendidikan yang diusung Kemdikbud Ristek dibawah komando Menteri Nadiem Anwar Makarim saat ini adalah konsep Merdeka Belajar. Salah satu poin konsep Merdeka Belajar yang paling banyak diperbincangkan publik adalah diubahnya Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Nasional (AN).

Rencana awalnya, UN 2020 akan menjadi UN terakhir yang akan dilaksanakan, dan mulai tahun 2021 akan dilaksanakan AN yang meliputi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter bagi siswa. Namun pada realitanya, datangnya badai pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 membuat pelaksanaan UN 2020 dibatalkan, dan UN pun resmi berakhir. Setelah itu, mau tak mau perhatian Kemdikbud Ristek harus dialihkan kepada penanganan pandemi Covid-19 di bidang pendidikan. Sejenak, diskursus kebijakan terkait AN pun seolah terlupakan.

Menyoal AN

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun pandemi tak kunjung mereda, bahkan sampai saat ini, Kemdikbud Ristek tak mau kehilangan momen perubahan yang telah digadang-gadang sebelumnya. Di tengah pembelajaran yang dilakukan dalam jaringan (daring) masih berlangsung, persiapan teknis pelaksanaan AN terus berjalan. Sosialisasi dan penjelasan tentang teknis pelaksanaan AN terus dilakukan di berbagai tempat, baik secara virtual maupun secara langsung yang dilakukan dalam skala kecil dan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat.

Latar belakang dilaksanakannya AN menjadi salah satu fokus perhatian dalam setiap sosialisasi kebijakan ini kepada publik. Rendahnya peringkat Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) menjadi salah satu dasar dilaksanakannya AN yang didengung-dengungkan. Sejak itu, program PISA menjadi pembicaraan hangat publik pada bidang pendidikan. PISA sendiri merupakan metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat global yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setiap 3 tahun sekali.

Berdasarkan hasil rilis peringkat PISA terakhir yang dilakukan pada tahun 2018, nilai siswa Indonesia memang mengkhawatirkan, jika tidak mau dikatakan jelek. Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.

Kebijakan AN dimana yang didalamnya terdapat AKM yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), dan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi) diharapkan akan mampu mendongkrak nilai PISA siswa Indonesia pada PISA selanjutnya yang semestinya akan dilakukan tahun 2021 ini. AKM digadang akan menjadi solusi tercapainya kompetensi literasi dan numerasi yang baik bagi siswa Indonesia pada PISA yang akan datang tersebut.

AN sendiri dilengkapi dengan diadakannya Survei Karakter. Seperti kita ketahui, penguatan pendidikan karakter juga menjadi bagian penting dalam pendidikan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Apalagi Kemdikbud Ristek juga memiliki program kerja penting yang dikenal dengan sebutan Profil Pelajar Pancasila yang memang menitikberatkan pada penguatan pendidikan karakter. Jadilah AKM dan Survei Karakter, sebagai bagian dari AN, menjadi sepasang instrumen yang menjadi harapan baru bagi perbaikan dunia pendidikan di Indonesia.

Menyoal UN

AN yang sudah mulai dilaksanakan tahun ini pastinya membutuhkan waktu yang panjang untuk menuai hasilnya. Apalagi perubahan kebijakan ini dibarengi dengan datangnya badai pandemi Covid-19 yang datang melanda secara tiba-tiba. Kedua hal ini menjadi sebuah tantangan yang tak bisa dielakkan bagi dunia pendidikan. Peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan mencoba sebisa dan secepat mungkin untuk melakukan adaptasi dengan kondisi yang ada ini.

Selaras dengan tantangan kondisi yang ada, bergulirnya kebijakan AN masih belum bisa berjalan semulus yang diinginkan karena kebijakan ini masih sangat terdampak dengan kebijakan sebelumnya, yaitu UN. Tak bisa dipungkiri, dampak kebijakan UN yang sudah mulai diterapkan sejak tahun 2005 begitu besar pada siswa. UN yang menjadi syarat kelulusan seolah menjadi momok menakutkan bagi siswa. Secara psikologis siswa tertekan karena kelulusannya ditentukan oleh ujian yang notabenenya hanya berbasis kepada nilai. Akhirnya, siswa fokus belajar dengan tujuan hanya untuk mengejar atau mendapatkan nilai lulus pada UN, tidak lagi menghiraukan kompetensi yang harus dimilikinya.

Hal ini diperburuk dengan belum adanya kesetaraan akses pendidikan, terutama bagi daerah-daerah terpencil. Padahal dengan diadakannya UN diharapkan kesetaraan akses pendidikan akan tercapai. Pada kenyataannya, setelah UN berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, kesetaraan akses pendidikan belum juga tercapai. Problematika klasik akses pendidikan yang kurang, membuat siswa di daerah terpencil masih sangat kesulitan untuk bisa lulus pada UN yang standarnya dibuat sama untuk siswa di seluruh Indonesia.

Yang lebih mengenaskan lagi adalah adanya praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oknum-oknum, baik yang berada di dalam maupun diluar institusi sekolah. Jual beli soal atau kunci jawaban, contekan yang diberikan, sampai dengan kongkalikong antar pemangku kepentingan menjadi preseden buruk pelaksanaan UN. 

Dengan banyaknya permasalahan yang timbul ini, wajar sekali jika pelaksanaan UN akhirnya ditinjau ulang dan pada akhirnya pun digantikan dengan AN. Banyaknya kekurangan inilah yang coba ditutupi dan diperbaiki dengan adanya AN pada program Merdeka Belajar Kemdikbud Ristek saat ini.

Kini, ketika UN sudah digantikan dengan AN, secara psikologis siswa masih belum bisa keluar dari bayang-bayang ketakutan UN. Dampak kebijakan UN masih sangat dirasakan nyata dan ada pada diri siswa, dan mungkin masih akan terasa sampai beberapa tahun kedepan. Ketika kebijakan AN yang meliputi AKM digulirkan, banyak siswa yang mempertanyakan apakah AKM nantinya akan mempengaruhi nilai atau berpengaruh pada kelulusan. Dari pertanyaan ini kita memahami bahwa adanya tekanan dan beban berat pada pundak siswa ketika mereka harus diluluskan dengan nilai UN. Beban dan ketakutan ini terjadi dan membuat orientasi belajar siswa, bahkan juga orientasi kelulusannya, hanya didasarkan pada angka atau nilai dalam kurun waktu bertahun-tahun lamanya.

Disisi lain, dengan adanya kebijakan AN ini, Kemdikbud Ristek juga jangan sampai jatuh pada lubang kesalahan yang sama, seperti halnya terjadi pada kebijakan UN. Jangan sampai AKM, sebagai bagian dari AN, juga mengorientasikan belajar siswa hanya untuk mengejar nilai atau peringkat PISA. Nilai dan peringkat PISA siswa Indonesia semestinya memang tidak dijadikan satu-satunya patokan yang mendasari kebijakan AKM dalam rangka perbaikan pendidikan. Jangan sampai, kita hanya mengejar nilai PISA tanpa memperhatikan kualitas siswa kita secara lebih komprehensif.

Dengan adanya ancaman disorientasi belajar siswa dalam dunia pendidikan kita, maka revolusi mental untuk menghasilkan SDM yang unggul yang memiliki mentalitas kuat menjadi sebuah urgensitas yang tak boleh ditunda lagi. Mentalitas siswa dalam belajar perlu diperbaiki, paradigma pendidikan perlu digeser ke arah yang lebih baik. Hal ini bukanlah hal instan yang bisa dilakukan dengan sekejap mata, tetapi memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang berkelanjutan. 

Sebuah Refleksi tentang Kesabaran

Sejatinya kita kini berada pada masa pemulihan mental pasca berakhirnya UN dan digantikan dengan AN. Mengharapkan hasil maksimal dari pelaksanaan AN yang masih seumur jagung implementasinya merupakan sebuah harapan semu yang seharusnya tidak kita lakukan. Semestinya kita perlu berpikir lebih realistis dan bersabar untuk bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang kita inginkan dari adanya kebijakan baru AN ini.

Ya, pendidikan memang memerlukan kesabaran. Banyak orang menganalogikan mendidik dengan menabur benih ke dalam tanah. Jika kita ingin melihat benih-benih itu bertumbuhan, maka kita perlu memupuk, menyirami, menjaganya dari cuaca ekstrim dan gangguan hama, serta merawat tumbuh kembang benih-benih tersebut sampai mereka tumbuh menjadi pohon besar dan menghasilkan buah yang bisa kita tuai hasilnya. Proses yang dilakukan itu memang sangat memerlukan kesabaran. Memupuk, menyirami, menjaga, dan merawat adalah bentuk kesabaran yang seharusnya aktif kita lakukan.

Layaknya benih tanaman, mendidik juga memerlukan kesabaran aktif untuk menuai hasilnya. Kebijakan AN sebagai pengganti UN adalah salah satu bentuk kesabaran aktif yang dilakukan demi mengusung pendidikan yang lebih baik. Kebijakan ini harus kita pupuk dengan penanaman mentalitas yang kuat dan rasa cinta akan ilmu pengetahuan dalam diri siswa, kita sirami dengan metode pembelajaran yang menarik, inovatif, dan efektif di dalam kelas, kita jaga dan bentengi dengan penanaman karakter yang baik, dan kita rawat tumbuh kembangnya dengan melakukan penilaian dan evaluasi berkala dengan program tindak lanjutnya yang jelas.

Ya, semua itu membutuhkan kesabaran. Kemendikbud Ristek, atau secara umumnya pemerintah pun harus bersabar. Kebijakan AN ini jangan sampai diganti dan ditinggalkan sebelum kebijakan ini menuai hasil yang baik bagi dunia pendidikan.  Pergantian tampuk kepemimpinan jangan dijadikan sebagai ajang bongkar pasang kebijakan. Menuntaskan legasi yang ada, sampai benar-benar teruji efektivitasnya adalah cara terbaik dalam memandang sebuah kebijakan daripada harus menggantinya dengan sesuatu yang baru yang belum tentu juga akan memberikan hasil yang lebih baik.

Alhasil, penggantian UN menjadi AN hanyalah merupakan salah satu bentuk sebab yang akan mengakibatkan berjalannya konsep Merdeka Belajar dengan baik. Menurut hukum sebab-akibat, satu sebab biasanya tidak mencukupi untuk mencapai hasil yang baik, perlu adanya sebab lain yang perlu dilakukan. Dalam konteks Merdeka Belajar, sebab-sebab lain itu diantaranya adalah kebijakan terkait Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. Satu hal yang perlu diingat, setiap sebab yang dilakukan itu pastinya memerlukan kesabaran aktif dari kita semua agar perubahan yang kita harapkan bisa terwujud dan memberikan hasil buah yang baik di kemudian harinya.

Ikuti tulisan menarik Mahir Martin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler